Ada kalanya Buddha menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau. Zaman dahulu, tersebut seorang filsuf terkenal bernama Vatsigotra. Ia hadir di depan Buddha lalu bertanya, “Apakah sang ‘Aku’ itu eksis?” Setelah bertanya demikian, ia pun menunggu Buddha merespon, namun setelah menunggu dan menunggu, Buddha tidak kunjung berkata sepatah kata pun, Buddha hanya tersenyum dan diam seribu bahasa.
Lalu Vatsigotra masih belum puas, ia lanjut bertanya, “Kalau begitu, maksud Anda bahwa sang ‘Aku’ itu tidak eksis?” Ia kembali menunggu dan menunggu, Buddha juga tidak kunjung memberikan respon apa pun. Bagi Vatsigotra, Buddha tidak memberikan jawaban apa pun, namun bagi Buddha, “hening” itu sendiri sudah merupakan sebuah jawaban. Menjawab sebuah pertanyaan tidak selalu harus dengan menggunakan kata-kata, keheningan itu sendiri sudah merupakan jawaban.
Vatsigotra merasa Buddha tidak mampu merespon atas pertanyaan yang telah dilontarkan, ia kecewa dan kemudian pamit lalu pergi meninggalkan Buddha. Bhante Ananda yang duduk tepat di sebelah kiri Buddha pun mengangkat bicara dengan penuh keheranan, “Yang Mulia Buddha, bukankah Engkau selalu mengajarkan bahwa tiada sang ‘Aku’, lalu mengapa Buddha tidak merespon pertanyaan dari Vatsigotra?”.
Buddha menatap Ananda dengan mata penuh kasih lalu menjawab, “Ananda, ketahuilah bahwa saya sudah merespon Vatsigotra, saya sudah menjawab Vatsigotra, jawaban yang saya berikan dalam bentuk keheningan. Ketahuilah Ananda bahwa Vatsigotra merupakan cendekiawan, ia seorang filsuf, ia datang kemari hanya untuk mencari tahu tentang teori, bukan mencari cara untuk mentransformasi penderitaan [Samyutta Nikaya XIV:10].
Pada kesempatan lain, ketika Buddha berjalan melewati beberapa grup biku yang sedang berdiskusi tentang apakah Buddha telah mengatakan ini dan itu, apakah Buddha tidak mengatakan ini dan itu. Buddha datang dihadapan mereka dan menyampaikan kepada mereka, “Wahai para biku, ketahuilah bahwa selama 40an tahun, saya bahkan tidak pernah mengucapkan satu patah kata pun.” Buddha tidak ingin para muridnya terjebak dalam kata-kata, kalimat, ide-ide, dan bahkan gagasan-gagasan dari Buddha sekalipun.
Seorang arkeolog yang menemukan sebuah patung kuno yang telah pecah, lalu ia mengundang para ahli patung yang berkecimpung dalam restorasi patung untuk membantu. Kita sebagai umat Buddha juga perlu demikian, ketika mempelajari ajaran Buddha lalu ada bagian-bagian yang hilang atau bahkan ada bagian-bagian yang ditambahkan dikemudian hari, kita sebagai murid Buddha perlu mencari tahu dan mengenalinya, lalu merestorasi bagian-bagian yang rusak itu.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.