Tugas Sederhana Untukmu

The Dusk in Kintamani, Bali, 2019
“Tugas Sederhana Untukmu” versi audio, musik latar dari bensound

Ada kisah klasik, walaupun sudah jadul zadul, namun tetap memberi dampak besar. Ada seorang wanita yang tak bisa menerima kematian anak semata wayangnya. Dia adalah Kisa Gotami, istri dari seorang saudagar kaya dari Kota Shravasti. Zaman India kuno, melahirkan seorang anak laki-laki adalah kebanggaan keluarga, sesuai dengan sistem patriarki di sana.

Kisa Gotami sungguh tidak bisa menerimanya. Dia menggendong anaknya berkeliling kota mencari obat dan cara untuk menghidupkan kembali anaknya. Ada orang bilang dia sudah sinting! Dia terus berjalan, dalam keadaan lusuh, berpeluhan, bercucuran air mata.

Titik balik

Ada seorang kakek renta bilang, “Pergilah bertanya kepada Buddha, siapa tahu dia punya solusi untukmu”. Raut wajahnya langsung berubah, ia merasa ada titik balik, ada secercah sinar terang dari wajahnya. Tiba-tiba muncullah keyakinan besar bahwa Buddha bisa menghidupkan kembali anaknya.

Setiba di hadapan Buddha, dengan kesedihan dan emosi meluap dia menceritakan betapa pedih hatinya. Anak lelaki yang seharusnya menjadi ahli waris keluarga, penyambung garis keturuan, namun sekarang tak bernyawa di pangkuannya. Dia memohon, “Oh, Buddha, mohon hidupkan kembali anak saya!

Buddha menatapnya dengan mata penuh welas asih seraya menjawab, “Saya bisa menghidupkannya kembali, tapi ada tugas sederhana untukmu. Pergilah meminta sebutir biji wijen dari keluarga yang belum pernah ada anggota keluarganya meninggal dunia. Biji wijen itu akan menghidupkan kembali anakmu”.

“Pergilah bertanya kepada Buddha, siapa tahu dia punya solusi untukmu”

Air mata penerimaan

Akhirnya ada orang yang mau mendengarkan dan menawarkan solusi. Kisa Gotami tidak berpikir panjang, dengan penuh keyakinan kepada Buddha, dia segera melaksanakan tugas itu, dia yakin bisa mendapatkan biji wijen itu. Dia masuk ke desa lagi dengan misi baru, meminta biji wijen.

Dari satu rumah ke rumah berikutnya. Dia meminta biji wijen, tentu saja ada, karena itu adalah komoditas yang paling lumrah di India saat itu. Lalu, ketika dia bertanya apakah ada anggota keluarganya yang sudah meninggal dunia? Tentu saja semua rumah yang dia kunjungi akan selalu menjawab “ADA”.

Dia berujung mendengarkan kisah sedih, ada yang mengisahkan bagaimana istrinya meninggal dunia, ada rumah lain bercerita tentang orang tuanya meninggal dunia karena sakit dan usia tua, setiap keluarga memiliki kepedihan masing-masing dalam kedukaan.

Setelah mengalami kegagalan kesekian kali, sebuah pertanyaan muncul dalam dirinya, “Apakah ada keluarga yang belum pernah mengalami kematian dari salah satu anggota keluarganya?

Akhirnya dia mulai wawas, dia mulai waras, bahwa setiap keluarga sudah pasti ada anggotanya yang meninggal dunia. Sungguh tak mungkin untuk mendapatkan biji wijen itu. Dia menatap anaknya yang sudah tidak bernyawa itu, “Betapa egoisnya aku ingin anakku hidup selamanya”.

Dia menjatuhkan dirinya ke tanah, menengadah ke langit, air mata berlinang membasahi pipinya, ia dibasuh oleh air mata penerimaan. Dia membawa anaknya ke tempat kremasi untuk menyelesaikan tugas akhirnya. Kisa Gotami sudah bangun dari ilusinya, dia kembali ke Buddha untuk meminta ditahbiskan menjadi biksuni.

“Apakah ada keluarga yang belum pernah mengalami kematian dari salah satu anggota keluarganya?”

Pintu pembebasan

Buddha membabarkan Dharma kepada Kisa Gotami sehingga ia mencapai tingkat kesucian, dan kemudian mencapai pembebasan sepenuhnya. Ajaran Buddha seperti nektar membasuhnya, menyembuhkan lukanya, menerangi kegelapan batinnya, mengantarkannya ke pintu pembebasan.

Buddha tidak membabarkan Dharma ketika pertama kali Kisa Gotami tiba. Buddha malah memberi harapan dengan cara menyanggupi untuk membantunya. Pembabaran Dharma belum bisa memberi efek karena dia sedang mengalami goncangan batin. Buktinya Kisa Gotami tidak berpikir panjang, ia langsung menunaikan tugas itu.

Setelah berkeliling desa, barulah ia tersadarkan, kemelekatan terhadap anaknya semakin melemah, ia mulai menerima realitas. Itu hanyalah cara Buddha membantu Kisa Gotami untuk meredakan luapan emosinya, berjalan dari satu rumah ke rumah berikutnya telah membuat hatinya terbuka lebar.

Semua orang akan memiliki kekuatan penerimaan apabila dia sudah mulai tenang. Kisa Gotami hanya terfokus pada tugas yang diberikan oleh Buddha. Ia melakukannya dengan sepenuh hati, terfokus pada keyakinan bahwa Buddha bisa menghidupkan kembali anaknya.

“Ajaran Buddha seperti nektar membasuhnya, menyembuhkan lukanya, menerangi kegelapan batinnya, mengantarkannya ke pintu pembebasan”

Impermanen

Saya yakin, semua orang perlu punya cara untuk menenangkan dirinya, atau minimal ada sahabat yang bisa membantunya. Buddha sebagai sahabatnya, walaupun Kisa Gotami telah gagal memperoleh biji wijen, namun ia berhasil memperoleh wawasan mendalam.

Kisa Gotami kehilangan anaknya, oleh orang lain menyebutnya malapetaka. Sesungguhnya bukan kehilangan yang membuatnya sedih, tapi harapan agar anaknya tetap hidup; itulah yang membuatnya merana. Malapetaka telah menuntunnya bertemu dengan Buddha, dan malapetaka pula yang membawanya menuju pembebasan.

Kisa Gotami mendapat tugas sederhana dari Buddha, lalu saya juga mendapat tugas sederhana dari guru saya, “Sediakan jeda momen untuk menyadari napas masuk dan keluar, relakskan badan, dan senyum. Lakukan sepanjang hari, kapan pun kamu bisa”.

*Narasi Kisa Gotami ditulis ulang dari berbagai sumber

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.