Pernah kentut kan? Mustahil kalau belum pernah! Aneh bin ajaib. Banyak yang bisa diomongkan urusan satu ini. Dari sederet pengalaman pribadi hingga pengalaman orang lain. Orang timur dan barat punya perspektif berbeda kalau bicara tentang kentut. Bagi Anda yang sudah pernah tinggal lama di eropa, barangkali sudah tahu bagaimana reaksi mereka terhadap kentut, bayangkan raut wajah mereka dengan penuh kegirangan dan tersenyum bilang “Good” sambil mengangkat jempol. Sementara, orang asia yang akan mengeryitkan dahi dan merasa jijik sambil berseloroh, “Jorok ah…”, dan celakanya lagi, ada orang yang tak segan-segan menuduh orang lain sebagai pelakunya. Tampaknya sangat sesuai dengan leluconnya, tembak ke bawah yang kena di hidung, atau pepatah yang menyebutkan “lempar batu sembunyi tangan”.
Ada yang salahkan dengan kentut? Kentut sungguh sesuatu yang sehat dilihat dari proses pengeluarannya, gas yang ada dalam usus didorong keluar, jika tidak demikian, maka pencernaan makanan akan menjadi sedikit runyam. Sesungguhnya kita perlu bersyukur jika bisa kentut, bayangkan saja kalau semua gelembung itu macet di dalam usus, apa yang akan terjadi? Inilah alasannya sebagian besar orang eropa ataupun amerika tidak keberatan kalau ada orang yang kentut, bahkan di hadapan mereka, reaksi mereka bisa bermacam-macam, masih dalam koridor positif, mereka sekedar tersenyum atau bahkan biasa-biasa saja seperti tidak terjadi apa pun, toh itu proses alami manusia mengeluarkan gas.
Hal yang kurang berkenan tampaknya bau tak sedap yang ditimbulkan, memang ada kentut yang berbunyi “pret”, atau “tuuuut”, ada kemungkinan besar tidak menghasilkan bau tak sedap, namun berhati-hatilah sama yang satu ini, yang tidak mengeluarkan suara sama sekali, kadang justru sangat mematikan. Anda boleh ketawa, ha ha ha.
Kena Tembak
Suatu ketika saya pernah berkunjung ke menara eifel, Anda tahu kan? Untuk menaiki pucuk tertinggi dari menara itu kita harus melalui satu pintu gerbang lagi, jadi kita harus mengantri, budaya antri di negara barat sangatlah tertib, tidak pakai acara diteriak-teriakin lagi.
Saya sedang asyik mengantri menunggu giliran membeli karcis tambahan dan kebetulan beberapa orang perancis di depan saya, mereka sedang seru bercerita ria, walaupun saya tidak mengerti bahasa perancis secara persis, tapi saya bisa menebak sepatah dua patah kata. Orang yang berdiri di depan saya berbicara berkobar-kobar dan bahkan sambil ketawa lebar sambil dibarengi dengan bunyi “pret-pret-pret”, Anda sudah bisa tebak suara apa itu, seperti senapan yang ditembak berkali-kali, sialnya saya berdiri persis di belakang dia, serasa kena “tembak”, dan dia dengan asyik melanjutkan percakapannya seperti tidak terjadi apa pun.
Dalam hati serasa ingin bilang, hey kalau mau kentut tuh mbok pantatnya digeser ke sebelah kiri atau kanan dikit biar ga nembak ke saya langsung. Mungkin dia sudah menunggu lama mau kentut, tapi dia menunggu momen yang tepat yaitu pas dia ketawa lebar sambil melepaskan “tembakan” itu, seperti orang dalam kamuflase. Apa pun alasannya, saya hanya ketawa kecil dalam hati, karena sadar bahwa kentut itu lumrah di dunia barat, dan kentut di publik juga tampaknya tidak menjadi suatu masalah.
Budaya Berbeda
Saya orang asia, dan sejak kecil budaya keluarga saya mengajarkan jika ingin kentut pergilah jauh-jauh dan cari tempat yang tidak ada orang barulah boleh melepaskan gas, jika di tempat ramai apalagi ada orang tua, kakek atau nenek, jangan coba-coba melepaskan gas, atau saya bisa kena damprat! Jadi, jangan heran kalau di keluarga saya ada orang yang tiba-tiba lari keluar, dan dari kejauhan bisa melihat gesture dia yang sambil kibas-kibas bagian pantatnya untuk mengusir gas tak sedap itu.
Saya punya banyak teman dengan orang barat, dari perancis, itali, jerman, belanda, amerika, dan spanyol. Mereka termasuk orang liberal, maksud saya kalau bicara konteks kentut, jadi jangan heran kalau mereka kentut di hadapan Anda dan merasa fine fine ajah. Saya sekali-kali suka mempelototin mereka sambil mengeryitkan dahi dan mata penuh keanehan. Budaya mereka mengajarkan bahwa kurang baik apabila menahan atau mencegah gas yang akan keluar, karena bisa menyebabkan penyakit. Sementara saya sendiri, demi mematuhi azas kesopanan keluarga, saya secara alami menahan kentut di hadapan orang lain, toh nanti juga akan lepas kok ketika di tempat yang sepi. Walaupun saya tahu di eropa menganut asas bebas kentut, tapi sesuatu yang sudah tertanam lama dalam kesadaran saya, tidak bisa berubah begitu saja.
Saya merasakan ada tekanan yang mewajibkan saya menahan kentut di hadapan orang sementara negara teman-teman perancis cuek-cuek saja kalau kentut. Sungguh kadang merasa konflik batin. Setelah sekian lama di perancis, saya juga mulai terbiasa mendengar “prat” “pret” dari kiri dan kanan, dan tentu saja tidak lama kemudian, saya juga ikut meramaikan orkestra kancah kentut bersama, kadang kita tertawa bersama, mereka kadang suka guyonin saya dan bilang, “Hey you are asian, you should not fart in front of people”, saya dengan santai membalas, “Here is France, I just follow the crowd, hahahha.”
Naturalisasi
Tetap saja masih ada rasa bersalah, karena budaya asia yang masih menempel kuat di dalam sanubariku, kadang saya berjalan disamping brother (sapaan kepada monastik pria di plum village, monastik wanita disapa dengan sister) perancis, saya ingin menghormati leluhur saya, mengikuti nasihat leluhur saya tentang kentut, jadi saya suka minta izin, “Dear brother, do you think you can give me permission to fart?” Dia langsung ketawa lewat, “Just do it, this is a free country, you can fart whenever and wherever you want.” Lantas, “Prat”, wah leganya bisa mengeluarkan gas “racun” dari perut, bukankah setiap orang yang menahan kentut itu sangat melelahkan, menderita, dan tidak nyaman?
Saya jadi punya kebiasaan untuk bercanda dengan meminta izin dengan temanku itu, dan sampai suatu hari, ada suatu kesempatan saya berjalan bersama dia dari ruang kuti ke aula makan, dan tiba-tiba terdengar suara “puuuutt” panjang, temanku itu kaget, dia langsung berseloroh, “Oh my goodness, you are French now!”, kembali kita ketawa bersama-sama. Di manapun kita tinggal disitulah budaya akan tercerap ke dalam diri seseorang, setelah sekian lama di Perancis, saya harus mengakui bahwa ada beberapa budayanya sudah mulai menyusupi masuk ke dalam diriku, contohnya tentang kentut, makan baget dan cheese, budaya antri, kalau mengendarai mobil wajib mengikuti aturan yang ada, respek terhadap speed limit di jalan raya, dan satu lagi, siesta siang yang juga merupakan satu dari latihan kita sebagai monastik di Plum Village.
Pepatah Indonesia mengatakan, di mana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Tampaknya ini cukup sesuai. Kadang saya merasa bukan tionghoa, karena saya hidup di tanah melayu, kadang saya merasa bukan melayu karena saya lama tinggal di bandung dan kadang saya merasa saya adalah orang sunda, dan saya punya banyak teman dari jawa dan kadang saya bergeser dari sunda menjadi jawa. Saya tidak bilang ini baik atau kurang baik, namun ini sesuatu yang menarik untuk saya renungkan, tanpa harus menghakimi baik atau kurang baik, karena baik dan kurang baik toh selalu bersama kok, ini yang disebut non diskriminasi!
Kembali ke topik kentut, ada kejadian yang cukup menarik ketika saya harus kembali ke Asia, sementara saya sudah menyerap budaya bebas kentut, yah tentu saja tidak terlalu vulgar dong, harus lihat sikon juga, kadang prinsip asia harus diterapkan kadang prinsip eropa boleh diterapkan. Jadi akhirnya saya harus melihat baik-baik apa situasi yang sedang saya hadapi, jadi pertimbangkanlah lingkungan sekitar sebelum Anda kentut! Saya kembali ke Asia perlu lebih hati-hati, karena budaya timur belum siap dengan kentut bebas, kalau kentut di depan orang tua, maka bisa barabe, jangan coba-coba bawa budaya barat untuk dipakai di Asia, tampaknya akan terjadi clash!
Apa Kata Dalai Lama?
Suatu kali saya menonton youtube yang berisi wawancara dengan HH. Dalai Lama tentang kebahagiaan, bagaimana pentingya menumbuhkan keramahan yang beliau sebut warm heartedness. Di menit kesekian ada bicara tentang pengalaman buang gas, saya ketawa ngekek setelah menonton video itu, silakan simak apa kata beliau.
Yang Mulia Dalai Lama juga mengalami proses pembuangan gas, beliau adalah manusia biasa, namun beliau juga manusia luar biasa, demikian juga guru utama saya, Buddha Gotama, beliau juga manusia biasa yang luar biasa, saya tahu persis bahwa beliau juga mengalami hal yang sama urusan buang gas, buang air kecil, buang air besar, merasakan pegal di kaki ketika berjalan jauh, juga sakit dipunggung. Inilah yang membuat saya bisa connect dengan mereka.
Selamat kentut di tempat yang sesuai!
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
One comment on “Kentut”