Monastik dan Politik

audiensi-hhdl-2007

Audiensi dengan Y.M. Dalai Lama bersama siswa dan staff dari Institute Thosamling


Hidup sebagai monastik bukanlah suatu hal yang sulit, namun bukan juga suatu hal yang gampang. Kalimat ini bukanlah untuk membuat Anda menjadi tambah bingung, namun sebagai pengantar menuju pintu pemahaman bahwa memang demikianlah dua sisi itu saling berinteraksi.

Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh, saya sedang mengetik di komputer ini, saya butuh tangan kanan dan kiri bekerja sama untuk mengetik, jari di sebelah kiri dan kanan punya tugasnya masing-masing, tidak ada yang lebih unggul atau yang lebih lemah, juga tidak setara. Terlihatlah dengan jelas bahwa tangan kanan dan kiri saling membantu, bukan malah saling adu pendapat untuk menentukan siapa yang lebih berguna.

Sepanjang perjalanan monastik saya, ada waktu jalannya mulus dan ada waktu jalannya kasar dan berlubang. Ketika kehidupan perjalanan monastik menjadi kasar dan berlubang, tentu saja ada banyak faktor penyebabnya. Ketika kehidupan monastik menjadi mulus, tentu saja juga banyak faktor yang membawa kemudahan itu.

Jadi saya mengerti bahwa segala sesuatu selalu saja ada sebabnya, sama persis ketika Buddha menunjukkan kepada kita bahwa hidup ini ada duka, dan mohon periksalah baik-baik bahwa duka itu ada penyebabnya. Coba kita balik kata-kata itu, bahwa hidup ini ada suka, dan mohon periksalah baik-baik bahwa suka itu ada penyebabnya. Jadi ketika Buddha mengatakan ada duka maka secara tidak langsung beliau mengatakan ada suka. Suka dan duka bagaikan awan, datang dan pergi sesuai dengan matangnya keadaan, kondisi, beserta penyebabnya.

Sikap non diskriminasi terhadap kiri dan kanan bisa disebut sebagai upekkha, sikap tidak membeda-bedakan. Namun Anda akan berkilah bahwa kita butuh diskriminasi, contohnya tentang porsi makan seseorang, bagi yang badannya besar mungkin perlu makan dua piring, sedangkan yang berbadan kecil tentu saja makan satu piring sudah mencukupi. Bagi saya ini justru tidak membeda-bedakan, namun sudut pandang yang saya pakai sebagai acuan bukanlah dari kuantitas atau berapa jumlah piring yang dibutuhkan sebagai takarannya, namun dari sudut pandang kebutuhan!

Mengambil Keputusan Bersama
Ada suatu kisah yang saya ingat, waktu itu bulan Desember 2008, saya harus minta izin cuti sekolah untuk mengikuti program pendidikan dan latihan singkat untuk mereka yang akan menerima penahbisan dari YM Dalai Lama. Semua peserta berkumpul beserta beberapa monastik senior sebagai mentor, pada kesempatan itu kami bersama-sama mendiskusikan beberapa aturan tambahan untuk membantu latihan, semua orang diberikan kesempatan untuk memberikan usul dan pendapat.

Mentor kami mengusulkan bahwa kami hanya makan 2 kali sehari yaitu pagi dan siang, setiap kali makan hanya boleh mengambil satu mangkok saja. Tiba-tiba ada satu anagarika dari Amerika angkat bicara, dia bilang “Wah, mangkoknya kecil sekali, bagi saya makan satu mangkok kayaknya tidak cukup”, kamipun tertawa lepas, karena dia memang berperawakan besar. Dia bilang, “Apakah boleh saya diberi izin untuk makan siang maksimal dua mangkok? Tapi saya bertekad untuk makan satu mangkok saja, namun kalau saya merasa kurang, maka saya minta izin untuk menambah satu mangkok lagi.”

Kemudian mentor kami bertanya kepada kami semua, “Apakah semua yang hadir di sini setuju untuk memberikan izin khusus buat dia untuk makan siang maksimal dua mangkok?” Kami diam dan angguk-angguk tanda setuju. Mentor kami kemudian melanjutnya, “Karena semua sudah senyum dan sunyi, berarti kita setuju dengan izin khusus ini, biarlah demikian adanya.” Keputusan seperti ini dapat diterima semua orang yang hadir saat itu, sehingga pengecualian seperti ini tidak menjadi masalah, karena kami mengerti akan kebutuhan anagarika tersebut. Bagi mereka yang tidak hadir, maka mereka wajib mengikuti keputusan yang sudah ditetapkan, mereka tidak boleh mengungkit atau mempermasalahkan lagi, karena demi menjaga keharmonisan, namun mereka yang tidak hadir pada rapat boleh meminta penjelasan.

Jadi sudut pandang kita melihat sesuatu juga bisa berubah-ubah, asal Anda mau keluar dari kotak dan melihat, ingatlah ini bukan cara kita untuk berkilah atau mencari celah untuk berdebat, namun ini tugas kita bersama untuk melihat suatu kejadian dalam konteks yang lebih mendalam lagi sehingga kita bisa mengerti, bukan menyatakan pandangan ini benar dan itu salah, jika tidak, kita bisa terjebak dalam perdebatan tiada ujung.

Menjadi Bebas
Komitmen menjadi monastik tentu saja memiliki berbagai aturan atau kita sebut sebagai pratimoksa, bagi saya pratimoksa berarti membantu diri sendiri menjadi lebih bebas, bukan bebas tak bertanggung jawab, tetapi bebas dari kegelisahan, bebas dari kekhawatiran, bebas dari kemarahan, bebas dari sengketa, bebas dari kejaran polisi, inilah kebebasan yang dimaksud oleh moksa, dan prati berarti diri sendiri.

Ketika saya berlatih untuk menjunjung tinggi kehidupan maka sudah jelas membunuh bukanlah jalan yang akan saya pilih, justru saya akan cari cara mahir untuk melindungi makhluk hidup, dan mencegah segala jenis penghancuran kehidupan lewat pikiran, ucapan, maupun perbuatan.

Berlatih vegetarian juga bagian dari aspirasi saya untuk berlatih karuna, walaupun saya sadar sepenuhnya bahwa makanan vegetarian yang saya makan tidak 100% vegetarian, karena sadar sepenuhnya bahwa dikarenakan ketika menanam sayur, banyak petani harus membunuh hama-hama dan serangga lainnya. Berlatih vegetarian perlu diiringi kebijaksanaan, saya melihat bahwa di alam semesta ini banyak hewan saling memakan, ikan besar makan ikan kecil, harimau makan rusa, ular makan katak, laba-laba makan serangga atau lalat. Saya merasa beruntung karena tidak ada orang yang memaksa saya makan daging, dan saya juga tidak terpaksa makan daging, namun saya dengan sukarela berlatih vegetarian.

Tidak Sengaja
Suatu ketika, saya mendapat tugas bersama seorang samanera untuk pergi memperbaiki mobil, samanera itu berkebangsaan Perancis. Dia yang menyetir dan sekitar 30 menit kemudian kami tiba di bengkel, namun ternyata bengkel mobil itu sudah hampir tutup untuk makan siang, sang montir bilang, “Nanti sekitar 2 jam lagi baru bisa beres, tapi mobil harus dititip di sini”. Kami tidak punya pilihan lain jadi kami titipkan saja mobil di sana dan kami berjalan pergi mencari makanan, berhubungan waktu itu sudah jam makan siang, jadi kami berdua berjalan sekitar 20 menit ke toko kue, di Perancis namanya boulangerie, barangkali Anda tahu kalau roti baguete paling terkenal di sana. samanera itu bilang dia tahu ada boulangerie yang bisa pesan sandwich vegetarian.

Setiba di boulangerie itu, setelah menunggu beberapa menit, akhirnya kami berdua dapat giliran order, jadi dia pakai bahasa Perancis order dua sandwich vegetarian, kami pesan hanya pakai sayur-sayuran, salad, tomat, dia menambahkan mohon jangan pakai daging apa pun, walaupun tidak mengerti bahasa Perancis sepenuhnya, tapi saya mengerti beberapa potong kalimat yang dia sampaikan.

Ternyata cepat juga, hanya menunggu 10 menit saja kami sudah menerima order itu, kami pun bawa sandwich itu ke tepi sungai Dordogne, kami duduk menikmati sandwich. Tidak lupa membacakan kontemplasi singkat dan lalu mulai menyantap, setelah beberapa gigitan, kami saling melihat, samanera itu bilang, “Kayaknya ada daging?”, saya balas, “Mana mungkin, kita kan minta jangan pakai daging”, karena tidak begitu yakin, maka kami sama-sama mencoba satu gigitan lagi, sambil kunyah sambil mencari tahu. Kami langsung tersentak, dan sama-sama bilang “Tuna!”, dia langsung bilang, “Dasar orang Perancis payah, sudah dibilang jangan pakai daging, tapi kok masukkin tuna pula?”

Anda tahu mengapa? Ternyata bagi orang Perancis, ikan tuna itu bukan daging, yang termasuk daging itu seperti sapi, kambing, dan sejenisnya.

Samanera itu bersikeras mau membuang sandwich itu, tapi saya cegah dan bilang “Sudahlah tidak apa-apa, kita kan tidak order tuna, anggap saja bonus, kalau kita buang makanan ini berarti kita sia-siakan makanan ini”, akhirnya kami setuju untuk tetap menyantap habis sandwich tuna itu. Setelah selesai, tak lupa kami berdoa singkat, semoga tuna yang kami makan memberi kekuatan bagi kami untuk terus latihan, dan lain kali kalau kami harus pesan sandwich lagi maka kami akan bilang tidak pakai daging dan juga tidak pakai ikan.

Saya sudah berlatih vegetarian beberapa tahun dan akhirnya makan daging lagi, aneh rasanya. Kalau 10 tahun lalu, mungkin saya akan bilang nikmat sekali, namun sekarang sudah tidak demikian lagi, saya tidak mencoba mempertahankan kemurnian vinaya saya tentang vegetarian dan saya juga tidak mengidam daging itu, ternyata rasa daging yah begitu saja. Tentu saja saya akan menganalisa kasus demi kasus, menggunakan energi kesadaran, konsentrasi dan kebijaksanaan yang ada, bukan berarti saya bisa mengeneralisasi contoh di atas.

Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menyikapi kejadian yang ada di depan mata, kita butuh komunitas latihan bersama untuk sama-sama melihat, kalau sendiri hanya punya dua mata, kalau 10 orang maka ada 10 pasang mata. Dalam Pancasila Buddhis revisi dari Plum Village sangat konkret dan jelas, barangkali anda ingin membaca dan mengerti, kalau berminat boleh mencoba mempraktikkannya.

Mencoba Untuk Mengerti
Saya sering mendapat pertanyaan berulang-ulang tentang Pratimoksa, hidup kebiksuan, hubungan antara politik dan posisi seorang monastik. Kalau kita telusuri kisah Pangeran Siddharta, maka sudah jelas beliau tidak begitu tertarik dengan kekuasaan sebagai raja, beliau yakin bahwa dengan menjadi raja beliau bisa membantu rakyatnya, namun beliau juga berpikir apabila seseorang bisa menjadi “raja” bagi pikirannya sendiri, maka ini akan membantu lebih banyak orang lagi, oleh karena itulah beliau pergi bertapa, kemudian kembali lagi untuk membantu semua orang termasuk para raja.

Saya sudah sering mendengar banyak orang bertanya, mengapa Yang Mulia Dalai Lama, beliau seorang monastik masih juga memangku jabatan sebagai kepala negara Tibet dalam pengasingan? Tentu saja mereka yang bertanya merasa aneh, mereka tidak mengerti sehingga ingin kejelasan duduk permasalahan. Masyarakat umum berpikiran bahwa seorang monastik hendaknya tidak mengurus permasalahan kenegaraan, para monastik hendaknya konsentrasi pada meditasi, belajar, dan menjadi lebih bijaksana. Iya benar, namun ini baru benar separuh! Kita perlu melihat separuhnya lagi.

Kembali pada nasihat Buddha, bahwa lihatlah ada duka, dan coba lihat baik-baik bahwa duka ada penyebabnya, kemudian jangan lupa bahwa di balik duka ada suka. Ada beberapa pertimbangan yang ingin saya sampaikan, semoga bisa menjadi bahan renungan, ingatlah ini hanya sebagai bahan renungan, saya tak berniat untuk membela sayap kiri atau sayap kanan. Tapi kalau ada di sayap kanan, mohon jangan berharap sayap kiri amblas.

Anda tidak perlu percaya saya begitu saja, namun ini lebih bersifat undangan kepada pembaca untuk melihat sesuatu yang barangkali Anda belum pernah lihat, dan mengetahui sesuatu yang barangkali Anda belum pernah tahu. Kadang kita hanya mendengar dari satu sumber saja, sehingga secara alami kita berpihak pada satu kutub saja, kita tidak mau ada kutub yang berlawanan, bak orang yang hanya berharap siang saja namun menolak malam.

Membuktikan Sendiri
Saya pernah tinggal di India utara beberapa tahun, daerah yang merupakan sentral pemerintahan pengasingan Tibet. Awalnya saya juga tidak bisa menerima dan tidak mengerti, mengapa seorang monastik seperti YM Dalai Lama masih saja memangku jabatan sebagai kepala pemerintahan. Saya hanya mencoba untuk membangkitkan pikiran positif, karena saya banyak membaca buku beliau yang mengajarkan kebaikan, meditasi, filsafat dan sebagainya, dalam hati saya yakin ada sesuatu yang tersembunyi di balik itu, ini kesempatan baik untuk mengerti, dengan mengerti saya tidak terlalu menderita karena kesimpulan bahwa seorang monastik tidak seharusnya terlibat dalam pemerintahan.

Saya menggunakan kesempatan di India untuk mengerti lebih dalam atas kondisi itu, saya juga memberitahu diri sendiri agar jangan buru-buru menghakimi YM Dalai Lama, saya bisa saja jatuh ke dalam kesimpulan bahwa YM Dalai Lama bukanlah biksu yang baik hanya dikarenakan beliau sebagai kepala negara dan pemerintahan, beliau akan sibuk mengurus politik kenegaraan sehingga lupa dan akan mengabaikan waktu untuk praktik meditasi. Justru saya mau melihat sendiri, buktikan sendiri, agar tidak terjebak dalam kesimpulan sepihak.

Orang Yang Tepat
Saya menyadari bahwa semua rakyat Tibet dalam pengasingan punya keyakinan besar atas kebijaksanaan YM Dalai Lama, seorang biksu yang mereka yakin sebagai emanasi dari bodhisattwa welas asih, Bodhisattwa Awalokiteswara. Masyarakat Tibet merasa beliau merupakan orang yang paling tepat untuk memimpin negara, apalagi negara yang sedang mengalami tantangan besar. Bagi rakyat Tibet, seorang yang tulus, jujur, arif bijaksana bisa membangun fondasi yang baik untuk masa depan Tibet.

Inilah yang saya ketahui ketika berbicara dengan banyak orang Tibet dalam pengasingan, saya mulai bisa menyelami perasaan mereka ketika memposisikan diri sebagai orang Tibet yang kabur dari tanah kelahiranya dengan harga nyawa sebagai taruhan. Mereka yang lolos dari lubang maut penembakan kemudian melarikan diri lewat pengunungan himalaya agar bisa tiba di Nepal dan India, berkat kebaikan hati pemerintah India, para pengungsi mendapat suaka dari India.

Jadwal Mengajar
Saya melihat sendiri bahwa walaupun YM Dalai Lama sebagai kepala negara pemerintahan Tibet dalam pengasingan, namun banyak tugas dilaksanakan oleh perdana menteri dan aparatur negara, banyak pendelegasian tugas kepada mereka. Beliau punya banyak waktu untuk memberikan ceramah Dharma di India Utara dan Selatan, kemudian juga menghadiri undangan dari berbagai negara untuk memberikan ceramah, simposium, dialog, dari tema buddhis, psikologi, dan juga teknologi dan sains.

Dalam jadwal beliau satu tahun, ternyata lebih banyak beliau dedikasikan untuk mengajar Dharma, sungguh beruntung sekali saya punya banyak kesempatan untuk mendengar ceramah dari beliau langsung. Jadwal kenegaraan malah tidak terlalu banyak walaupun tetap ada, namun beliau komit menyediakan waktu untuk mengajar Dharma.

Pendidikan dan Kebudayaan
Di India utara tempat saya tinggal, ada beberapa sekolah publik yang gratis, ini berkat ide dan visi YM Dalai Lama bahwa pendidikan rakyat harus menjadi prioritas utama.

Ketika saya belajar bahasa Tibet dan filsafat buddhis di Dharamsala, saya punya beberapa tutor bahasa Tibet, lewat latihan dialog bahasa Tibet kadang saya tidak sengaja bertanya tentang latar belakang keluarganya. Saya ingat mereka cerita kepada saya tentang pendidikan anaknya, mereka menyekolahkan anaknya ke sekolah publik itu. Banyak pihak asing menaruh perhatian pada pengembangan pendidikan dan pelestarian budaya Tibet sehingga banyak diantara mereka yang menyalurkan dana bantuan.

Banyak dari mereka yang dari dunia barat sangat tertarik pada ajaran Buddha dan adat budaya Tibet, sehingga mereka merasa perlu untuk mendukung pelestarian dan perbaikan kualitas pendidikan masyarakat Tibet di pengasingan. Dengan demikian rakyat Tibet dalam pengasingan bisa menikmati pendidikan bermutu dan gratis, ini sungguh luar biasa. Saya melihat banyak murid juga orang tua murid yang bersyukur atas keberadaan YM Dalai Lama.

Selalu Siap Mundur
Selama kurun waktu beberapa tahun di India, saya punya banyak kesempatan untuk mendengar ceramah beliau, bahkan pengakuan langsung dari beliau ketika mendapat pertanyaan tentang posisi sebagai monastik dan sekaligus harus menjadi kepala negara pemerintahan yang banyak berurusan dengan politik. Beliau secara terbuka menjawab bahwa kalau ada orang yang lebih sesuai untuk menjadi kepala negara pemerintahan, maka beliau memilih untuk mundur.

Beliau menjadi kepala negara pemerintahan bukan karena keinginan pribadi, juga bukan karena keinginan untuk mendapatkan kekuasaan, kenikmatan, dan sebagainya, tetapi lebih karena permintaan rakyat Tibet dalam pengasingan. Beliau sering bilang, saya hanya ingin menjadi biksu sederhana, saya hanya ingin belajar dan berlatih sehingga bisa bantu banyak orang. Kalau posisi sebagai kepala negara pemerintahan bisa membantu rakyat Tibet, maka saya lakukan dengan tulus dan sebaik-baiknya.

Manfaat Lain
Demi memenuhi permintaan rakyat Tibet dalam pengasingan, beliau memangku jabatan kepala negara pemerintahan. Beliau menunaikan dwifungsi kepemimpinan yaitu membangun fondasi bagi pemerintahan yang stabil, dan sekaligus sebagai pemimpin spiritual yang memberi teladan baik.

Saya pernah dengar bahwa perdana menteri dan staff kenegaraan merasa sangat beruntung karena YM Dalai Lama selalu mengarahkan penyelesaian persoalan lewat Buddhadharma, nasihat, wejangan, demikian juga visi misi beliau yang menaruh perhatian pada pendidikan, reformasi, pembaharuan dalam tata kelola kenegaraan, kemudian mendorong generasi muda untuk memperkuat landasan ajaran Buddha dan dipadukan dengan sains dan teknologi.

Kesederhanaan
Ketika masih tinggal di Upper Dharamsala India Utara atau lebih beken disebut McLeod Ganj, saya sering mampir ke istana YM Dalai Lama. Di depan istana itu ada sebuah wihara yaitu Namgyal. Walaupun tidak bisa masuk ke dalam istana, namun kadang-kadang saya suka naik ke lantai 2 Wihara Namgyal untuk sekedar melihat gedung yang bercat hijau itu, hatipun damai. Gedung yang disebut istana tapi tampak luarnya sangatlah sederhana.

Saya pernah beberapa kali masuk ke dalam, sungguh beruntung sekali, pertama kali karena sekolah saya mendapat giliran audiensi dengan beliau, dan kedua kali ketika saya menerima penahbisan ulang samanera.

Saya jadi sadar bahwa kehidupan sederhana memang menjadi pilihan beliau, namun banyak asisten beliau yang selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan mewah. Para asisten beliau tentu saja ingin mempersembahkan yang terbaik buat gurunya sekaligus kepala negara pemerintahan, inilah cara mereka berbakti. YM Dalai Lama juga dengan penuh pengertian menerima apa pun yang dipersiapkan oleh asistennya, kadang-kadang beliau menasihati para asistennya untuk menyiapkan sesuatu yang sederhana saja, ini saya dengar sendiri ketika menghadiri audiensi dengan beliau. Saya senang dengan keluwesan beliau yang kadang dibumbui oleh humor yang mengelitik dan bikin kami tertawa lebar.

Pernah sekali ada audiensi khusus dengan praktisi dari Taiwan di aula utama Wihara Namgyal, ada satu orang Taiwan yang menjadi perwakilan untuk menyampaikan dana khusus kepada beliau. YM Dalai Lama bilang, “Oke saya menerima dana ini, sekarang amplop ini sudah menjadi milik saya, kalau barang milik saya berarti saya boleh memberikan kepada siapapun, betul? Nah saya berikan kepada Anda semua, semoga di Taiwan bisa ada tempat yang memadai bagi Anda semua untuk berkumpul dan meneruskan belajar dan latihan Buddhadharma”. Saya sangat tersentuh dengan ucapan dan aksi beliau.

Buddha dan Politik
Kembali ke Pratimoksa, bahwa kita perlu ingat semua aturan itu tidak langsung selesai dalam satu malam, namun itu terjadi perlahan-lahan. Setelah sekian tahun dalam penyebaran Dharma, murid Buddha semakin banyak, banyak diantaranya adalah para menteri dan pemangku jabatan kenegaraan, dengan demikian beberapa aturan juga mulai diusulkan karena ada kejadian atau sebabnya. Buddha berpendapat bahwa aturan akan ditetapkan apabila terjadi peristiwa yang mendahuluinya, ini dilakukan agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Agar seseorang bisa fokus latihan meditasi, maka beliau menganjurkan setiap orang untuk melepaskan jabatan yang dipangku sebelumnya. Namun Buddha juga sering mendapat undangan dari para raja untuk makan di istana dan juga memberi ceramah Dharma, nasihat-nasihat beliau kepada raja tentu saja sedikit berbeda, beliau akan menyampaikan tentang bagaimana menjadi pemimpin yang bijaksana dan menyejahterahkan rakyat, sehingga negara bisa damai dan bahagia.

Saya juga ingat ketika belajar kisah-kisah guru besar India, salah satu diantaranya adalah Nagarjuna, beliau dianggap sebagai reformis ajaran Buddha sehingga lahirnya Mahayana. Dalam kisah perjalanan hidupnya, beliau yang sebagai biksu, aktif di Universitas Monastik Nalanda, dan kemudian juga bersahabat dengan beberapa orang raja, beliau bahkan pernah menulis sebuah surat kepada sahabatnya, dalam kitab Tangyur mencatat Shurlekkha (Surat Kepada Seorang Sahabat) yang juga berisi nasihat-nasihat kepada raja dalam konteks sebagai teman, sebagai seorang kepala keluarga, dan sebagai raja.

Menurut pengamatan pribadi, sekarang YM Dalai Lama memainkan peran yang cukup mirip dengan apa yang Buddha lakukan di zaman dahulu. Walaupun sebelumnya beliau harus terjun langsung sebagai kepemimpinan kenegaraan. Sejak than 2011 beliau telah mundur dan hanya menjadi penasihat spiritual, walaupun rakyat masih tidak rela, namun inilah fakta yang terjadi, YM Dalai Lama tetap bisa memberi nasihat, arahan, usul, dan pendapat untuk mengarahkan pemerintahan Tibet dalam pengasingan untuk tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, welas asih, dan cinta kasih.

Komunitas dan Parajika
Di Plum Village, kami menerima 14 latihan sadar penuh, latihan kesepuluh berkaitan dengan komunitas, disebutkan “Kami bertekad untuk tidak menggunakan komunitas spiritual buddhis untuk merebut kekuasaan, keuntungan pribadi dan tidak akan mengubah komunitas buddhis sebagai instrumen politik, namun sebagai anggota komunitas spiritual (monastik maupun umat biasa) kami hendaknya mengambil posisi dan tegas terhadap penindasan dan ketidakadilan. Anda boleh baca lebih detail di latihan itu.

Seorang biksu memiliki 4 sila utama (Parajika), ketika melanggar salah satu dari 4 itu maka, seseorang otomatis bukan lagi seorang monastik. Jika dilihat dari sudut pandang ini, maka politik tidak termasuk di dalamnya.

Winaya yang kami terima dari Plum Village yang merupakan hasil revisi, urusan politik termasuk dalam butir winaya sekunder, bahkan ada butir yang menyebutkan tidak boleh bekerja untuk pemerintah kemudian terima gaji sebagaimana pegawai pemerintahan.

Pintu Darurat
Dalam sebuah sangha monastik, kadang ada pintu kecil yang bersifat urgen yang sengaja disediakan untuk pengecualian tertentu. Kita tahu tidak semua kondisi bisa diberi pengecualian dan biasanya harus ada kuorum sekian anggota biksu yang menyetujui maka pintu darurat itu boleh di buka.

Bagi saya, YM Dalai Lama memangku jabatan sebagai kepala negara pemerintahan Tibet dalam pengasingan juga termasuk pengecualian itu, para biksu senior yang sudah memenuhi kuorum memberikan pengecualian agar pintu darurat itu bisa dibuka untuk YM Dalai Lama demi menjaga kestabilan negara, mengembalikan semangat dan daya juang rakyat, sekaligus memperkuat spiritualisme masyarakat Tibet dalam pengasingan.

Semangat seperti ini sesuai dengan pedoman dan teladan yang diajarkan oleh Buddha sendiri, bukan hanya terjebak pada bentuk luar pelaksanaan winaya tapi semangat kebersamaan, pengertian, dan mencari jalan tengah untuk masing-masing kejadian sehingga bisa diterima oleh konsili biksu sebuah komunitas monastik. Kita perlu melihat kasus demi kasus.

Beberapa tahun yang lalu, saya juga mendengar bahwa YM Dalai Lama sudah mengundurkan diri dari urusan pemerintahan dan panggung politik Tibet serta secara sukarela menyerahkan kekuasaan politik kepada pemimpin terpilih, sekarang aparatus negara dan perdana menteri sudah bisa melaksanakan tugas dengan baik, beliau mundur pelan-pelan sesuai rencana beliau bahwa beliau ingin menjadi “simple monk”, dan fokus pada mengajar dan membantu orang mengatasi derita dan hidup lebih bahagia.

Saya yakin masih banyak hal yang tidak saya ketahui, dan apa pun yang saya ketahui juga tidak 100% benar adanya, namun inilah yang saya lihat, rasakan, inilah yang saya mengerti dengan melihat berbagai kejadian, seperti menaruh berbagai potongan puzzle bersama untuk sebuah lukisan lebih utuh, namun kita perlu selalu ingat bahwa ada saja puzzle yang berada di tempat yang salah. Ingatlah di awal saya telah menyampaikan bahwa segala sesuatu ada faktor penyebabnya, dengan demikian kita bisa melihat sisi lain dari suatu kasus. Semoga kita bisa melihat dan mengerti lebih banyak lagi dikemudian hari.

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.