Setelah membahas tetang dua agama (baca: “Bolehkan aku menganut dua agama”), selanjutnya ada pertanyaan menarik lanjutan dari anak sekolahan yang berumur 15an tahun. Setelah membaca judul di atas, barangkali Anda sudah bisa menebak pertanyaannya, ya betul, dia bertanya “Salahkah aku jika tidak beragama?”
Ini sedikit kompleks untuk menjelaskan pertanyaan filosofis seperti itu. Bukan sekedar menjawab “salah” atau “benar” saja, tampaknya terlalu dangkal kalau hanya melihat dari satu sisi. Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya perlu memeriksa latar belakang sang anak yang bertanya. Kalau ada orang asing dari Amerika atau Eropa bertanya demikian, mungkin saya kontan langsung bertanya balik, “Apakah kamu butuh agama?” Jadi urusannya bukan salah atau benar lagi, tapi apakah dia butuh atau tidak.
Potongan Sejarah
Saya tidak tahu persis kapan agama muncul, namun ada beberapa sumber sanskerta menyebutkan bahwa agama merupakan tradisi yang diwariskan. Menelusuri kisah sejarah memang bisa membantu kita sedikit lebih mengerti asal-usul agama, namun ada juga sejarah yang ditulis berdasarkan kebutuhan tertentu, ini tidak bisa kita pungkiri, jadi tergantung sumber mana yang Anda baca dan percaya.
Ada beberapa potongan sejarah menyebutkan tradisi spiritual zaman nenek moyang yang menyembah matahari, pohon besar, batu dan sebagainya. Objek-objek seperti itu dianggap memiliki kekuatan magis dan supranatural, manusia perlu berlindung diri di balik objek-objek itu. Suatu ketika para nenek moyang justru menyembah multi dewa, ini juga diduga karena manusia perlu perlindungan sehingga segala sesuatu dijadikan dewa. Perkembangan selanjutnya adalah konsep Tuhan yang tunggal.
Sudut Pandang
Di era serba internet saat ini, informasi sudah tersedia, kapan pun kita membutuhkan informasi bisa di akses dengan mudah, cukup ketik google.com. Anda juga tidak perlu heran kalau sudah sekian lama ada gejala orang asia yang meniru budaya barat, dan vice versa, mereka yang dari dunia barat justru menggali spiritual asia oriental.
Dunia barat memiliki kecenderungan tidak terlalu menaruh perhatian pada agama, walaupun sebelumnya penyebaran agama kristiani cukup pesat di zaman dahulu. Pergeseran mulai terjadi karena jiwa petualangan dan semangat eksplorasi spiritual masyarakat dunia barat. Apakah mereka salah karena tidak menaruh perhatian pada Agama? Urusan “salah” dan “benar” ini tergantung darimana kita memandangnya.
Menelusuri kisah sejarah memang bisa membantu kita sedikit lebih mengerti asal-usul agama
Konteks Amerika dan Eropa tentu saja tidak salah dari sudut pandang tata negara dan konteks personal, karena negara memang tidak mewajibkan mereka beragama. Agama merupakan urusan masing-masing, urusan yang bersifat personal, hendaknya orang lain tidak ikut campur, termasuk negara tidak ikut mencampuri. Jadi semua warga boleh memilih untuk beragama atau tidak, namun sebagai warga negara mereka tetap harus mematuhi undang-undang dan peraturan yang ada.
Kondisi tersebut berbeda dengan Indonesia, jadi kalau pertanyaan itu di konteks Indonesia tentu saja salah, karena Indonesia memiliki cara yang berbeda dengan Amerika dan Eropa. Saya yakin masing-masing negara memiliki cara menangani urusan ini sesuai dengan kebutuhannya, jadi tidak bisa pakai tolak ukur salah atau benar.
Saya pernah memberi contoh tentang kentut (baca: Kentut), konteksnya juga berbeda-beda. Suatu hal yang dianggap lumrah di Amerika dan Eropa kaitannya dengan kentut karena bersifat alami dan bagus buat kesehatan, bayangkan seseorang harus menahan kentut, bagi mereka itu seperti siksaan, lain lubuk lain ladang, di Indonesia bisa sebaliknya, apalagi saat makan bersama, lalu Anda melepaskan gas racun itu, maka bisa merusak suasana dan menganggu selera makan.
Tak bijak jika kita bilang yang benar ini dan yang itu salah, karena salah benar urusan demikian sangatlah situasional. Contoh lain seperti berjalan di sebelah kanan atau kiri, ini juga situasional. Indonesia memiliki aturan dan kesepakatan bahwa berjalan di sebelah kiri, namun jika ada negara Eropa yang memberlakukan jalan di sebelah kanan, tentu saja boleh karena itu sesuai dengan kaidah di sana. Mohon catat baik-baik, saya tak punya niat untuk membuat generalisasi, karena perlu ada observasi case by case, tidak bisa pukul rata semua.
Menjernihkan Batin
Berkenaan dengan agama tampaknya juga demikian, tidak bijak menyatakan bahwa seseorang bersalah jika tidak beragama, hendaknya jangan melemparkan stigma bahwa orang tidak beragama langsung divonis tidak “baik”.
Sewaktu saya menetap di perancis, saya punya pengalaman berinteraksi dengan para sahabat yang tidak beragama. Banyak diantara mereka belajar dari berbagai tradisi spiritual, namun mereka tidak menyatakan diri sebagai penganut agama tertentu, mereka bertutur sopan, bersahabat, memiliki tata krama yang baik. Demikian juga saya banyak berinteraksi dengan mereka yang taat dengan agamanya, mereka juga baik, sopan santun, bersahabat, setia kawan, dan tulus. Setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi baik, itu yang perlu kita sadari. Jangan lupa juga bahwa manusia juga punya potensi sebaliknya.
Serangkaian nasihat Buddha ditujukan untuk melatih diri agar menjadi sadar dan waspada, mengarahkan pada kebaikan, membangkitkan cinta kasih universal, welas asih, kebaikan terhadap sesama, mengembangkan kesabaran, harmonis dalam hidup sesama manusia dan lingkungan, menjernihkan batin lewat berbagai aktivitas meditatif, menggunakan kearifan dan kebijaksanaan untuk merespon berbagai fenomena hidup. Ajaran Buddha boleh disebut sebagai agama, boleh disebut sebagai aliran spiritual, boleh disebut sebagai pedoman hidup; namun tetap merujuk pada ajaran yang menjernihkan batin menuju pembebasan sejati.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
阿弥陀佛师叔,没有对跟错。但是我们活在地球上还是逃不掉对跟错(分别心)。只是贤承还没弄明白呢?为什么会出现宗教在每个人的心。哈哈哈哈哈,感恩师叔。