Pindah Tiga Kali

meng-mu-san-qian

Mèng Mǔ Sān Qiān

Lingkungan termasuk satu dari sekian faktor pembentuk kehidupan manusia. Saya terlahir di keluarga Tionghoa maka secara alamiah banyak mendapat pengaruh budaya ini. Waktu kecil saya bertetangga dengan keluarga Jawa, namanya juga tetangga jadi kita saling kenal dekat, ini yang menjadi alasan saya sering main ke sana, walaupun hubungan kami hanya sebatas tetangga, namun entah mengapa nuansa kekeluargaan sangatlah kental, serasa tidak ada bedanya dengan keluarga kandung, malah kadang lebih dekat daripada keluarga kandung.

Setelah tamat SD, saya pindah ke desa lain, meneruskan sekolah menengah pertama, semenjak itu kami jarang bertemu dengan mereka lagi, namun setahun sekali mereka mengunjungi kami waktu perayaan tahun baru imlek, sungguh menakjubkan ketika mengingat kembali sebegitu erat tali persaudaraan dengan mereka.

Selesai SMP, saya pindah lagi ke kota mengikuti kakak tertua, saya menyelesaikan SMA tanpa mengenal dengan tetangga, menyedihkan bukan?

Waktu saya kuliah di Bandung, ada seorang teman bertanya, “Gaya bicaramu kok mirip orang Jawa yah?” Saya spontan jawab, “Oyah? Kok saya tidak sadar yah?” Saya anggap itu hanya sekedar obrolan ringan, tidak perlu menjadi perhatian.

Sekarang sudah berumur 30an tahun, saya mulai menyadari elemen Jawa yang ada dalam diri saya berasal dari tetangga waktu saya masih kecil. Percaya atau tidak, bahkan yang memberikan nama buat akte kelahiran saya juga dari mereka, saya sering berpikir kok banyak orang bilang nama saya kok rada Jawa yah? Saya masih belum konek saat itu. Setelah menempuh jalur kontemplasi bertahun-tahun, barulah lebih terang, barulah mengerti lebih dalam tentang diri sendiri, seperti orang yang baru saja kenalan, tidak tahu terlalu banyak, tapi saya berkenalan dengan diri sendiri, orang yang sudah saya kenal lama namun belum juga mengenal.

Saya merasa dekat dengan sebagian besar orang Jawa, cukup beruntung bisa bertemu dengan banyak teman-teman Jawa yang menarik dan unik, Anda pasti tahu apa yang saya maksud.

Ada sebuah nasihat bijak yang menyatakan, ketika tiga orang berkelana bersama, setidaknya ada satu orang yang bisa menjadi guru dalam perjalanan itu.

Mensius

Mensius 372 – 289 SM

Anda tahu Mensius 孟子(Mèng Zǐ)? Seorang filsuf ternama dari Tiongkok. Mensius banyak menerima inspirasi dari ajaran Konfusius. Mensius belajar di bawah asuhan Zisi, yang mana Zisi adalah cucu dari Konfusius. Mensius pernah berkelana dari satu tempat ke tempat lain selama 40 tahun lebih, bertemu denga para kaisar, jenderal, menteri hingga rakyat jelata.

Satu figur yang menarik di balik Mensius adalah ibundanya. Ada sebuah pepatah lahir dari kisah hidup mereka, 孟母三遷 “Mèng Mǔ Sān Qiān” yang artinya Ibunda Mensius pindah tiga kali.

Pepatah itu merujuk pada kisah Ibunda Mensius yang pindah rumah tiga kali demi menghindari lingkungan yang buruk. Pepatah itu menyiratkan betapa pentingnya lingkungan tempat hidup dan bagaimana lingkungan bisa memberi pengaruh pada perkembangan seseorang.

Ayahanda Mensius meninggal ketika Mensius masih belia, ibundanya harus menjadi single parent untuk mengash anaknya. Keluarga Mensius termasuk keluarga miskin, awalnya mereka pindah ke daerah yang tidak terlalu jauh dari tempat pemakaman. Di zaman itu ada orang yang secara khusus dibayar untuk menangis di tempat pemakaman sebagai sebuah simbol sedih atau berkabung. Mensius banyak mendengar jeritan dan tangisan para penangis bayaran sehingga ia pun meniru jeritan dan tangisan mereka. Ibunda Mensius merasa khawatir dan tidak nyaman dengan kondisi itu, dia memutuskan untuk pindah rumah.

Mereka pindah ke rumah yang tidak terlalu jauh dari pusat perdaganggan. Zaman dahulu para pedagang menyandang citra kurang baik. Perangai para pedagang cukup memprihatinkan, mereka berbicara, berteriak, menuntut, bahkan mengejek dalam transaksi jual beli. Mensius melihat dan meniru sikap para pedagang setempat. Ibunda Mensius melihat gejala buruk mulai menjangkit anaknya, ia pun tidak sanggup menantang derasnya pengaruh lingkungan, akhirnya ia memutuskan untuk pindah rumah lagi.

Tibalah mereka di kawasan yang tidak terlalu jauh dari pusat pendidikan. Terinspirasi oleh para cendekiawan dan pelajar, Mensius pun mulai belajar dengan teguh dan tekun.

Dalam proses studi Mensius tentu saja tidak selalu mulus. Suatu ketika Mensius bermalas-malasan, tidak semangat, dan sering bolos sekolah. Ibundanya menganggap sikap seperti itu sama saja dengan menyepelekan pendidikan.

Tak habis akal, ibundanya mengambil pakaian setengah jadi yang sedang ia tenun, ia gunting pakain itu di depan mata anaknya, tentu saja sang anak kaget. Saya membayangkan inilah dialog yang terjadi:

Mensus: “Mengapa ibu menggunting pakaian setengah jadi itu?
Ibunya membalas, “Lalu mengapa kamu menggunting sekolahmu yang belum tamat itu?

Ketika seseorang memulai sesuatu maka hendaknya jangan berhenti di tengah jalan, namun harus menyelesaikannya sampai tuntas. Jika tidak, semua upaya menjadi sia-sia sama seperti pakaian setengah jadi yang digunting itu. Mengunting pakaian setengah jadi itu persis sama dengan mengunting pendidikan yang belum selesai. Mensius kembali bangkit dan meneruskan sekolahnya hingga selesai.

Mengasuh zaman anak pada zaman sekarang tentu saja sangatlah berbeda, itelegensi anak zaman sekarang juga sudah berada di level yang berbeda jika dibandingkan dengan anak-anak zaman dahulu, walaupun demikian sebagai orang tua, menemukan lingkungan yang baik untuk membantu anak tumbuh berkembang juga sangat penting.

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.