Mengapa Jadi Monastik?

nb-pabajja

Pabajja di Ampel, 1999

Kehidupan monastik, barangkali istilah ini tidak begitu populer bahkan di KBBI juga belum ada, monastik merupakan istilah umum untuk komunitas yang hidup bersama, ada metode praktik dan aturan yang disepakati bersama, salah satunya adalah hidup selibat, kalau contoh konret di Indonesia adalah para bhiksu dan bhiksuni juga samanera dan samaneri yang hidup membiara.

Saya sendiri sama sekali tidak pernah merencanakan untuk hidup membiara, bahkan tidak pernah terbayangkan hidup saya akan seperti ini, rutin cukur rambut, jubah yang hanya ada satu model saja, tiga set jubah luar, satu mangkok, dan satu topi caping, kebutuhan yang paling mendasar bagi kami di Plum Village.

Pertanyaan
Setelah menempuh hidup monastik sekitar 7 tahun lebih, saya masih sering mendapat pertanyaan ini, kadang saya menjawab spontan, saya mau hidup lebih sederhana dan bahagia, kemudian sejumlah pertanyaan mengikutinya.

Kadang saya blank karena tidak tahu harus mulai dari mana, jadi saya senyum dan bilang “Wah ini pertanyaan sulit…” kemudian berhenti disitu, syukur orang yang bertanya tidak mendesak, barangkali dia tahu kalau saya menghindar untuk menjawab pertanyaan itu.

Kadang saya mengaruk-garuk kepala, tapi sungguh kepala lagi tidak gatal, cuman ingin memberitahu sang penanya lewat body language bahwa saya butuh waktu dan memikir bagaimana menjawab pertanyaan ini, biasanya saya bilang “Em…pertanyaan menarik sekali”, tetap tidak memberi jawaban apa pun dan pembicaraan selesai sampai disitu saja.

Pertanyaan itu dilontarkan melalui berbagai cara, dari tatap muka langsung, lewat surat, banyak dari email, dan sekarang bahkan lebih banyak lagi lewat facebook, untung saja saya tidak aktif di twitter, kalau tidak; mungkin bakalan lebih banyak pertanyaan sejenis muncul lagi.

Terus terang, untuk menjawab pertanyaan itu, saat ini saya tidak punya alasan cukup mewakili, saya sadar sepenuhnya bahwa apa pun yang ada dalam kepala saya, rasanya masih belum mengena.

siddharta-potong-rambut

Siddhartha memotong rambut

Kisah Inspiratif
Saya ingat, ketika kelas 4 SD, saya membaca sebuah buku pelajaran Agama Buddha, buku yang berisi lukisan hidup Pangeran Siddharta, saya masih ingat buku itu mirip komik, walaupun lukisannya tidak begitu menarik dan hanya hitam putih, tapi saya sangat senang dengan komik itu, dalam hati juga pernah berpikir, mungkin suatu hari nanti saya juga akan seperti Siddharta, bagi saya Siddharta seperti seorang pahlawan, saya yang berumur sekitar 10 tahun juga ingin menjadi pahlawan bagi banyak orang.

Sejak terinspirasi oleh kisah itu, saya menjadi rajin membaca buku-buku buddhis, apa pun buku yang berkaitan dengan buddhis saya lahap semua, walaupun tidak mengerti tapi saya puas setelah membacanya, saya selalu berpikir walau sekarang tidak mengerti, suatu hari nanti saya pasti bisa mengerti.

Saya masih ingat, saya paling rajin pergi ke sekolah minggu buddhis di wihara, saya hampir tidak pernah absen, saya selalu menaruh minat sangat besar atas ajaran Buddha, mata pelajaran paling unik dan favorit, tidak hanya itu saja saya bahkan selalu ikut mendengar pelajaran agama Islam sejak SD, terutama kisah-kisah inspiratif para nabi.

Perjalanan ke India
Waktu kuliah di Bandung, secara tidak sengaja saya tiba di Wihara Vimala Dharma, perjalan spiritual juga semakin seru, saya juga membaca dan mengetahui semakin banyak, setelah sekian lama belajar berkaitan dengan Theravada, mulai di situlah saya menemukan Zen, dan kemudian bertemu Bhante Dharmavimala, Bhante Aryamaitri, Lama Cakra, Bhante Suryabhumi, Bhante Bhadraruci dan Dagpo Rinpoche, dari sinilah perkembangan pengetahuan filsafat semakin dalam dan kokoh.

di-india

Di India–anak kecil yang lucu


Masih ingat waktu pertama kali ke India tahun 2006, ada yang bilang India adalah tanah para arya, sumber sebagian besar spiritual yang ada hingga saat ini. Apalagi ketika membaca kisah perjalanan para guru seperti Nagarjuna, Aryadeva, Asangha, Asvaghosa, Vasubhandu, Shantideva hingga Atisa, semuanya memberi petanda cukup jelas bahwa kehidupan monastik sungguh layak untuk di tempuh, dalam hati saya bilang “Why not?“.

Awal belajar Mahayana Tibetan, tujuan saya sudah jelas ingin meraih Buddha sempurna, membangkitkan Bodhicitta, komitmen untuk menjalankan Sila Bodhisattwa, dan sebagainya. Ketika berada di komunitas Tibetan di Dharamsala, saya merasa mengerti lebih dalam atas Shunyata (kekosongan), Anatta (tiada aku yang bisa berdiri sendiri), Anitya (tiada yang kekal) tampaknya cukup menjadi bekal dasar untuk latihan.

Dulu ketika di Bodhgaya India, pertama kali melihat pohon Bodhi secara langsung, pohon yang konon merupakan tempat Pangeran Siddharta duduk meditasi, hati saya juga ingin mengikuti jejaknya, Siddharta barangkali terdorong oleh berbagai penderitaan nyata yang beliau rasakan, saya melirik ke dalam hati saya, ternyata saya juga menderita atas semua yang terjadi sepanjang hidup saya, derita fisik dan mental masyarakat India begitu memilukan, saya sendiri bermuara pada satu kesimpulan, tampaknya inilah penyebab utama Siddharta pergi diam-diam di tengah malam untuk mencari tahu dan mengerti sepenuhnya tentang penderitaan.

Saya juga ingin mengerti makna sesungguhnya derita, saya sangat menderita karena tekanan dari dalam diri, saya menderita karena tidak puas dengan kondisi yang ada, saya menderita karena hidup sangat monoton, saya menderita karena hidup menjadi semakin tawar, saya menderita karena bertemu dan berpisah dengan kekasih, dan masih banyak lagi kalau saya meneruskan daftar penderitaan nyata ini.

Waktu pertama kali terjun di dunia kerja, rasanya sangat asyik sekali, dunia kerja merupakan waktu yang ditunggu-tunggu sejak kuliah. Merasa diri sudah siap secara mental dan fisik setelah menghabiskan belasan tahun sekolah hingga kuliah, sekarang saatnya menggunakan semua kemampuan itu. Menerima salary dari hasil kerja sendiri sangatlah menyenangkan, inilah hasil jerih payah.

Penahbisan
Teringat ketika pulang dari India di awal tahun 2007, inspirasi untuk hidup membiara semakin besar, apalagi setelah berkunjung ke Dharamsala, Varanasi, dan Bodhgaya. Saya berkesimpulan bahwa kehidupan monastik yang saya inginkan.

Saya beruntung bisa menerima penahbisan sramanera dari Bhante Dharmavimala di Wihara Ekayana. Namun saya tidak memberitahu famili kandung, saya merasa ini pilihan hidup dan saya sudah selesai kuliah, punya penghasilan sendiri, dan kedua orang tua sudah meninggal sejak saya berumur 4 dan 5 tahun. Saya mengerti keluarga, pasti semuanya tidak mengizinkan, mungkin Anda boleh bilang bahwa saya egois, tentu saja Anda benar, namun baru benar separoh, karena di dalam keputusan egois itu ternyata ada kearifan di balik itu.

ordination

Bersama teman-teman Dharmajala

Setelah upacara penahbisan, seminggu kemudian saya minta izin pulang ke Batam untuk bertemu dengan kakak dan adik. Sekaligus memberitahukan mereka bahwa ini adalah pilihan saya sementara ini, inilah keinginan hati paling dalam, mohon mendukung, jangan khawatir saya akan menderita, justru saya dengan sukarela dan kejernihan memilih jalan ini.

Waktu pertama kali tiba, mereka semua “kaget” melihat saya yang sudah berjubah orange, berkepala gundul, saya ingat waktu pergi berkunjung ke rumah kakak ke-2, saya diusir dan dianggap orang bodoh, kakak saya mengancam dengan mengatakan “Mulai hari ini jangan panggil saya koko lagi!”

Walaupun sedih namun saya sudah memantapkan hati, saya terima apa adanya, walaupun belum sempat memberi penjelasan apa pun. Saya sendiri belum patah semangat walaupun diperlakukan demikian, justru tekad untuk berlatih rajin dan sepenuh hati semakin besar, yakin suatu hari nanti mereka bisa mengerti.

Saya juga sempat mampir ke Singapura bertemu Tante, beliau ini adik kandung satu-satunya dari mama saya, setelah mama meninggal dunia, beliau yang banyak menaruh perhatian kepada kami. Saya ingat menginap di rumah tante, beliau menangis dan menangis, seperti seorang ibu meronta kepedihan karena kehilangan anak. Tante saya dengan segala upayanya untuk menyakinkan bahwa kehidupan monastik bukanlah cara hidup layak, apalagi setelah menghabiskan sedemikian banyak waktu, uang, dan tenaga untuk sekolah dan kuliah. Tante saya menangis dan menangis. Malam itu kita ngobrol sampai larut malam dan saya mencoba menenangkannya dengan bilang, “Tante, mohon bantulah saya, ini sudah dewasa, saya yakin hidup seperti ini cocok buat saya, inilah keinginan hati saya paling dalam, mohon beri saya kesempatan untuk mencobanya, saya janji kalau saya merasa tidak cocok maka saya akan lepas jubah.”

Mungkin tante juga merasakan tekad besar dalam diri saya sehingga tidak memaksa lebih jauh, dan kalimat terakhir membuat beliau sedikit reda dan hati menjadi lunak. Beliau bilang “Ya sudah, saya beri kamu waktu 2 tahun, setelah 2 tahun kamu harus lepas jubah”. Saya hanya tersenyum bilang, “Ya kita lihat setelah 2 tahun, sekarang saya belum bisa jawab”.

Saya ingat 2 tahun kemudian saya pulang menjenguk mereka lagi, suasana sudah berbeda dan hampir semua keluarga menerima keputusan saya tetap hidup membiara, saya sendiri yakin bahwa memilih kehidupan seperti ini akan membawa banyak kebaikan dan manfaat. Tante saya juga tidak begitu gencar untuk memaksa saya lepas jubah lagi, saya ingat beliau dengan senyum bertanya “Masih betah? 2 tahun seharusnya sudah cukup, jangan lama-lama, lebih baik kerja dan menikah”, saya hanya balas, “Ya sementara ini masih betah, mungkin perlu coba lebih lama lagi.”

nb

Melanjutkan dengan riang

Kontemplasi Berlanjut
Beberapa tahun hidup di Dharamsala, sempat ke Library of Tibetan Works and Archives, Institute of Thosamling, dan Institute of Buddhist Dialectic, yang semuanya berkaitan erat dengan aliran Vajrayana Gelugpa, awal tahun 2008 saya menerima penahbisan ulang sramanera dari Yang Mulia Dalai Lama. Pada Mei 2008 pergi ke Hanoi mengikuti retret Engaged Buddhism bersama monastik dari Plum Village yang dibimbing oleh Bhante Thich Nhat Hanh, dan setelah itu saya pindah dari India ke Perancis, pindah dari Institute of Buddhist Dialetic ke Plum Village.

Awal perjumpaan dengan tradisi Plum Village membantu saya menemukan Animitta (tiada bentuk), dan Apranihita (tiada tujuan), latihan yang tidak terikat pada bentuk yang hanya berlaku bagi suatu sekte, suatu daerah, suatu negara, suatu budaya, tapi bentuk latihan yang bisa menembus semua dimensi sekte, daerah, negara dan budaya.

Saya mengingkan latihan yang tidak terjebak pada tujuan, walaupun perlu tujuan bahwa tujuan saya menacapai Buddha sempurna, dan dari waktu ke waktu perlu melepaskan tujuan ini demi kebaikan latihan itu sendiri, tentu saja bukan melepaskan dalam arti dicampakkan begitu saja, namun ide dan gagasan Buddha sempurna justru bisa menjadi aral rintangan, inilah yang saya lepaskan.

Setelah sekian lama, saya masih saja merenung apa yang membuat saya masuk menjadi monastik, semua yang saya sebutkan di atas ternyata bukanlah alasan kuat, namun setidaknya menjadi faktor kontribusi dan dorongan untuk memilih karir ini dan tidak memilih karir di luar sana.

Bagi saya, hidup untuk mengerti diri sendiri sangatlah menarik, jadi saya ingin mengerti diri sendiri lebih dalam, mencurahkan waktu untuk mengkontemplasikan hidup, menghadirkan kedamaian lewat melihat kehidupan saya sendiri, belajar lewat cara saya hidup, belajar lewat hidup bersama dalam komunitas, sehingga hidup saya menjadi lebih kaya, bermakna, bahagia, ringan, dan ceria.

Tidak berasa, waktu meluncur seperti anak panah, ini sudah masuk tahun ke-7, perjalanan ini juga semakin asyik dan seru untuk dilanjutkan, apalagi berjalan bersama-sama banyak orang, tak merasa sendirian, barangkali saya akan meneruskan tulisan ini kalau memang suatu hari nanti ada tambahan.

Saya tidak sepenuhnya menjawab pertanyaan Anda, dan juga tidak sepenuhnya tidak menjawab pertanyaan Anda.

Nyanabhadra, 學賢

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.