Apakah Jiwa Itu Batin?

Sentosa Sandsation 2019

Manusia punya banyak sifat bawaan. Salah satu sifat itu adalah bertanya. Apa pun yang dia lihat, observasi, dengar, amati, pikir, dan lain-lain, semua itu bisa saja mendatangkan pertanyaan. Jenis pertanyaannya juga sangat bervariasi. Ilmu sains sebetulnya sudah menjawab sebagian besar pertanyaan-pertanyaan manusia.

Bukan berarti ilmu sains mampu menjawab semuanya, tentu saja masih ada keterbatasan. Ada banyak hal yang belum mampu dijawab para saintis. Barangkali mereka on their way, siapa tahu ada cara-cara baru menjawab pertanyaan yang absurd alias tidak masuk akal, bisa jadi, tunggu saja tanggal mainnya.

Pertanyaan sulit

Barusan ada yang bertanya kepada saya. Itu pertanyaanya sudah saya jadikan judul artikel ini. Sambil mengeryitkan dahi, sambil tarik dan embus napas panjang beberapa kali. Saya membatin, “Ini susah sekali pertanyaannya, rempong kalau mau mengetik di WA”.

Saya maunya menjawab singkat saja, jelimet kalau harus ketik panjang-panjang. Jadi saya bilang, “Jiwa itu kekal, jadi tidak selaras dengan prinsip ajaran Buddha yaitu segala sesuatu di dunia ini tidak kekal.” Beres, singkat, dan padat, langsung kena sasaran!

Tapi percakapan berlanjut, “Tapi suhu, teman saya bilang jiwa itu ada di dalam otak.Weleuh, satu pertanyaan belum juga rampung, kok ditimpa lagi dengan pertanyaan selanjutnya. Oke, mengalir saja, saya jawab lagi, “Itu kan kata temanmu, jangan langsung percaya dan belum tentu bisa dipertanggungjawabkan.”

Sebetulnya jawaban pertama sudah beres. Konsep jiwa tidak selaras dengan prinsip utama agama Buddha, lalu pertanyaan ke-2 tentu saja sudah tidak relevan lagi, bahkan itu pertanyaan keliru toh. Jadi bagaimana mungkin menyimpulkan bahwa jiwa ada di dalam otak?

Konsep jiwa

Tampaknya, konsep jiwa dari agama lain mempengaruhi cara pandang buddhis, kemudian mereka mencoba untuk menempatkannya dalam konsep Buddhis. Tentu saja boleh, namun it does not fit! Kecuali, mendefinisikan ulang konsep jiwa menjadi “energi” yang tidak kekal, selalu berubah, dan tidak memiliki inti pembentuk tunggal.

Jiwa merupakan konsep utama dalam Hindu dan Jainisme. Jiwa merupakan esensi makhluk hidup yang kadang disebut sebagai dorongan hidup (life force) atau roh yang kekal abadi. Walaupun badan jasmani sudah tidak berfungsi lagi, jiwa akan terus “hidup”.

Ada satu lagi konsep dalam agama Hindu yaitu Atman, serupa dengan jiwa. Atman merupakan jiwa universal kekal abadi yang ada dalam setiap makhluk hidup, sedangkan jiwa merupakan “aku” seorang individu.

Saya sedang membayangkan, jika jiwa itu kekal abadi, berarti tidak akan terjadi perubahan pada jiwa seseorang. Berarti pengetahuan, memori, ilmu, keterampilan seorang anak juga tidak akan bertambah juga dong walaupun dia sudah dewasa? Tapi kenyataanya pengetahuan, memori, ilmu pengetahuan, keterampilan seorang selalu berubah terus. Berarti terjadi perubahan dong?

Jadi begini suhu, saya tidak setuju dengan yang teman saya katakan bahwa jiwa ada di dalam otak.” dia masih kekeuh! Biar pragmatis saya bilang, “Kamu jawab saja ke temanmu begini, ‘o begitu ya, ada kemungkinan jiwa ada di dalam otak, tapi saat ini saya belum yakin sepenuhnya’, gitu saja”. Beres, hemat energi.

Istilah teknis

Sebetulnya agak repot bicara sesuatu yang bersifat spekulasi. Apakah jiwa itu benar-benar eksis? Apakah jiwa itu kekal? Jika jiwa itu eksis dalam konteks anatman, yaitu terbentuk dari berbagai elemen, dan jiwa bersifat fluktuatif atau selalu berubah, berkemungkinan agama Buddha bisa saja mengadopsi pandangan itu.

Ada istilah teknis buddhis, Vijñāna yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “consciousness”, “life force”, dan “discerment”. Dalam bahasa Indonesia, “kesadaran”, “dorongan kehidupan”, dan “pencerapan”. Saya lebih memilih istilah pencerapan, karena terjemahan “kesadaran” akan menabrak istilah mindfulness, lalu “life forcekok mirip jiwa atau atman?

Nah sekarang apa itu batin? Kalau mengacu pada KBBI, batin adalah sesuatu terdapat di dalam hati; sesuatu yang menyangkut jiwa (perasaan hati dan sebagainya). Atau sesuatu yang tersembunyi (gaib, tidak kelihatan).

Ada beberapa istilah terkait seperti mind yang saya terjemahkan sebagai batin, kadang pikiran, tergantung konteks. Think adalah berpikir atau pikir, kemudian thought adalah pikiran. Memang istilah itu sering overlaps tergantung penulisnya.

Tidak tahu

Lalu apakah jiwa itu adalah batin? Em…. Itu pertanyaan tidak relevan. Silakan baca lagi paragraf paling atas bahwa agama Buddha tidak menganut konsep jiwa, jadi pertanyaan itu tidak ada jawabannya. Bukan tidak bisa menjawab hehehe. Dengan kondisi demikian, apa pun jawabannya, selalu salah! Jadi saya tidak menjawab, hanya klarifikasi saja.

Hati-hati dengan pertanyaan-pertanyaan demikian. Kadang semakin Anda berkreasi dan mengandai-andai, mencoba segala cara untuk menjawabnya, semakin Anda mencoba semakin jauh dari kebenaran. Anda perlu jeli, cerdas, dan ringkas dalam menjawabanya, kadang-kadang tidak menjawab adalah sebuah jawaban.

Lalu, jika Anda tidak tahu, sebaiknya jawab saja tidak tahu. Ini sih lebih aman, daripada Anda mengarang indah, menyesatkan orang lain. Ada orang yang gengsi kalau menjawab “tidak tahu”. Kalau saya sih santai saja, toh memang tidak tahu lebih baik jujur saja. Honesty is the best policy in this case.

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.