Awalnya saya berpikir, menjadi purnawaktu sebagai monastik, maka sebagian besar waktunya bisa didedikasikan untuk belajar dan berlatih Dharma. Saya tidak terlalu hektik mengurus ini dan itu, sehingga transformasi diri bisa memberikan dukungan transformasi sosial.
Kenyataanya memang cukup sering terbalik. Maunya santai malahan sibuk. Saat ini bukanlah waktunya untuk memperkarakan santai atau sibuk lagi, namun bagaimana bisa tetap relaks, senyum, dan bahagia diantara santai dan sibuk. Ada energi pembangkit internal yang perlu sering diaktifkan, itu adalah energi pembangkit kewawasan lewat bernapas.
Masa awal monastik, saya pernah menghilang sementara ke India Utara. Semua begitu santai, relaks, dan damai hidup di lereng pengunungan Himalaya. Sejuk dan adem, apalagi ditemani oleh pemandangan indah. Saya merasa beruntung karena bisa mendengarkan pembabaran Dharma dari guru-guru besar.
Ada energi pembangkit internal yang perlu sering diaktifkan, itu adalah energi pembangkit kewawasan lewat bernapas
Praktik non praktik
Momen ini, momen bahagia! Hektik, diantara sibuk dan santai selalu bisa diselingi dengan relaks, perlu ada jangkar yang bisa membawa seseorang kembali ke momen kekinian. Itulah praktik napas berkewawasan, praktik yang bisa memproduksi energi ketenangan dan kejernihan.
Praktik meditasi hendaknya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Benar ada waktu untuk praktik, kemudian ada waktu non praktik. Pelan-pelan praktik melebur manunggal dengan non praktik. Banyak yang mengira bahwa gosok gigi adalah non praktik; namun, bagi praktisi yang mengerti spirit dari praktik kewawasan (mindfulness) maka kegiatan itu bisa bernuansa praktik.
Seseorang yang memahami spirit engaged buddhism tidak akan membuat garis pemisah terlalu tebal antara praktik dengan non praktik. Ia bisa semakin mereduksi diskriminasi garis itu, sampai suatu saat nanti, garis pemisah itu sering menghilang, karena sesungguhnya praktiknya adalah non praktik.
Bagi praktisi yang mengerti spirit dari praktik kewawasan (mindfulness) maka kegiatan itu bisa bernuansa praktik.
Jual mahal
Semakin hari semakin banyak program kewawasan. Efeknya, jadwal saya juga semakin hari semakin banyak. Undangan Dharma Talk maupun memimpin Day of Mindfulness atau retret juga sudah mengular alias antrian panjang.
Sebetulnya perbandingan pertambahan jumlah monastik juga tidak berbanding lurus dengan jumlah penambahan umat (perkiraan pribadi), jadinya ketimpangan berlebihan. Saya akhirnya lebih sering menolak undangan daripada menerimanya.
Ada seorang teman dekat bilang, “Bhante sekarang jual mahal, susah sekali diundang”. Wah, terperanjat kaget, kapan pula saya “jualan” hehehehe... Biar suasana tetap santai, lalu saya jawab, “Maaf yah, saya bukan jual mahal, tapi saya ga jualan”. Kita ketawa bersama-sama karena TST.
Memang dilema, jual murah dikira obral, jual mahal dibilang sombong. Lalu, tidak jualan, nah ini lebih aman. Lah, benar toh sebagai monastik memang tidak boleh jualan, karena yang jualan itu pedagang. Namun, mohon jangan dipelintir yah, atau menganggap ini sindiran, apalagi nyinyiran, bukan itu intensi saya.
Master Mindfulness
Saya yakin, mengajar adalah cara terbaik untuk belajar. Seseorang yang mengajarkan praktik kewawasan juga demikian, perlu praktik langsung, tak bisa sekadar berwacana tok, atau menjadi bahan buah bibir doang. Sebagaimana petuah dari leluhur, hendaknya jangan “menanam tebu di tepi bibir”, teman bule sih menyebutnya “lip service”.
Saya juga yakin, penguasaan dasar-dasar teori dibarengi dengan penerapan kewawasan secara langsung sangatlah penting. Ingatlah, cukup teori-teori dasar terlebih dahulu, yang lain boleh menyusul. Sebagai pemula jangan terlalu banyak membawa beban teori, bisa jadi nanti malahan memberatkan, alih-alih menjadi aral rintangan.
Saking sering saya memimpin DOM dan retret, saya diberi titel baru yaitu “master mindfulness”. Loh kapan pula saya menjadi master mindfulness? Saya anggap itu komplimen. Master mindfulness seharusnya bermakna menguasai dasar-dasar praktik berkewawasan, itu saja. Sejujurnya, titel “biksu” sudah cukup kok.
Tugas saya memang membantu semua orang menjadi master mindfulness. Setiap orang perlu menguasai praktik dasarnya. Durasinya berapa lama? Nah ini tiada batasnya. Berbeda dengan institut, sekolah tinggi, dan universitas selalu ada masa studinya. Jurusan master mindfulness ini tidak ada durasinya, tapi ada kontinuitasnya.
Master mindfulness seharusnya bermakna menguasai dasar-dasar praktik berkewawasan, itu saja!
Saya awan
Bagi monastik, untuk menghadiri suatu acara memang perlu undangan, kecuali di wihara tempat dia bernaung. Ada kegiatan yang wajib adapula kegiatan yang opsional. Mohon jangan kaitkan undangan dengan “jual mahal” yah, karena kan memperhatikan aspek etika. Tak enak menjadi tamu tidak diundang.
Nah masalah baru muncul. Walaupun banyak undangan, saya lebih sering tidak bisa. Kadang ada yang sangat semangat untuk mengundang, jadwal pun digeser-geser, salut dan sekaligus mohon maaf jika merepotkan. Ada juga yang harus meminta jadwal 1 tahun di muka, ini yang kadang susah dijawab.
Teman saya protes, “Bhante kadang datang tidak diundang, pergi juga tidak diantar”. Mirip jelangkung! Wah, benar juga, ada satu kali saya hadir dalam sebuah acara, tidak ada undangan saya hadir, karena saya tahu, jika saya hadir maka panitia akan sangat bersenang hati.
Yang jelas, saya bukan jelangkung! Saya adalah “awan”, memang datang tidak diundang dan pergi juga tidak diantar. Bagaimana situasi dan kondisi saja (beda dengan inkonsistensi loh, #self-defense), jika ada angin berhembus, maka awan datang, lalu bertahan sebentar, kemudian ada angin berhembus lagi maka dia pergi. Ketika waktunya tiba, dia akan turun kembali sebagai hujan, lalu kembali lagi ke bumi.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
Namo Buddhaya Bhante,
Saya mau tanya, bisakah kita melakukan suatu aktifitas atau pekerjaan dengan cepat, tapi tetap mindful? Sebab di DOM atau retret, semuanya dilakukan dengan lambat.
🙏 Terima kasih
Karolina yang baik,
Tentu saja bisa, jika kita sudah sering berlatih melambat, maka men-cepat juga bisa mindful.
Tapi jujur saja, tidak ada orang yang bisa cepat berjam-jam, pasti dia perlu melambat juga, lalu mempercepat lagi ritmenya.
Sebetulnya boleh cepat asal jangan terburu-buru atau grasak-grusuk sehingga atensi (perhatian) sangat rendah, kondisi demikian bisa menimbulkan banyak kesalahan dan masalah.
Jadi cepat atau lambat sebetulnya bisa saja, cuman dalam DOM/Retret kita mulai dari yang lambat duluan, dan ini membantu para pemula, dan mereka yang sudah mahir juga bisa memperkuat kekuatan kesadaran lewat melambat lagi.
Kira-kira demikian menurut pengalaman saya.