Model Praktisi Seperti Apakah Dirimu?

Setiap insan memiliki modal berbeda-beda dalam karir spritualnya. Modal ini bisa bertambah juga berkurang. Kadang tinggi, kadang rendah. Ombak di laut juga demikian. Loh, saham saja bergerak naik dan turun kok, then why worry?

Tentu saja perlu menjadi perhatian apabila memasuki dunia spiritual. Mereka yang mengaku sebagai praktisi mindfulness atau yang menyebut diri sebagai praktisi meditasi. Mengetahui kecenderungan diri menjadi elemen penting bagi perjalanan spiritualnya.

Praktisi Kaku
Saya banyak melihat praktisi yang kaku. Ia mendapat satu set instruksi pelatihan demikian, lalu dia kerjakan dengan rajin, terus melakukannya tanpa lelah. Ia lupa (forgetfulness) bahwa “instruksi” tersebut hanyalah panduan umum untuk membantu praktisi secara umum juga. Moda sifat kaku memang sudah menjadi ciri khas dirinya sehingga “mati-mati-an” mempertahankan instruksi itu yang dianggap sebagai sesuatu yang mutlak.

Jika Anda berada dalam kondisi demikian, tampaknya Anda perlu berhenti sebentar dan melihat kembali apakah instruksi tersebut membawa manfaat atau mudarat? Walaupun disebutkan sebagai instruksi pelatihan, namun itu bukanlah satu set instruksi yang “statis”, karena dunia ini tidak ada yang “statis”, justru cenderung bergeser dan berubah secara dinamis. Kadang perubahan agak ekstrem, kadang perubahan kecil.

Seorang petani bisa mengetahui apakah pupuk jenis A sesuai dengan tananam tertentu dalam durasi waktu sebulan atau dua bulan. Anda tidak perlu menunggu terlalu lama. Instruksi meditasi memang banyak, namun janganlah kaku dan melekat pada satu “pintu” saja.

Praktisi kaku seperti ini seperti sebatang kayu, ia tidak bisa dibengkokkan barang sedikitpun. Jika dibengkokkan sedikit maka kayu itu akan retak bahkan patah. Meditasi seharusnya membuat manusia bisa lebih lentur, sehingga dia tidak mudah patah dalam perjalanan spiritualnya.

Praktisi Cukup Lentur
Ada praktisi yang bermula dari kaku dan semakin berlatih ia menjadi sedikit lebih lentur. Jika terjadi sesuatu yang membuat dia harus bengkok sedikit, tentu saja tidak ada masalah. Berbeda dengan mereka yang kaku, mereka menelan semua instruksi mentah-mentah tanpa dikunyah dan dicerna dengan baik.

Perjalanan spiritual kita kan bertemu dengan 1001 situasi, bahkan yang paling absurd sekaligus juga akan terjadi. Lalu respon dari masing-masing orang apa dong? Nah, ini menarik untuk diperiksa, silakan periksa diri masing-masing, jangan “kepo”-in orang lain, karena meditasi itu melihat ke dalam, jangan sibuk melihat keluar sana.

Mereka yang kaku akan mempertahankan “apa” yang mereka anggap “benar”, sedangkan yang sedikit lentur menyetujui kalimat di atas sampai taraf tertentu saja, sambil terus siap-siap menerima kondisi-kondisi lain, sambil terus membuka hati untuk mengobservasi tanpa judgement.

Meditasi seharusnya membuat manusia bisa lebih lentur, sehingga dia tidak mudah patah dalam perjalanan spiritual ini.

Meditasi memberikan dia kelenturan tertentu, sehingga ketika kayu itu dibengkokkan sedikit maka tidak ada terjadi retak, apalagi patah. Manusia seperti ini mungkin bisa bertahan cukup lama bahkan mengalami kemajuan pesat.

Dia perlu hati-hati dengan berbagai instruksi maupun guru yang agak ekstrem. Diantara guru-guru meditasi, ada saja diantara mereka yang menyimpan potensi “ekstrem”. Ada instruksi-instruksi tertentu bagus buat dirinya sendiri dan bahkan ia berhasil dengan cara “ekstrem” itu, lalu ia memaksakan kepada orang lain. Kalau mereka yang kaku, maka bisa langsung patah, makanya tak heran ada orang yang baru meditasi sekali langsung trauma dan menghilang forever! Mereka yang sedikit lentur mungkin bisa tetap bertahan, lalu bisa saja meneruskan latihan atau mencari guru yang lain.

Praktisi Terlalu Lentur
Ada praktisi yang sudah cukup berpengalaman, ia sudah keliling sana sini, mengenyam berbagai metode dan instruksi, berhadapan dengan guru yang cuek, perhatian, bahkan yang galak sekalipun. Mereka survive dalam berbagai kondisi, barangkali ini menjadi sukses tersendiri baginya.

Ada waktunya juga dia suka ke sana dan kemari, bahkan sering kehilangan arah, karena terlalu lentur sehingga sulit diluruskan lagi. Ini juga akan menjadi fireback effect. Jika ia terlalu lentur maka perlu ada campuran “kaku” agar dia bisa mengurangi kelenturannya. Memang lebih baik tidak terlalu kaku juga tidak terlalu lentur, ingatlah untuk menyetel diri agar pas! Saya Pakai istilah “menyetel” sesuai dengan terjemahan Bhavana (Chinese: 調, Pinyin: Tiáo), yang berarti menghadirkan kesesuaian atau adaptasi.

Instruksi memiliki peranannya, lakukanlah instruksi dengan baik. Anda sebagai praktisi perlu selalu memeriksa instruksi tersebut, jangalah menelan mentah-mentah instruksi-instruksi itu. Meditasi membantu seseorang menjadi sedikit fleksibel, bukan kaku, juga bukan terlalu fleksibel. Perlu untuk menguasai seni menyetel diri.

Menyetel Sitar
Anda pasti masih ingat bagaimana Siddharta menyetel dirinya? Ia menikmati kemewahan berlimpah ruah, kemudian meninggalkan semua kenikmatan itu untuk mengerti sisi lain dari kehidupan melalui tradisi kuno India yaitu sistem pertapaan menyiksa diri. Beliau menghabiskan waktu lama menggerus badan jasmani demi memurnikan batinnya, alhasil badannya malah mengalami sakit luar biasa dan penyakit bersarang di sana-sini.

Kisah tentang pemain sitar yang senarnya kendor (baca: terlalu fleksibel) tidak bisa menghasilkan musik, lalu terlalu kencang (baca: kaku) akan mengakitbatkan senarnya putus. Senar sitar itu perlu disetel terus menerus, bukan sekali setel lalu beres selamanya. Wong alat musik zaman sekarang juga menggunakan prinsip sama kok, setel terus agar suaranya harmonis.

Selamat terus menyetel sobat, jangan sampai kendor juga jangan sampai putus!

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.