Guru Spiritual

Guru Spiritual
Oleh Dagpo Rinpoche

Kualifikasi Guru Spiritual
Dalam Lamrim Chenmo menyebutkan tentang [1] definisi seorang guru spiritual yang menenuhi kualifikasi, [2] definisi seorang murid yang memenuhi kualifikasi, dan [3] bagaimana murid tersebut bertumpu kepada guru spiritual tersebut.

Dalam “Mahayana-sutra-alamkara” terdapat sepuluh kualitas seorang guru spiritual, di masa kemerosotan ini, seorang murid melihat gabungan kualitas baik dan buruk seorang guru spiritual, sungguh sulit bagi seorang murid untuk melihat dengan jelas sepuluh kualitas guru spiritual itu.

[1] Sila, [2] Samadhi, [3] Pannya, [4] pengetahuan dalam, [5] Virya, [6] paham Tripitaka, [7] pengertian tentang shunyata, [8]kemampuan mengajar, [9] maha karuna, [10] membimbing murid tanpa lelah. Minimal memiliki 5 kualifikasi, yaitu Sila, Samadhi, Pannya, mengerti secara mendalam tentang Shunyata (walaupun belum merealisasi shunyata), maha karuna; kalau ada 5 kualifikasi ini sudah dianggap baik.

Seorang Guru spiritual selalu mengingatkan betapa pentingnya kehidupan akan datang, jika seorang guru spiritual hanya mementingkan kehidupan ini saja seperti reputasi baik, kekayaan, dan lain-lain, maka dia tidak termasuk dalam kualifikasi seorang guru spritual. Karena yang kita diskusikan adalah guru spiritual mahayana, tentu saja dia akan lebih sering mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.

Seorang guru spiritual yang berpengetahuan luas berarti dia yang mengetahui topik-topik yang akan diajarkannya, berbicara berlandaskan tripitaka, referensi dan kutipan, penalaran logika yang valid serta pengalaman pribadinya. Seorang guru juga perlu menerima pelajaran dharma dari seorang guru spiritual terdahulu melalui garis silsilah jelas.

Hubungan guru dan murid bisa tercipta memalui berbagai cara, bahkan hanya datang mendengar dharma saja, trisarana, menerima inisiasi, dan calon murid membangkitkan niat dari hati yang paling dalam ingin menjadi murid calon guru spiritual tersebut, maka hubungan guru dan murid tercipta.

Kadang-kadang permohonan formal dihadapan guru spiritual tersebut juga diperlukan, namun tidak selalu demikian adanya, dan tampaknya guru spirutal juga berhak untuk tidak menerima murid tesebut. Oleh karena itu, tidak perlu terburu-buru untuk menjalin hubungan guru dan murid, berikanlah dirimu dan guru tersebut sekian waktu sehingga bisa saling mengenal lebih dalam.

Kita sebagai calon murid jangan hanya terkesima melihat seorang guru yang berparas rupawan, duduk di atas tahta, mengenakan jubah yang berkilauan, cara bicara dan lain-lain sebagainya, berhati-hatilah dengan kesan pertama, jangan-jangan nanti kita bisa tertipu oleh guru spiritual tersebut.

Kita perlu waktu untuk mencari tahu karakter guru tersebut, mengikuti kegiatan-kegiatan bersama, sehingga kita memiliki kesimpulan sendiri, sebaiknya bertumpu pada kesimpulan sendiri, kita boleh mendengarkan pendapat orang lain, namun pendapat orang lain belum tentu tepat apa adanya.

Sebelum mengangkat seseorang menjadi guru spiritual kita, ada baiknya kita menganggap calon guru tersebut sebagai sahabat, tanpa menjalin hubungan guru dan murid, dengan demikian kita juga bisa belajar dari seorang sahabat.

Kita boleh menjadikan calon guru tersebut sebagai sahabat dharma atau kakak dharma jika orang itu lebih tua dari kita, karena kita tetap perlu menghormati kakak senior dharma, memandang mereka adalah keluarga dharma yang berjalan bersama menuju pencerahan sempurna. Apabila yang mengajar dharma adalah seorang wanita, kita juga bisa melihatnya sebagai kakak senior, seorang kakak perempuan senior dalam dharma.

Kualifikasi Murid
Karakteristik umum seorang murid ialah jujur, atau disebut jujur secara intelektual, maksudnya adalah tidak keras kepala dalam mempertahankan pendapat pribadi, perlu sikap objektif, tidak berat sebelah, melihat kebenaran yang diajarkan, jika terdapat perbedaan maka kita boleh merenungkan baik-baik, dan kita boleh menyesuaikan diri dengan ajaran itu.

Persyaratan lain seorang murid adalah memiliki inteligensia untuk mengerti dharma, kemudian seorang murid juga perlu memiliki ketertarikan terhadap dharma. Walaupun intelegensia tidak terlalu tinggi, namun apabila seorang murid memiliki ketertarikan terhadap dharma, maka intelegensia akan tumbuh sedikit demi sedikit.

Persyaratan lain yaitu kemampuan untuk mendengar dengan sabar dan terfokus, jika mendengarkan dharma kemudian pikiran sering melayang ke tempat lain, tentu saja tidak akan memberikan manfaat besar. Walaupun seorang guru sangat berkualitas, namun murid tidak memiliki kualifikasi minimal, tentu saja tidak akan memberikan manfaat yang signifikan juga. Namun, walaupun seorang guru tidak memiliki kualitas tinggi, namun murid memiliki semua kualifikasi, maka seorang murid yang baik juga bisa menerima banyak manfaat dari guru spiritualnya.

Jey Tshongkhapa menyatakan, “Jika engkau ingin menjadi seorang guru dharma, periksalah dirimu, apakah kamu sudah memiliki kualifikasi-kualifikasi itu, jika belum punya kualifikasi itu, maka mulai sekarang bekerja keras untuk memperoleh kualifikasi itu, pastikan dirimu memiliki kualifikasi minimum”

Suatu ajaran dharma akan memberikan manfaat apabila dari sisi guru spiritual dan murid telah memenuhi kaulifikasi, informasi awal tentang kualifikasi guru spiritual dan murid adalah demi mengingatkan kita, apabila masih belum memenuhi kualifikasi, kita bisa berupaya untuk mencapai kualifikasi minimum.

Dalam karya berjudul, “Instruksi Lisan Manjugosha”, Dalai Lama ke-5, Sonam Gyatso menyatakan, “Bagaikan seekor burung yang memiliki sepasang sayap sehingga mudah untuk terbang, seorang murid yang berkualifikasi membutuhkan guru spiritual yang berkualifikasi juga sehingga pembebasan dan pencerahan memungkinkan”

Kita perlu berterima kasih kepada Buddha Sakyamuni karena beliau mengajarkan kebebasan sepenuhnya dalam memilih guru spritual dan tidak ada orang yang memaksa kita untuk mengikuti guru spritual ini atau itu, semua ini pilihan kita masing-masing.

Ketika suatu hubungan telah tercipta, kita tidak bisa merubahnya lagi, atau memutuskan hubungan guru dan murid dengan mengatakan, “Maaf, saya silap, mulai sekarang ini saya tidak mau menjadi muridmu lagi”, ini tidak mungkin, jadi walaupun terjadi hal-hal yang buruk, kita tetap fokus pada sisi baik dan abaikan yang buruk, dan kalau tidak bisa juga, kita boleh tetap mempertahankan pikiran netral.

Ketika bertemu dengan seorang calon guru spiritual, kita sepantasnya menunggu terlebih dahulu, jangan langsung menjalin hubungan guru dan murid, tunggulah sekian lama, periksalah dengan teliti dan seksama calon guru tersebut, jangan jatuh pada pandangan pertama, periksalah apakah calon guru tersebut memiliki kualifikasi minimum yang disebutkan di atas. Pepatah tibet mengatakan, jangalah seperti seekor anjing yang berjalan kemudian melihat sebongkah tulang di tengah jalan, anjing itu akan langsung melahap tulang itu!

Zaman India dahulu, kadang ada murid yang menghabiskan waktu 10 sampai 13 tahun untuk memeriksa seorang guru, ketika kita sudah sangat yakin terhadap calon guru spiritual tersebut, maka kita bertekad untuk mengabaikan hal-hal yang buruk dalam guru spritual tersebut, kita hanya melihat sisi positif. Zaman dahulu memang sedemikian lama, namun tidak mutlak benar adanya, kadang kita menunggu dan menunggu, dan akhirnya guru spiritual sudah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum kita memperoleh guru maupun memperoleh manfaat dari guru spiritual tersebut, oleh karena itu tidak terlalu lama, tidak terburu-buru, tetap menggunakan kadar ‘jalan tengah’ masing-masing orang.

Kita akan terus melihat sisi negatif atau sisi buruk guru tersebut, dan begitu juga sisi positif atau sisi baik akan terus bermunculan, jadi kita menyadari sepenuhnya akan hal demikian, dan kita sadar bahwa sisi positif akan memberi manfaat kepada kita, sedangkan sisi negatif memberi efek buruk.

Memilih seorang guru spiritual juga memiliki resiko, periksalah baik-baik, kalau membuat keputusan keliru, tentu saja akan mendatangkan resiko besar. Kalau kita mau menjalankan suatu bisnis dan tidak mempertimbangkan baik-baik, maka kita bisa saja berakhir dengan bangkrut total dan menjadi gembel jalanan.

Manfaat Bertumpu Kepada Guru Spiritual
Manfaat bertumpu kepada guru spiritual membawa kita semakin dekat dengan pencerahan sempurna, para Buddha dan Bodhisattwa akan bermudita (karena kita memunculkan aspirasi menuju kebajikan dan menuju pencerahan sempurna), bisa terhindar dari sahabat-sahabat yang menyesatkan, berkurangnya banyak pikiran gelap, mendapat berkah berupa kebajikan, perjalanan spiritual akan semakin mulus, berkesempatan bertemu guru spiritual di kehidupan akan datang, terhindar terlahir ke alam rendah (karena mempraktikkan sila dan dharma), tujuan spiritual akan mudah tercapai.

Di zaman sekarang ini, Buddha akan mengemanasikan diri sebagai guru spiritual, kalau Buddha muncul dalam bentuk Buddha yaitu sambhogakaya, kita tidak memiliki karma baik yang cukup untuk melihat Buddha, oleh karena itu Buddha mengemanasi diri sebagai guru spiritual.

Dalam Maha Prajnaparamita disebutkan, apabila kita memberi persembahan kepada guru spiritual yang merupakan emanasi dari Buddha, maka Buddha tiga masa akan masuk ke dalam guru spiritual kita dan menerima persembahan itu, sehingga kita menerima berkah. Jika kita tidak bertumpu kepada guru dengan tepat, maka akan memberikan efek-efek berat yang merupakan kebalikan dari manfaat-manfaat bertumpu kepada guru.

Belajar kepada seorang guru spiritual bukanlah seperti memeras air susu dari sapi, mungkin suatu hari nanti pengetahuanmu tentang tripitaka lebih dalam daripada guru spiritualmu, sehingga kamu menjadi sombong dan meremehkannya, bertindak demikian sama saja denga meremehkan Buddha tiga masa.

Suatu waktu, kamu merasa memiliki kualitas dan kualifikasi kamu melebihi guru spiritualmu, dan kamu mulai melihat sifat-sifat buruk guru spiritualmu, kamu mulai mengkritik dengan mengatakan guru ini terlalu materialistik, guru ini terlalu angkuh, pemarah, dan sebagainya.

Kita sebagai murid tetap perlu ingat, mengapa kita bertumpu kepada guru spiritual? Karena guru spiritual tersebut memiliki banyak kualitas baik yang kita juga ingin memilikinya, karena guru spiritual tersebut memiliki pengetahuan luas, maha karuna, berlatih Sila, Samadhi, dan Pannya dengan tekun, dan sebagainya.

Kemarahan terhadap seorang guru bisa membawa kita terlahir ke alam neraka dalam waktu yang lama sekali, dalam Bodhisatwacaryawatara menyebutkan bahwa “Apabila kamu sebagai makhluk biasa marah terhadap seorang bodhisatwa, kamu beresiko membakar semua karma baik yang telah terakumulasi dalam kurun berkalpa-kalpa, karma baik yang terakumulasi dari memberi persembahan kepada Buddha.” Karena kita tidak tahu persis siapa saja yang sudah mencapai tingkat bodhisatwa atau arya bodhisatwa, sebaiknya jangan marah kepada siapapun, apalagi guru spiritual kita.

Efek buruk lain yang ditimbulkan kalau kita tidak bertumpu kepada guru dengan tepat adalah pada kehidupan akan datang akan sulit menemukan guru spiritual dan sering terlahir ke alam rendah karena dorongan-dorongan energi karma buruk.

Keyakinan
Bertumpu kepada guru spiritual kita perlu mengembangkan 3 jenis keyakinan, [1] rasa kagum, [2] keyakinan kokoh, dan [3] ingin mencapai kualitas yang sama dengan guru spiritual tersebut.

Rasa kagum muncul karena kualitas-kualitas baik guru spiritual membuat kita merasa kagum, kagum juga muncul ketika mendengar dharma yang dibabarkan, kita menjadi bersemangat untuk berlatih dan bersemangat untuk segera keluar dari samudra penderitaan samsara ini, atau kagum atas instruksi-instruksi guru spiritual tersebut. Keyakinan kokoh, sebagai contoh ketika kamu betul-betul yakin bahwa samsara penuh dengan ketidakpuasan dan penderitaan, maka ini adalah keyakinan kokoh yang lahir dari keyakinan. Keyakinan jenis terakhir adalah ingin memiliki kualitas yang sama seperti guru spiritual, kita yakin bahwa kita memiliki kemampuan untuk mencapai kualitas baik itu juga.

Suatu ketika, seorang datang bertemu dengan Atisa dan memohon instruksi dharma, orang tersebut terus memohon sampai tiga kali, sementara Atisa tetap diam, kemudian orang tersebut mulai tidak sabar dan sedikit berteriak, “Mohon berikan aku instruksi!” Atisa akhirnya tersenyum dan bilang “Telingaku masih normal, kamu tidak perlu berteriak, instruksi untukmu adalah, keyakinan, keyakinan, dan keyakinan!” Intisarinya adalah, walaupun seseorang memohon instruksi dharma dan mendengarkan begitu banyak ajaran dharma, namun tidak memiliki keyakinan, maka sulit untuk mendapatkan manfaat apa pun.

Untuk memunculkan tiga jenis keyakinan itu, kita perlu memandang guru spiritual sebagai Buddha, bagaimana bisa memandang guru spiritual sebagai Buddha? Seandainya kita memandang guru spiritual sebagai Buddha, maka yang mendapat manfaat adalah diri kita sendiri. Terlepas apakah guru spiritual adalah seorang Buddha atau bukan, jadi kita tetap bisa memandang guru spiritual sebagai Buddha sehingga kita bisa menerima berkah dari Buddha.

Perlu hati-hati dengan pernyataan ini, karena kita akan mengira bahwa seorang guru spiritual begitu arogan dengan menyatakan perlu memandang guru spiritual sebagai Buddha, tentu saja ini semata-mata untuk memberikan manfaat kepada murid, kamu memandang guru spiritual sebagai Buddha, kamu menerima berkah dari Buddha, kalau kamu memandang guru spiritual sebagai bodhisatwa maka kamu menerima berkah dari bodhisatwa, dan ketika kamu memandang guru spiritual sebagai manusia biasa, maka kamu menerima berkah dari manusia biasa.

Diantara sekian banyak guru spiritual, tentu saja ada emanasi Buddha, namun bukan karena seseorang guru spiritual lantas dia adalah emanasi Buddha, seorang guru spiritual akan tahu sangat jelas apakah dirinya sendiri adalah seorang Buddha atau bukan, kamu akan mengerti pada suatu hari nanti ketika kamu menjadi guru spiritual.

Namun, juga bukan berarti ketika kamu menjadi guru spiritual, kamu tiba-tiba menjadi Buddha, kalau bisa demikian tentu saja bagus, namun kenyataanya tidaklah demikian. Nanti semua orang ingin menjadi guru spiritual, namun tampaknya memang banyak orang yang ingin menjadi guru spiritual, mereka tidak menyadari betapa besarnya tanggung jawab seorang guru spiritual.

Jadi, ketika kita menjadi guru spiritual, bukan berarti tiba-tiba kita menjadi Buddha, ketika suatu hari nanti ketika murid kita memandang kita sebagai Buddha, maka yang mendapatkan manfaat adalah murid, bukan kita sendiri.

Mungkin ada pertanyaan yang muncul, apakah bisa memandang seseorang yang bukan Buddha sebagai Buddha? Jangankan manusia, banyak diantara kita yang punya keyakinan kokoh terhadap patung Buddha sebagai Buddha sesungguhnya, walau patung Buddha itu terbuat dari tanah liat, tembaga, dan lain-lain.

Kalau memang betul kita bisa memandang patung Buddha sebagai Buddha benaran, mengapa kita tidak bisa memandang guru spiritual (makhluk yang betul-betul hidup) kita sebagai Buddha? Guru spiritual memiliki benih Buddha (Thatagathagarbha) yaitu potensi untuk merealisasi Buddha, jadi seharusnya lebih gampang memandang guru spiritual sebagai Buddha daripada patung Buddha yang terbuat dari tanah liat.

Persepsi
Zaman dahulu, ada seorang biksu yang bernama Lekpe Karma yang selalu menemani Buddha Sakyamuni selama 12 tahun, namun tidak sanggup melihat Buddha Sakyamuni sebagai Buddha, Lekpe Karma hanya melihat Buddha sebagai seorang biksu, menerima makanan, tidur, mengajar, tidak lebih dari itu.

Persepsi kita terhadap guru spiritual sangat dipengaruhi oleh kondisi batin kita, contoh segelas air dilihat sebagai nektar oleh para dewa, dan dilihat sebagai air biasa oleh manusia, dan terlihat sebagai nanah oleh para preta dan asura.

Nagarjuna memberikan contoh, seorang manusia melihat bulan memancarkan kesejukan walaupun di musim panas, dan matahari begitu menghangatkan ketika musim dingin; namun bagi makhluk halus kelaparan, bulan terasa begitu panas ketika pada musim panas, dan matahari tetap terasa dingin walaupun di musim dingin.

Ikan akan merasa enak ketika berada dalam air, namun bagi manusia, hidup dalam air adalah penderitaan, karena sulit bernapas. Bahkan tiga orang manusia memandang seorang guru spiritual juga akan menghasilkan tiga jenis pandangan, padahal objek yang dipandang adalah sama.

Dari kejauhan, ketika kita melihat seekor kelinci yang mengangkat kedua telinganya ke atas, barangkali kita bisa berkesimpulan bahwa semua kelinci memiliki tanduk, apakah ini adalah persepsi yang valid?

Untung saja saat ini kita bukanlah makhluk halus kelaparan atau binatang, sehingga kita memiliki kemampuan persepsi yang lebih akurat daripada mereka, demikianlah persepsi dan cara pandang kita, namun setahap demi setahap kita bisa melihat realitas sesungguhnya.

Emanasi Buddha
Dalam Sutra, Amogadhasi pernah bertanya kepada Buddha, “Buddha, apa yang harus kami lakukan ketika engkau telah tiada, kami kehilangan pelindung.” Buddha menjawab, “Dengarkanlah Amogadhasi, ketika akhir zaman telah tiba, aku akan muncul sebagai seorang instruktur, Aku akan bersemayam di dalam guru spiritual”

Buddha tentu saja akan beremanasi menjadi manusia, coba bayangkan apabila Buddha mengemanasikan diri sebagai seekor binatang, tampaknya sulit memberikan pelajaran dharma, walaupun bisa memberikan manfaat kepada sekelompok binatang saja.

Dari sekian banyak guru spiritual, tentu saja ada guru spiritual yang merupakan emanasi dari Buddha, ada orang yang memiliki keyakinan sangat kuat dan kokoh dan memiliki intelegensia tinggi, kemungkinan mereka bisa dengan mudah memandang guru spiritualnya sebagai Buddha.

Kalaupun memang ada emanasi Buddha, tentu saja mereka ada disekeliling kita, seorang Lama yang sangat-sangat tinggi dan sangat sulit dijangkau, dan sulit dikontak, tentu saja tidak akan memberikan manfaat apa pun kepada kita.

Kalau memang sungguh ada emanasi Buddha, tentu saja adalah mereka yang memberikan kita pelajaran dharma, atau bisa saja diantara sanak famili kita, atau teman-teman dekat kita, Buddha akan mengemanasikan dirinya ke dalam kondisi yang paling memungkinkan untuk kita.

Ketika memilih seorang guru spiritual, kita cenderung akan segera mengeliminasi seseorang dengan menyatakan, “guru spiritual ini terlalu pelit, tidak cocok untuk menjadi guru spiritual, guru ini terlalu mata duitan, guru ini terlalu melekat pada makanan, guru ini terlalu mudah marah, dan lain lain” Eliminasi ini akhirnya tidak menyisakan siapapun yang bisa jadi guru spiritual kita. Akhirnya kita berkesimpulan bahwa Buddha sudah tidak ada, dan Buddha membiarkan aku sendirian.

Emanasi Buddha bisa dianggap seperti bulan yang memantulkan bayangannya pada setiap tempat yang ada air, di gelas, genangan air, kolam, sungai, dan berbagai tempat dan wadah yang berbeda-beda, jadi bayangan bulan itu adalah emanasi Buddha, dan wadah yang ada air itu adalah guru spiritual, jadi Buddha bisa mengemanasi dalam tempat yang sangat banyak dalam satu waktu bersamaan.

Buddha mengemanasi sebagai pangeran Siddharta juga demi kebaikan kita, apabila Buddha tetap berada di Tushita dan tidak mengemanasikan diri sebagai putra mahkota suku Sakya, tentu saja tidak akan memberikan manfaat apa pun kepada kita semua. Dengan muncul sebagai guru spiritual, Buddha bisa memberikan manfaat kepada kita semua, Buddha muncul dalam bentuk guru spiritual dan memiliki kualitas lebih banyak daripada kita, maka kita bisa bertemu dan berguru kepadanya, dan kita bisa lebih dekat dengannya.

Mengemban Tugas Buddha
Tugas guru spiritual adalah mengarahkan kita menuju kebajikan, karena tujuan semua Buddha adalah mengarahkan kita menuju kebajikan, membantu kita mengakhiri penderitaan dan memperoleh kebahagiaan sejati, mereka yang mengarahkan kita menuju kebajikan adalah guru spiritual kita.

Tugas seorang guru bisa dipandang sebagai seorang yang mengemban tugas seorang Buddha, memberikan berkah berupa dharma, makluk yang berlatih dharma dengan rajin dan tekun akan menuai kebajikan, kualitas hidup dan spiritual semakin baik. Terima kasih kepada guru spiritual sehingga kita bisa menuai kebajikan, kemajuan batin, dan kemajuan spiritual.

Melalui guru spiritual, kita mulai mengerti intisari dharma yang disampaikan oleh Buddha sejak ribuan tahun lalu, para guru spiritual-lah yang membabarkan dharma di zaman seperti ini. Memang muncul keraguan dalam diri kita, apakah guru spiritual yang sedang bicara di depan itu adalah seorang Buddha atau bukan, jika kita tidak bisa memandang guru spiritual sebagai Buddha, pandanglah dia sebagai seseorang yang mengemban tugas dari Buddha, seorang yang menerima tanggung jawab dari Buddha, seorang guru yang hidup di depan kita, karena Buddha sudah mahaparinirvana sejak ribuan tahun lalu.

Ucapan Buddha
Kita juga bisa memandang bahwa ucapan guru spiritual kita merupakan berkah dari Buddha, contohnya dalam Sutra Prajnaparamita, Buddha memberkahi Sariputra sehingga muncul dialog dengan Awalokiteshwara, namun dialog antara Sariputra dan Bodhisatwa Awalokiteshwara tetap dianggap sebagai pembabaran Dharma oleh Buddha Sakyamuni, karena melalui berkah dan dorongan dari Buddha Sakyamuni sehingga Sariputra melontarkan pertanyaan itu.

Kita bisa memandang bahwa ucapan guru berasal dari berkah Buddha, dan ajaran Dharma demi semua makhluk, bukan untuk dirinya sendiri. Kita yakin bahwa Buddha selalu mencari kesempatan terbaik untuk membantu manusia dalam berbagai cara. Dalam Mahaprajnaparamita juga disebutkan bahwa Buddha akan masuk bersatu dengan guru spiritual dan membabarkan Dharma.

Ucapan Buddha terdiri dari tiga jenis, yang pertama adalah ucapan langsung dari Buddha, kedua adalah Buddha memberikan izin, dan yang ketiga adalah Buddha memberikan berkah. Ucapan Langsung dari Buddha tercatat dalam berbagai Sutra, ucapan yang diberikan izin oleh Buddha adalah kepada murid utamanya seperti Ananda, yang mana Ananda selalu memulai dengan “Demikianlah yang telah aku dengar…..”, Buddha memberikan izin kepada Ananda untuk menyebutkan tempat, jumlah orang yang hadir, isi dari pelajaran dharma, dan penutup yang berisi mudita cita. Ucapan jenis ketiga adalah Buddha memberikan berkah seperti dialog yang terjadi antara Sariputra dan Bodhisatwa Awalokiteshwara.

Sampai pada titik tertentu, kita masih binggung tentang guru yang manakah adalah emanasi Buddha atau bukan, oleh karena itu lebih baik memandang guru spiritual kita adalah Buddha karena dengan cara pandang demikian akan memberikan manfaat buat kita sendiri.

Inisiasi & Transmisi Lisan
Kita perlu berhati-hati dalam suatu upacara inisiasi, kalau dalam hati seseorang tidak punya niat untuk menjadi murid guru spiritual yang memberikan inisiasi tersebut, maka hubungan guru dan murid tidak tercipta, karena tujuan orang mengikuti inisiasi sangat banyak, ada orang yang ingin mendapatkan kekuatan supranatural, ada orang yang senang koleksi inisiasi, ada orang yang memang senang menghadiri kegiatan-kegiatan yang penuh dengan ritual.

Jika seseorang datang ikut inisiasi dan dengan segenap hatinya bertekad untuk menjadi murid dari guru spiritual yang memberikan inisiasi tersebut, tentu saja hubungan guru dan murid terjadi. Kalau suatu hari nanti kamu merasa keberatan terhadap guru spiritual tersebut, atau punya banyak masalah, maka upayakan untuk tidak melihat keburukannya, pertahankan sikap netral.

Namun yang cukup bijak adalah jangan mengikuti inisiasi atau transmisi lisan kalau kita tidak ingin menjadi murid dari guru spiritual tersebut, jika kamu menerima inisiasi dan transmisi lisan dengan tidak menganggap dia sebagai guru spiritualmu, kamu seperti seseorang yang hanya memeras susu dari sapi, memanfaatkan seseorang untuk memperoleh sesuatu yang kamu inginkan yaitu inisiasi dan transmisi lisan.

Buddha dan Derita
Dalam karya yang berjudul “Tshom”, Buddha menyatakan bahwa ia tidak sanggup membersihkan semua karma buruk kita dengan guyuran air, ia juga tidak sanggup menganggkat semua penderitaan semua makhluk dan menyingkirkannya, ia hanya sanggup mengajarkan cara tepat untuk mengakhiri penderitaan, menunjukkan sikap yang tepat dan positif sehingga memberikan manfaat kepada semua makhluk, mengajarkan tentang akibat buruk dari tindakan-tindakan negatif sehingga semua makhluk berupaya menghindarinya.

Saat ini, siapakah yang mengemban tugas seorang Buddha? Tidak lain tidak bukan, dia adalah guru spiritual kita. Guru spiritual kita yang mengajarkan bagaimana untuk membangkitkan motivasi baik, bagaimana melakukan kebajikan, berlatih sila, konsentrasi, mengajarkan kita untuk menjadi lebih bijaksana, tugas seperti ini mirip dengan tugas seorang ibu yang mengajarkan anaknya untuk makan, berjalan, dan sebagainya.

Kadang-kadang kita berpikir, O…para Buddha berada di tanah suci Buddha, mereka membiarkan kita menderita, sebetulnya kita yang tidak sanggup melihat Buddha, padahal Buddha berada di sekeliling kita.

Terima Kasih Guru
Kita perlu berterima kasih kepada guru spiritual, Atisa selalu bilang bahwa dirinya tidak memiliki kualitas apa pun, namun para pengikut Atisa langsung menyela, “tidak, tidak, Engkau yang memiliki begitu banyak kualitas kesempurnaan, seorang cendekiawan, menjalankan winaya dengan sempurna, penuh cinta kasih dan welas asih”. Atisa protes, “Semua itu bukanlah kualitas diriku, semua kualitas yang aku miliki saat ini, pengetahuan yang aku punya sekarang ini berasal dari guru ini, dan kualitas ini berasal dari guru itu, dan seterusnya, Aku sangat berterima kasih kepada Guru Serlingpa sehingga aku punya sedikit cinta kasih dan welas asih dalam hatiku.” Atisa sadar sepenuhnya bahwa semua kualitasnya adalah berkat guru spiritualnya.

Jika para guru spiritual mengambil balik semua kualitas baik itu dari Atisa, maka dia hanyalah seorang manusia biasa tanpa kualitas apa pun, oleh karena itu banyak murid yang mempersembahkan hasil latihannya kepada guru spiritualnya, karena pesembahan materi dunia sungguh tidak bermakna lebih dari sekedar persembahan materi, persembahan tertinggi adalah persembahan latihan kita kepada guru spiritual.

Tentu saja kita boleh mempersembahkan apa pun kepada guru spiritual kita, persembahan materi, bantuan, waktu, tenaga, dan energi, dan semua akan memberikan manfaat dari dimensi lain dari latihan kita bertumpu kepada guru spiritual. Melaksanakan instruksi dan nasihat guru spiritual akan membawa kita semakin dekat dengan pencerahan sempurna, ini menjadi persembahan kita kepada guru spiritual.

Buddha adalah guru spiritual kita secara tidak langsung, yang menghubungkan kita dengan Buddha adalah guru spiritual, Buddha telah mahaparinirvana dan tidak bisa memberikan instruksi lisan, berkat para guru spiritual yang juga merupakan murid dari guru spiritual sebelumnya, sebelumnya, dan sebelumnya lagi hingga tiba pada Buddha Sakyamuni, ajaran beliau dilestarikan dan terus bertahan hingga zaman modern ini.

Guru spiritual kita termasuk dalam silsilah Buddha Sakyamuni sehingga Buddha Sakyamni juga sebagai guru kita, kalau sampai detik ini engkau belum memiliki guru spiritual, maka Buddha Sakyamuni adalah gurumu, Terima kasih Buddha!

Disarikan oleh Nyanabhadra
Pelajaran lisan tentang Lamrim dari Dagpo Rinpoche
Topik: Bagaimana Bertumpu Kepada Guru Spiritual

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.