Meringankan Penderitaan

Melihat Rupang Buddha dari kejauhan @Hong Kong

Saya sedang di pusat latihan Plum Village Hong Kong. Tepatnya di Wihara Kolam Teratai (蓮池寺), namun wihara ini menjadi tempat tinggal untuk para sisters. Para brothers tinggal di Wihara Hutan Bambu (竹林清苑). Perjalanan ke Hong Kong hanyalah sebentar saja sekitar 2 minggu sekadar transit saja, kemudian perjalanan berlanjut ke Tiong Kok daerah Yang Zhou.

Plum Village Hong Kong berada di Pulau Lantau, daerah pedesaan Ngong Ping. Mereka yang sudah pernah ke Hong Kong pasti tahu rupang besar Buddha yang merupakan bagian dari Wihara Po Lin (寶蓮禪寺). Rupang Buddha ini telah menjadi pusat wisata bagi turis mancanegara, terutama dari Tiongkok.

Kompleks wihara Po Lin termasuk besar. Ada bagian yang menjual souvenir, makanan vegetarian, dan berbagai pernak-pernik bernuansa buddhis. Satu hal yang unik adalah sapi yang tak bertuan bertebaran di sekitar sana. Maklum kalau ada bau yang kurang sedap di sana-sini. Tampkanya para turis tidak terusik oleh sapi-sapi itu, bahkan ada yang berfoto bahkan berswafoto bersama sapi, hoala! Tak hanya sapi, tapi juga ada banyak anjing yang berkeliaran, tidak tahu apakah anjing ini bertuan atau tidak.

Saya bersama beberapa brothers sering pergi hiking, jogging untuk menikmati pemandangan indah pegunungan Ngong Ping. Ada jalan setapak menuju bukit yang ada balok kayu besar yang berisi ukiran Sutra Prajna Paramita atau di kenal dengan Sutra Hati (心經). Pada sore menjelang malam, ketika semua pengunjung mulai pulang, suasana Wihara Po Lin menjadi begitu hening dan damai. Kami sering menikmati duduk di sekitar wihara dan menikmati angin sejuk yang berhembus.

Kembang Tahu
Suatu sore, saya bersama beberapa brothers pergi ke kafetaria di sana. Kami ingin mencicipi kembang tahu yang katanya lezat karena di buat dari air jernih pegunungan. Sesampai di kafetaria tampaknya mereka sudah siap-siap mau menutup kafetaria, tetapi kami masih sempat membeli beberapa mangkok kembang tahu beserta beberapa makanan ringan.

Syukurlah yang menjual bisa berbahasa mandarin, jadi transaksi pun sukses dan lancar. Setelah selesai membayar, kami dengan hati riang ingin menyantap kembang tahu dan kue yang telah kami beli, tapi tiba-tiba sang penjual memanggil saya, dia bilang ingin memberikan beberapa potong kue. Hati membatin ingin menolak, tapi karena melihat dia begitu sepenuh hati memberi, akhirnya saya terima.

Lalu tak hanya itu saja, ketika saya mau menuju kursi duduk, ia kembali memanggil dan ingin memberikan beberapa potong moci, saya bawa semua pemberian itu dan segera menuju meja tempat kami berkumpul. Tiba-tiba dia memanggil lagi, coba tebak, apa yang terjadi? Dia menyodorkan sepiring bihun goreng kepada saya, bihun itu tertampak lezat. Sambil menghela napas panjang, saya terima. Lalu saya bilang, cukup-cukup, terima kasih. Wanita itu pun tersenyum lebar, saya segera membalikkan badan dan berjalan menuju meja untuk bergabung dengan para brothers.

Sepotong Roti
Melihat meja penuh dengan makanan, kami tertawa lebar. Order kembang tahu dan kue kecil, eh… malah dapat semeja makanan. Kami menyantap kembang tahu yang dicampurkan dengan cairan gula merah, sungguh nikmat luar biasa. Biasanya kami makan dengan hening, tapi kali ini kami makan dengan relaks, sekali-kali ngobrol santai.

Sore yang sangat menyenangkan bagi kami. Setelah beberapa saat, hampir semua makanan ludes, dan kami pun merasa kenyang. Ada satu brother nyeletuk, “Habis ini kayaknya sudah tidak bisa makan malam lagi”, Kita pun tertawa lebar. Di meja masih tersisa satu potong roti, saya mempersilakan brother Binh Anh untuk menyantapnya, karena roti itu memang jatahnya. Dia hanya geleng-geleng kepala, mengisyaratkan bahwa sudah tidak sanggup lagi. Kita hanya saling memandang sambil senyum-senyum kecut. Tak ada seorang pun yang mau makan sepotong roti terakhir itu.

Membagi Penderitaan
Saya bilang, derita itu banyak bentuknya. Kelaparan menderita, Kekenyangan juga menderita, paling baik sih makanan secukupnya, atau tahu kapan waktunya berhenti makan. Jadi satu potong roti terakhir itu menjadi penderitaan kita bersama. Siapa yang mau memikul penderitaan itu? Akhirnya brother Binh Anh bilang, “Yuk bagi-bagi penderitaan ini……”. Sekali lagi, kami tertawa lepas. Kami membagi penderitaan itu bersama-sama sehingga penderitaan itu menjadi ringan.

Selesai menelan potongan kecil roti itu, kita bahagia. Semua makanan telah habis, kami enggan membuang sepotong roti itu, karena dunia ini banyak orang kelaparan. Bersyukurlah bisa selalu mendapatkan makanan, dan ingatlah untuk selalu mengambil makanan dengan penuh kesadaran agar tidak berlebihan.

Kami menyadari penderitaan dari sepotong roti itu telah berkurang ketika di bagi-bagi, sehingga tidak perlu mengorbankan satu orang. Penderitaan telah berubah menjadi rasa syukur, terima kasih, dan kebahagiaan. Kami berjalan pulang, kali ini kami berjalan ke arah yang lebih jauh agar bisa sedikit menurunkan makanan di perut. Sungguh menyenangkan menikmat berjalan pelan di sore hari, merasakan hembusan angin sejuk dan pemandangan indah.

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.