Don’t Get Mixed Up Between Monastery and Company

Maksudnya apa? Kok kali ini judulnya pakai bahasa Inggris? Saya terinpirasi untuk menulis sesuatu, namun judul bahasa Indonesia-nya tidak menarik. Jadi saya tulis pakai bahasa Inggris saja, karena rima-nya selaras. Coba lihat monastery dan company. Sama-sama berakhiran “y”.

Mixed up artinya keliru, ketukar, salah posisi, tercampur. Kira-kira demikian. Kalau sandal jepit kan ada sebelah kiri dan kanan. Jangan sampai kaki kanan pakai sandal kiri, dan kaki kiri pakai sandal kanan, itu namanya mixed up. Kalau mau begitu caranya pakai sandal boleh? Boleh dong, cuma agak aneh saja dan repot.

Saya pernah lihat orang yang sepatu kiri dan kanan berlainan warna. Saya kira itu orang mixed up, maklum bikin mata silau. Ternyata eh ternyata, memang sandalnya begitu, nyentrik! Mata kan memang punya standar matching, sepatu begitu bikin dahi berlipat delapan.

Ombak Samudra
Monastery sudah tahu toh, wihara! Saya mau bicara tentang sukarelawan (volunteer) wihara. Saya sejak kuliah sudah aktif menjadi sukarelawan di wihara. Sepanjang jalan menjadi sukarelawan pasti seperti ombak di samudra. Kadang di atas kadang di bawah.

Kalau Anda, lebih sering di atas atau di bawah? Kalau lebih sering di atas, mungkin Anda betah. Kalau lebih sering di bawah, mungkin Anda dalam dilema, apakah mau mabur atau tetap bertahan. Eh, apa itu “di atas” dan “di bawah”?

Sederhananya, “suka” dan “duka”. Ketika acara berjalan lancar maka banjir pujian. Ketika acara tersendat-sendat dan bahkan banyak kesalahan, maka akan ada nasihat “halus”, dan kadang juga “semprotan” yang agak “pedas”.

Sukarela
Dalam benak saya sedang memikir ulang, dia sukarelawan loh. Dia ke wihara merogoh kocek sendiri. Sengaja meluangkan waktu walaupun sibuk. Mencurahkan energi dan tenaga yang dia percaya akan mendatangkan kebaikan. Lalu, catat baik-baik yah, sukarelawan itu tidak semuanya profesional (well trained) loh.

Jika mereka bikin kesalahan, kekeliruan, maka mereka tidak bisa di PHK (fired), loh mereka kan bukan pegawai wihara! Tidak bisa di SP1, SP2, apalagi potong gaji. Anda juga tidak berhak memarahi mereka hanya karena kerja mereka tidak efisien. Lalu bagaimana? Kalau dia bikin masalah terus, gampang kok, minta dia tidak mengurus tugas itu lagi.

Mabur
Ada lagi nih. Ada orang yang memegang posisi penting dalam organisasi. Mereka boleh saja (sah-sah saja) jika menghilang tanpa bekas. Atau terserah mereka toh, karena dia kan sukarelawan. Walaupun Anda akan berkilah, loh dia kan berjanji akan bantu wihara, dia juga masuk dalam jajaran pengurus. Kalau mabur tiba-tiba terkesan tidak bertanggung jawab.

Tak heran kalau ada orang yang enggan dimasukkan namanya dalam daftar pengurus. Dia bilang, “Saya tidak mau masuk jadi pengurus, tapi saya bantu-bantu saja”, karena dia takut tersandera oleh label “pengurus”, kadang mau “mabur” juga serasa tidak enak hati. Benar yah demikian?

Tiam-tiam Aja
Mereka yang bertengger di pucuk pimpinan organisasi sosial seperti wihara juga kadang mabok. Tak heran dia sering puyeng tujuh keliling, karena banyak sukarelawan yang menghilang mendadak, apakah karena kena “semprotan” pedas, atau karena isu-isu lain seperti gesekan dengan pengurus lain, atau karena ditarik ke tetangga sebelah sana?

Bicara tarik-menarik sukarelawan, ini yang bikin pengurus galau, sedih, dan self defense. Saran saya, kalau Anda mau pindah dari Wihara A ke Wihara B, maka sebaiknya Anda tiam-tiam* saja, jangan bilang apa pun tentang Wihara A. Jangan mau jadi BSH (Barisan Sakit Hati), jangan mau meletakkan diri sebagai korban untuk dikasihani.

Jika Anda curcol tentang kejelekan Wihara A kepada pengurus Wihara B, maka Anda sedang buang sampah ke Wihara B. Lagipula apa pun pengalaman Anda sebelumnya janganlah selalu dijadikan acuan. Apalagi tak ada wihara atau pengurus yang sempurna.

Saya sedang membayangkan, jika gara-gara hal yang serupa lalu Anda pindah ke Wihara C, maka Anda kembali membuang sampah ke Wihara C. Jadi Anda ini tukang sampah?

Beda Loh
Saya melihat ada banyak pejabat tinggi perusahaan yang aktif di wihara, dan karena kapabilitasnya dia juga memegang posisi penting di wihara. Mereka kadang lupa (forgetfulness), sering pakai prinsip kantor ketika di wihara. Padahal sebagian besar prinsip kantor hanyalah cocok di kantor, tidak cocok di wihara.

Kalau ada yang salah, maka tugas pertama adalah temukan si biang keladinya. Kemudian, “semprot” si korban itu. Duh, tega banget sang penyemprot, dan kasihan sekali sang korban. Padahal Monastery dan Company itu beda loh.

Terlepas dari sang korban dengan sengaja atau tidak. Tentu saja peringatan boleh disampaikan. Kalau lagi forgetfulness maka yang keluar adalah “api”. Kalau lagi mindfulness maka yang keluar adalah “air” berkah bodhisatwa Guanyin. Jika sering pakai api untuk membakar, saya pikir ini bukanlah wihara lagi, tapi rumah api!

Rumah Apa?
Wihara seharusnya menjadi rumah cinta kasih. Tapi entah kenapa justru banyak berkumpul orang yang hobinya menyemprot api. Tak heran kalau banyak sukarelawan tidak betah di situ, karena sering terbakar, apalagi yang “baper”-an. Tapi, aneh loh, ada orang yang sudah kena semprot berulang kali, tetap saja masih nongol di wihara, ini juga manusia hebat.

Jadi, mindfulness dan forgetfulness menjadi faktor penting. Mungkin wihara perlu kaligrafi yang bisa mengingatkan semua orang untuk mempraktikkan bahasa kasih, sehingga wihara menjadi rumah cinta kasih, bukanlah rumah api apalagi rumah abu!

So, dear “you”, please do not get mixed up between monastery and company.

*diam-diam

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

2 comments on “Don’t Get Mixed Up Between Monastery and Company

  1. Andre Hawari Sep 24, 2018 08:15

    Terima kasih atas atas artikel inspiratifnya bhante. Bagaimana menurut bhante jika ada senior di organisasi yg percaya bahwa di organisasi wihara berlaku hukum alam, yang tidak bisa bertahan pada akhirnya akan meninggalkan kepengurusan dengan sendirinya ? Apakah ini termasuk mixed the monastery and company ?

    • nyanabhadra Sep 26, 2018 08:56

      Andre yang baik,
      Percaya boleh saja. Kita ingat bahwa kepercayaan itu mengandung “kemungkinan”.
      Buddha selalu mengingatkan suatu kejadian itu muncul karena ada faktor-faktor pendukung. Jika seseorang percaya dan faktor pendukung tidak lengkap maka suatu kepercayaan tidak akan terjadi.
      Hukum alam itu universal, jadi terjadi di organisasi, kantor, dan di wihara juga.
      Yang tidak boleh adalah percaya begitu saja, dan karena dia “senior” dan Anda junior lalu percaya begitu saja dengan “kepecayaan” senior.
      Andre boleh percaya 50% saja, boleh lebih atau kurang. Karena hukum alam adalah fenomena buat kita observasi dan mengerti lebih dalam atas fenomena itu.
      Menurut saya bukan mixed up, karena mixed up itu menggunakan di tempat yang salah. Contoh, Andre mau minum sup tapi pakai sumpit, ini namanya mixed up, tapi kalau tetap kekeuh mau pakai sumpit yah silakan, sebetulnya pakai sendok lebih pas.

      kira-kira demikian pendapat saya.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.