Benang merah perjumpaan saya dengan dunia pendidikan entah kapan. Bagi saya, ini masih sebuah misteri besar mengapa saya kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Saat itu UPI bernama IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Bandung. Saya lolos ujian saring masuk perguruan tinggi di Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan.
Saya tidak tahu persis kapan saya mulai tertarik di dunia pendidikan. Suatu hari, waktu masih semester awal di IKIP Bandung, saya ingat sedang berada di gedung FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan), pagi itu, saya berjalan dari lantai dasar menuju ruang kelas di atas. Saya sambil tersenyum karena begitu banyak bayang-bayang guru-guru SD dan SMP muncul dalam benak saya. Guru yang baik, guru yang lucu, guru yang tegas, dan bahkan guru yang galak sekalipun. Saya mulai mengerti bahwa guru-guru SD dan SMP ternyata meninggalkan jejak begitu dalam di hatiku.
Jalan Setapak Itu
Kehidupan manusia memang banyak pilihan. Masuk ke dunia spiritual juga merupakan suatu pilihan, dengan hati jernih saya memilih, bukan karena saya terhimpit oleh situasi dan juga bukan karena saya tidak sanggup bersaing di dunia luar sana. Pilihan menempuh perjalanan spiritual ini membuat saya mengerti bahwa jalan setapak ini kembali menuju pada dunia pendidikan.
Saya menghabiskan bertahun-tahun di Plum Village untuk mendalami tradisi Zen (Chan). Walaupun saya tidak sepenuhnya mengerti Zen, namun setidaknya saya sudah menguasai latihan-latihan dasar, saya juga konsisten menjadikan praktik ini bagian dari kehidupan sehari-hari.
Seseorang yang telah digembleng bertahun-tahun di Plum Village, hingga akhirnya mendapat pengakuan dari komunitas kemudian secara resmi diangkat menjadi Dharmacharya (Dharma Teacher) melalui seremoni transmisi pelita. Demikianlah tradisi Zen Plum Village, tradisi yang mengedepankan keharmonisan dan kekuatan komunitas dalam praktik mindfulness.
Bertemu Anak-anak
Kegiatan saya ke sana-sini mengadakan retret hidup berkesadaran (mindfulness retreat). Saya sedang menciptakan ritme kehidupan saya saat ini. Kehidupan sehari-hari menjadi kesempatan informal untuk menerapkan hidup berkesadaran. Ketika dalam retret juga menjadi kesempatan formal untuk menerapkan praktik itu juga.
Saya kembali bertemu dengan dunia pendidikan. Barusan, Maret 2018, saya kembali bertemu dengan anak-anak kelas V dari sekolah Pahoa. Saya masih ingat tahun lalu bersama Roby Oktober membimbing retret. Tahun ini saya bersama Bhante Bhadrakiriya. Saya tak pernah jemu mengajarkan dasar-dasar mindfulness kepada anak-anak, tentu saja dengan cara yang asyik dan menyenangkan.
Relaksasi Melalui Napas
Relaksasi total menjadi menu pertama. Anak-anak dalam kondisi lelah setelah makan siang dan menempuh perjalanan panjang melewati jonggol menuju Via Renata di Puncak. Relaksasi total menjadi menu paling tepat untuk menurunkan tensi badan jasmani.
Saya mengajak anak-anak berbaring, bernapas juga merasakan naik turunnya dinding perut. Teknik relaksasi merupakan reformasi dari pemindaian badan jasmani (body scanning) dan saya bikin seperti bercakap-cakap dengan badan, kemudian mengucapkan terima kasih kepada setiap bagian tubuh.
Retensi anak-anak zaman sekarang ini memang pendek. Saya mengajarkan mindfulness lewat bermain games mendengar dentang jam dinding. Setiap kali mendengar dentang jam dinding, semua berhenti, menjadi patung sementara. Apa yang perlu mereka lakukan?
Simpel, cukup berhenti, bernapas, dan senyum untuk menikmati dentang jam dinding. Anak-anak sangat menikmati permainan ini, walaupun setelah itu mereka ketawa puas karena berhasil menjadi patung bersama-sama dalam beberapa detik.
Plum Village memiliki banyak lagu-lagu praktik yang bisa dinyanyikan bersama. Selain lirik yang mengandung kata-kata yang mengandung nuansa meditatif, ada juga beberapa gerakan tangan (hand motion) untuk membantu anak-anak fokus pada napas dan gerakan. Anak-anak sangat menikmati bernyanyi bersama.
Hi Friend!
Selama retret, anak-anak ditemanin oleh seorang teman baru, yaitu genta. Bahkan ketika saya bilang genta ini adalah teman kita, anak-anak spontan langsung menyapanya “Hi friend”. Anak-anak memiliki aura sangat bersahabat, dan mereka mulai berlatih memperhatikan napas masuk dan napas keluar ketika mendengarkan suara genta.
Sesi yang paling menarik adalah ketika meditasi jeruk. Mereka tidak sabaran ingin mencicipi jeruknya. Saya membimbing mereka untuk melihat warna dan tekstur dari jeruk. Saya melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka berpikir dari mana datangnya jeruk ini. Mereka sangat hebat! Mereka menjawab ada air, udara, pupuk, bahkan sinar matahari. Inilah sifat kesaling-keterkaitan (interbeing) dari segala sesuatu.
Mereka saya ajak untuk mencium aroma dari jeruk itu. Melihat cara anak-anak mengupas kulit jeruk membuat saya semakin paham bahwa setiap anak itu memang beda! Sungguh pemandangan yang indah melihat berbagai cara yang dipergunakan anak untuk mengupas jeruk.
Saya meminta mereka untuk mengambil satu potong kecil jeruk untuk dimasukkan ke dalam mulut, tapi belum boleh dikunyah. Mereka kontan ketawa dan sambil menggerak-gerakkan bahunya sebagai respon kecut dan pahit. Setelah beberapa saat saya meminta mereka untuk mengunyah dan merasakan jeruk itu. Semua anak-anak sangat aktif dalam memberitahu saya apa yang mereka rasakan dari praktik meditasi jeruk itu.
Kasih Tiada Tara
Saya mengumpulkan beberapa video inspiratif dari Thailand tentang kebaikan seorang anak yang membantu mamanya menyapu, kemudian ada juga satu film singkat tentang pertengkaran anak gadis dengan mamanya, lalu anaknya kabur menghilang. Pesan dari film-film singkat itu bermuara pada kasih ibu yang tiada taranya.
Sesi itu ditutup dengan mendengarkan lagu kasih ibu versi yang berbeda yang dinyayikan oleh Anggun C Sasmi beserta penyanyi lainnya. Walaupun lagu tersebut memang dibungkus dengan iklan dari produk tertentu, namun lagu itu dibuat sangat apik dan bermakna.
Renungan yang membuat anak-anak mewek adalah ketika saya secara spontan menyebut kebaikan orang tua. Bagaimana proses hamil hingga kelahiran, kemudian bagaimana seorang ibunda rela mengorbankan nyawanya demi anaknya. Banyak diantara mereka yang terisak-isak nangis malam itu.
Memberi dan Mendapat Kado
Waktu retret memang terasa singkat, serasa baru mulai namun sudah berakhir. Itulah kado yang bisa kami berikan kepada anak-anak dalam waktu singkat, kami berharap nasihat dan meditasi itu memberi jejak bajik dan baik bagi mereka, memberikan kebahagiaan, memunculkan pemahaman bahwa buddhis tidak harus jelimet.
Sesi diakhiri dengan doa pelimpahan jasa dan foto bersama. Walaupun anak-anak masih betah untuk bermain bersama kami, tapi sepanjang itulah kebersamaan kita bersama-sama anak-anak yang lucu dan kadang sedikit “bandel” itu.
Tiba-tiba dari belakang ada seorang anak kecil mengetuk-ngetuk punggung belakang saya, dengan mata penuh penasaran saya membalikkan badan dan bertanya, “Ada apa nak?”. Sambil tersenyum dia menyerahkan kado ini kepada saya, dua lukisan lucu.
Saya pajang di kamar kuti, agar setiap kali saya melihatnya akan membuat saya tersenyum bahagia.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.