Ketik Ketika Kok Ketiak?

Waktu SMP, saya pernah belajar mengetik. Sekitar tahun 90an. Anda masih ingat mesin ketik yang bunyinya tak-tik-tuk? Besar, tutsnya model terasiring. Spasinya adalah tuts paling panjang. Ada kertas, mistar, dan satu pengait untuk mengembalikan posisi ke sebelah kiri. Saya tidak tahu apa nama pengait itu. Di papan ketik komputer, itu namanya “Enter”.

Rasanya seperti olah raga jari. Apalagi kebagian mesin ketik yang kurang bagus. Setiap kali pencet tutsnya harus dengan kekuatan penuh. Anda boleh bayangkan satu ruangan bunyinya tak-tik-tuk, tak-tik-tuk, greeet, ting….. Begitulah suasana tempat kursus.

Sepuluh Sebelas

Kursus mengetik mewajibkan seseorang membiasakan diri mengetik dengan 10 jari. Ada orang yang lebih “hebat” mengetiknya 11 jari (telunjuk kiri dan kanan saja), kadang bisa mengetik sangat cepat, ajib! Namun saya tidak menganjurkan Anda mengetik 11 jari. Seseorang yang sudah hafal lokasinya, kecepatan mengetiknya juga semakin cepat.

Dia yang sudah jago mengetik, tidak perlu melihat tutsnya lagi. Dia cukup melihat naskah yang ingin diketik saja, namun harus dengan presisi yang persis. Kalau salah ketik bisa rempong, karena harus di tipp-ex. Anda tahu kan tipp-ex? Dulu ada tipp-ex berbentuk kertas, jadi ditaruh di bagian depan lalu diketik huruf yang salah itu, jadi tertipp-ex dengan rapi.

Ujian akhir dari belajar mengetik adalah blind fold. Anda dikasih penutup mata, kemudian guru membacakan kalimat lalu Anda mengetiknya, gampang bukan? Lalu ada program tambahan mengetik yaitu mengetik berbagai format surat, memo, kuitansi, dan lain-lain. Saya sudah lulus semua itu.

Papan Ketik

Ketika saya berpindah ke komputer, ternyata saya sudah kebut mengetiknya, bayangkan saja kuda. Larinya kencang! Bunyi papan ketik (keyboard) juga agak berbeda. Trok-trok-trok, kira-kira begitu terdengar di telinga saya. Teman-teman yang duduk di sebelah saya binggung, ada manusia pro, mengetiknya tidak melihat papan ketik sama sekali.

Papan ketik sudah memanjakan jari. Jika salah, maka tinggal pencet backspace. Koreksi kata yang salah jauh lebih mudah. Waktu mengetik pakai mesin ketik tradisional, tampaknya saya lebih hati-hati, karena tidak mau rempong mengoreksi. Saat berada di komputer, saya malah fearless! Toh kalau salah kan bisa dikoreksi dengan mudah. Jadi, tak heran walaupun saya bisa mengetik cepat, tapi banyak typo.

Saya sering menulis untuk blog, tepatnya mengetik untuk dipublikasikan di blog. Memang saya kadang terlalu PD, sehingga tidak membaca naskah yang sudah diketik. Dulu waktu belajar filsafat Mahayana, ada kisah para penyunting sutra atau sastra yang wajib melakukan pemeriksaan minimal 7 kali. Wah, langsung tertegun kagum!

Barangkali saya perlu menerapkan 7 kali edit sebelum menerbitkan artikel. Syukurnya zaman sekarang banyak orang yang bisa diajak berkolaborasi. Saya meminta beberapa orang untuk membaca dan menyunting setiap naskah sebelum dipublikasikan. Hasilnya memang bagus. Ada seorang editor, rahasia namanya! Dia rajin sekali, bahkan naskah-naskah lama yang ada typo juga dia kasih tahu agar saya bisa memperbaikinya.

Mata-mata

Enak yah punya editor. Mata saya hanya 2, kiri dan kanan. Oyah, plus kaca mata. Mata saya menjadi 4. Lalu, saya punya mata tambahan yaitu editor. Kadang ada mata ekstra lagi dari pembaca. Mereka membaca dan memberi tahu ada typo, istilah yang tidak baku, atau kalimat aneh bahkan antar paragraf yang tidak konek sekalipun juga diberitahu.

Saya merasa kemampuan menulis saya semakin hari semakin bagus. Namun tak ada gading yang tak retak, dari waktu ke waktu saya masih salah ketik. Saya ingat suatu ketika saya ingin mengetik “ketika” tapi entah bagaimana kok jadinya “ketiak”. Awalnya saya agak jengkel, ini jari dan otak kok tidak bisa diajak kerja sama sih?

Mau tidak mau saya koreksi. Sambil koreksi entah mengapa saya ketawa-ketawa sendirian. Saya merasa itu lucu, hiburan buat saya. Awalnya kesal, lalu saya koreksi, kemudian merasa lucu ujung-ujungnya ketawa. Dan saat ini ketika ingat lagi, saya merasa itu hiburan sehat. Saya jadi mengerti mengapa kesalahan itu tidak selalu jelek. “Ketik ketika kok ketiak” akhirnya menjadi beautiful mistake.

Pelajaran Bermakna

Jangan takut salah. Saya juga sering memulai dari kesalahan. Tentu saja bukan sengaja loh. Kalau saya sengaja yah silakan pentung saja! Tapi tak ada yang berani mementung “biksu” kali yah? Kalau mementung dengan emoticon atau stiker, masih berani kayaknya. Tapi tenang saja, saya akan selalu memaafkanmu.

Artikel ini terinspirasi dari tulisan Pak Dahlan Iskan, Anda bisa klik tautan ini, untukmu bahasaku. Artikelnya menarik dan saya merasa ada kemiripan, terutama ketik ketika kok ketiak? Saya bukan menjiplak loh, tapi merasa senasib. Terima kasih Pak!

Semoga Anda juga mulai tidak takut dengan kesalahan. Kesalahan itu adalah teman dari kebenaran. Terima kasih kepada kesalahan sehingga kita bisa menemukan kebenaran. Saya bahkan pernah memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbuat salah, agar dia dapat pelajaran dari situ. Pelajaran seperti itu biasanya sangat membekas. Tentu saja jangan kasus yang terlalu berat atau berisiko!

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.