Inklusif
berarti bersifat mencakup banyak hal. Kata ini berasal dari istilah bahasa Inggris inclusive yang memiliki kata dasar include yang berarti mencakup. Inklusif seharusnya menjadi sifat dari seseorang yang ingin membangun komunitas. Ia siap mengayomi, siap mencakup, dan siap mengikutsertakan mereka yang berbeda paham sekalipun.Pertanyaan selanjutnya adalah: Sejauh mana sikap inklusif ini harus bertahan? Ternyata di zaman Buddha juga mengalami hal serupa, Buddha juga mengalami kesulitan ketika membangun komunitas spiritual. Ada Anggota komunitas yang sangat merepotkan komunitas sehingga akhirnya ia diminta untuk keluar dari komunitas.
Pelatih Kuda
Dalam sebuah sutra mencatat ada sebuah percakapan Buddha dengan pelatih kuda. Zaman India kuno banyak menggunakan kuda sebagai moda transportasi, jadi lumrah kalau pada zaman itu banyak profesi pelatih kuda.
Suatu hari, seorang pelatih kuda mengunjungi Buddha untuk berbincang-bincang tentang Dharma. Buddha bertanya tentang profesinya, ia menjawab bahwa ia seorang pelatih kuda profesional. Lalu Buddha bertanya, “Bagaimana Anda melatih kuda-kuda liar, bagaimana pula menangani kuda-kuda yang rewel?”
Sang pelatih kuda menjawab, “Yang Mulia, ada kuda yang lembut maka saya bisa menggunakan cara lembut dalam memberikan instruksi dan pelatihan. Ada juga kuda yang agak keras kepala maka saya menggunakan cambuk dan hukuman lainnya. Jika saya menggunakan cara lembut kepada kuda yang keras kepala, maka pelatihannya tidak akan berhasil. Kemudian, ada juga kuda-kuda yang harus menggunakan metode kombinasi yaitu lembut dan keras. Beginilah saya melatih kuda-kuda.”
Buddha bertanya, “Bagaimana kalau tiga metode itu tidak berhasil, apa yang akan Anda lakukan?”
Sang pelatih kuda menjawab, “Kalau tiga metode itu tetap tidak berhasil, maka saya tak punya pilihan lain, saya akan membunuh kuda itu. Jika saya membiarkan kuda itu tetap hidup sekandang dengan kuda-kuda yang lain, maka kuda itu akan memberikan contoh buruk kepada kuda-kuda lain.”
Melatih Murid
Setelah sang pelatih kuda selesai berbicara, ia menjadi penasaran juga dengan metode pelatihan yang Buddha terapkan, lalu ia bertanya, “Yang Mulia, Anda juga punya banyak murid, bagaimana cara Anda melatih biksu dan biksuni? Bagaimana pula Anda mengatasi murid-murid yang sangat rewel dan sulit diajar? Cara apa yang Anda pergunakan?”
Buddha menjawab, “Saya melakukan persis seperti yang Anda lakukan. Ada biksu dan biksuni yang mudah dituntun, saya hanya memberikan dorongan dengan kata-kata yang lembut dan penuh kasih. Ada juga biksu dan biksuni yang keras kepala maka perlu metode yang sedikit lebih keras seperti hukuman, pengucilan, praktik pertobatan, dan pengakuan kesalahan. Kemudian, ada juga biksu dan biksuni yang dilatih dengan menggunakan metode gabungan yaitu metode lembut dan keras.”
Sang pelatih kuda melanjutkan, “Yang Mulia, bagaimana kalau tiga metode itu tidak berhasil, apa yang akan Anda lakukan?”
Buddha membalas, “Saya melakukan hal serupa dengamu, saya juga membunuhnya.”
“Tapi Buddha mengajarkan welas asih, tak seharusnya membunuh!” Sela sang pelatih kuda dengan nada terkejut.
Buddha tersenyum dan menjawab, “Membunuh yang saya maksud adalah tidak mengizinkan biksu atau biksuni tersebut tinggal dalam komunitas lagi. Jika dia tidak tinggal di dalam komunitas lagi maka dalam konteks kehidupan spiritual maka itu disebut sudah mati.”
Lahir Kembali
Seseorang yang memilih untuk ditahbiskan menjadi monastik, seorang biksu atau biksuni dianggap terlahir kembali ke dalam keluarga sanggha monastik. Jadi seseorang yang keluar dari anggota sanggha monastik dianggap telah mati dalam kehidupan spiritual monastiknya.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa di zaman Buddha juga ada biksu dan biksuni yang sangat merepotkan bahkan sulit dibimbing. Bukan karena Buddha tidak berwelas asih, justru kehadiran biksu dan biksuni demikian akan merusak biksu dan biksuni muda, bahkan membuat komunitas sanggha monastik menjadi labil.
Dalam kasus demikian, maka seorang pemimpin harus tegas dan meminta orang tersebut untuk keluar dari komunitas. Ini adalah pilihan terakhir demi melindungi komunitas sanggha monastik.
Mengeluarkan seseorang dari komunitas bukanlah berkaitan dengan pendisiplinan, tapi sebagai tanggung jawab moral yang berlandaskan cinta kasih. Ketahuilah bahwa cinta kasih tidak selalu harus lembut. Ketika sang pelatih kuda menyambuk kudanya, dia tidak melakukannya dengan penuh kebencian, justru cambukan itu untuk membantu kuda itu menjadi terlatih.
Sebuah Pilihan
Demikian juga dalam sebuah keluarga, orang tua bisa saja tegas terhadap anaknya namun mereka penuh dengan kasih sayang, dengan demikian sang anak bisa tumbuh besar dengan baik. Demikian juga di zaman Buddha, jika ada sanggha monastik yang hidup semrawut, sering bikin keributan, menggunakan kata-kata kasar untuk mengancam orang lain, maka Buddha tidak punya pilihan lain kecuali mengeluarkan dia dari komunitas.
Buddha sangat penuh welas asih, beliau ingin membantu komunitas dan monastik yang bermasalah itu. Buddha tidak pernah marah ataupun benci ketika memberikan hukuman. Buddha membangun komunitas dengan penuh kasih sayang dan pengertian.
Di Plum Village juga demikian, ada kalanya ada monastik yang harus dikirim pulang ke orang tuanya, maka itu dilakukan dengan penuh kasih sayang. Komunitas belum memiliki kapasitas cukup untuk membimbing orang tersebut.
Kami mengadakan pertemuan dan meditasi teh untuk mengantarnya, kami belikan tiket pulang, dan memberikan uang saku secukupnya, agar dia bisa pulang ke orang tuanya dengan selamat. Kami juga memberikan nasihat-nasihat sesuai agar nanti dia kembali menjadi umat biasa tidak terlalu menderita.
(Ditulis ulang oleh Nyanabhadra dari buku Joyfully Together [Hal. 37 s.d. 42] oleh Zen Master Thich Nhat Hanh)
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.