Saya suka belajar agama Buddha. Pertama kali waktu kelas 4 SD, belajar di sekolah, hari minggu. Dari Hari senin sampai sabtu sudah di sekolah, lalu minggu juga ke sekolah lagi, bukan karena cinta sekolah loh, tapi memang begitu kondisinya. Inilah yang saya sebut everyday school, saban hari sekolah terus.
Suka dengan agama Buddha tidak membuat saya suka ke wihara. Aneh ya? Alasannya? Entahlah, mungkin karena sungkan, bukan pengurus wihara, atau karena tidak ada teman. Gejala ini lumrah saat itu.
Ke Wihara
Masa SMP dan SMA agak berbeda. Saya belajar agama Buddha di wihara. Tak ada pilihan lain, jadi “menyeret” diri harus ke wihara. Tahap awal hanya sekadar datang, kebaktian, belajar agama Buddha, lalu pulang.
Sejak dulu saya tidak pernah aktif di wihara. Aktif maksudnya menjadi pengurus. Namun saya rajin ke wihara, karena memang I love agama Buddha, juga demi memenuhi syarat rapor sih. Hujan sekalipun saya tetap datang, karena ada sesuatu yang mendorong saya ke wihara, yaitu agama Buddha, bukan wihara.
“Gara-gara kamu ke wihara melulu, makanya sekarang jadi biksu!”
Tamat SMA, saya merantau ke Bandung. Saya kuliah di Universitas Padjadjaran (Unpad). Ternyata eh ternyata ada wihara di depan kampus, jadi saya iseng main ke sana. Malahan dari wihara saya mengetahui ada Keluarga Mahasiswa Buddhis Unpad. Nah ini dia, semakin seru!
Umat Buddha yang kuliah di Unpad memang minim. Waktu tahun 90an akhir, satu angkatan hanya berkisar belasan orang, kadang sedikit lebih banyak. Kita ada mata kuliah umum agama Buddha. Dosennya adalah Ibu Parwati, inilah salah satu dosen yang sangat saya hormati. Walaupun beliau sudah tiada lagi, namun semangatnya masih saya jaga.
Menjadi Pengurus
Wihara Vimala Dharma. Itulah namanya. Sejak kuliah, saya semakin rajin ke wihara, maklum anak indekos tidak punya banyak acara. Di wihara ada perpustakaan, jadi saya sering nongkrong di sana, karena banyak komik. Inilah alasan baru saya ke wihara. Tenang, saya ikut kebaktian dan mendengarkan pembabaran Dharma kok.
Tak disangka, ada beberapa orang sekampung yang menjadi pengurus perpustakaan. Jadi, akhirnya saya di rekrut. Sejak menjadi pengurus, saya banyak berkenalan dengan teman-teman dari ITB, Unpar, Universitas Maranatha, Itenas dan mahasiswa dari berbagai universitas di Bandung.
Hidup serasa tidak komplet jika tidak ke wihara. Ke wihara is a must, saya bahagia ke wihara, dapat komik, dapat Dharma, dapat teman, tak ada orang yang memaksa saya. Kalaupun ada, itu pun saya sendiri (ketawa). Dulu saya terpaksa ke wihara karena belajar agama Buddha, sekarang saya ke wihara dengan sukarela, karena saya butuh, dan saya ingin.
Saya tidak pernah kapok ke wihara walaupun ada kalanya saya kena “masalah”. Tenang, bukan masalah berat-berat kok. Maklum mahasiswa kadang agak “bandel”, jadi bikin masalah. Rata-rata masalah memang karena saya kurang hati-hati, kurang wawas, kurang paham, ujung-ujungnya bikin kekacauan.
Syukurnya wihara lebih kental atmosfir kekeluargaan, jadi kalau muda-mudi bikin kesalahan, kami selalu dimaafkan walaupun kadang mendapat “siraman rohani” singkat terlebih dahulu. Saya juga berjanji untuk memperbaiki diri.
Jadi yang perlu diatasi adalah “rasa bersalah”-nya, bukan urusan pergi atau tidak pergi
Ke Wihara Melulu
Tante saya yang di Singapura pernah menyeletuk, “Gara-gara kamu ke wihara melulu, makanya sekarang jadi biksu!” Ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya benar. Ada orang yang saban hari ke wihara, tapi tetap saja menikah dan punya anak. Oyah, kalau Anda ingin tahu tentang tante saya itu, boleh baca di pranala berikut ini: Tanteku Tersayang.
Ada seorang teman. Dia aktif di wihara, maksudnya pengurus. Jadi, dia sering ke wihara hari minggu untuk mengurus ini dan itu, namanya juga pengurus. Tak lama kemudian memang ada orang lain yang bisa ikut bantu, jadi dia tidak selalu harus ke wihara.
Lalu dia bilang, “Bhante saya merasa bersalah karena tidak ke wihara, karena belakangan sering cape”. Saya dengan polos bertanya balik, “Emang ada yang salahin kamu gara-gara ga ke wihara?” lanjut lagi, “Mana sih batas salah benar antara ke wihara atau tidak?”.
Saya berpikir, ada kalanya memang perlu mengurangi frekuensi ke wihara. Prinsip saya sih “moderation” atau “cukup”. Nah, urusan “cukup” silakan Anda definisikan sendiri, kalau sudah terlalu banyak maka kurangkan, kalau terlalu kurang maka tambahkan. Sesuai dengan jalan tengah toh?
Perspektif Berbeda
Saya bukan sedang brainwash dia loh, dan juga bukan sedang brainwash Anda. Bisa jadi, Anda juga pernah di brainwash oleh pengurus wihara (ketawa kecut), semoga saja mereka melakukannya dengan niat baik loh. Jadi, anggap saja pendapat saya sebagai faktor penyeimbang.
Pendapat saya bisa meletakkan dia dan Anda pada perspektif berbeda untuk melihat “rasa bersalah” karena tidak ke wihara. Jadi yang perlu diatasi adalah “rasa bersalah”-nya, bukan urusan pergi atau tidak pergi.
Jika sudah bisa mengatasi “rasa bersalah”, melihat dengan jernih, maka pergi atau tidak pergi, sudah bukan masalah lagi. Anda tetap tenang, damai, dan bahagia. No Stress. No worries. Just Happiness. Selamat merenung!
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.