Desember 2019, jadwal paling hektik! Ikut kegiatan meditasi yang diadakan oleh kampus di Petchaboon, Thailand, wajib pula, tidak boleh mabur! Tapi saya sudah janjian dengan mahasiswa UPH untuk memimpin PPD (Pekan Penghayatan Dharma). Akhirnya saya ikut meditasi selama 5 hari, lalu minta izin pulang.
Mahasiswa Ph.D wajib ikut kegiatan meditasi tahunan ini, total harus mengumpulkan 45 hari. Tahun lalu saya absen. Sementara teman-teman sekelas sudah mengakumulasi 30 hari, saya baru mengakumulasi 5 hari, wah saya banyak hutang!
Teknik meditasinya menggunakan sistem tradisional. Bangun pukul 03.30, temperatur mencapai 10 derajat celcius, enaknya tetap berlindung di balik selimut. Tidur di tenda, ditemanin suara alam semesta, terutama jangkrik dan kawan-kawannya.
Semua peserta wajib isi absen, pakai finger print, nah jadi ingat masa mahasiswa, saya kadang suka titip absen he he he. Kali ini tidak bisa, karena harus datang sendiri, tak bisa toh saya titip jempol ke teman tenda sebelah untuk mengisi absen?
Naik turun
Objek meditasi utamanya adalah mengobservasi naik turun perut. Saya sudah terbiasa mengobservasi napas, jadi lebih sering balik ke napas, bukan balik ke perut. Namun, karena instruksinya mengobservasi perut ya sudah, laksanakan; setelah balik ke napas saya segera arahkan perhatian ke perut, memang sama saja kok, karena naik turun perut juga tergantung pada napas.
Tak hanya perut yang naik turun, namun dada juga mengikuti irama napas. Jadi saya malah akhirnya pindah ke dada, memperhatikan ritme naik turun dada sembari menyadari napas. Ternyata memberikan efek yang serupa, toh napas-dada-perut adalah trio sekawan yang terjadi selama 24 jam.
Atensi pikiran ditaruh di salah satu saja sudah memberikan efek kewawasan (mindfulness), lalu ketenangan, relaksasi, kedamaian, konsentrasi juga mengikuti. Tampaknya kualitas-kualitas itu memiliki jaringannya (networking) tersendiri, jadi saling memanggil satu sama lainnya.
Demikian pula kualitas-kualitas sebaliknya juga begitu; marah, kesal, dengki, dongkol beserta hopengnya pasti punya jaringannya juga. Jika terjadi sesuatu, maka mereka bisa main keroyokan, datang ramai-ramai, sungguh luar biasa, ternyata mereka hidup berkomunitas juga.
Pegal menghilang
Pendekatan meditasi tradisional tetap memberikan manfaat. Saya sudah terbiasa praktik formal setiap hari, jadi praktik demikian justru menjadi kesempatan pendalaman. Plus, teknik praktik informal Plum Village yang memang mewajibkan seseorang mengobservasi napas sepanjang hari agar bisa secara berkala menghadirkan energi kewawasan. Praktik formal dan non formal kadang sudah tiada tembok pembatas lagi, alias non diskriminasi (upekhha).
Durasi meditasi juga cukup panjang. Pagi pukul 04.00 s.d. 5.30 meditasi duduk. Saya masih sanggup, cuman kaki saja yang pegal. Saya sanggup bertahan duduk 45 menit tanpa menggerakkan kaki. Ada waktu saya bertahan dengan mengobservasi kaki pegal sambil napas masuk napas keluar (NMNK). Kadang pegal kaki menghilang, kadang saya tidak sanggup, yah sudah saya buka pelan-pelan, sambil menyadarinya.
Tiada salah tiada benar loh bagi saya, entahlah menurut instruktur yang lain. Saya dengar ada instruktur yang tidak mengizinkan peserta mengubah posisi kaki, katanya bisa kehilangan konsentrasi. Sebetulnya konsentrasi sering hilang kok, tak hanya lewat ganti posisi kaki saja. Terserah deh, saya ikuti prinsip saya, dia ikuti prinsip dia.
Perlu jeda
Selesai sarapan kita istirahat. Pukul 8.00 chanting pagi dalam bahasa Pali. Kadang ada wejangan Dharma, kadang meditasi duduk atau jalan bersama. Cara menditasi jalan seperti yang sudah pernah saya ketahui melalui beberapa fase.
Awalnya ramai-ramai menyuarakan: standing (3x), intending to turn (3x), turning (6x), standing (3x), intending to walk (3x), lalu lanjut dengan meditasi jalan dengan formula right-goes-touch, left goes-touch, setelah jalan sekitar 7 sampai 8 langkah, maka ulangi dari awal lagi, mulai dari standing. Praktik begini sejam, mulut saya sampai pegal, akhirnya saya tidak bersuara lagi, sementara yang lain masih menyuarakan kata demi kata bersama-sama.
Sesi siang mulai pukul 01.00, latihan meditasi duduk dan jalan sampai pukul 21.00. Tidak ada jeda istirahat sama sekali. Luar biasa. Serasa sedikit disiksa, badan seolah-olah diperas sampai habis. Saya sih fine-fine saja.
Namun, kasihan bagi mereka yang tidak begitu pengalaman, banyak yang mabur dan pura-pura ke toilet. Hari pertama malah para peserta banyak yang kabur. Saya juga ikut kabur, balik ke tenda tiduran sebentar. Baru saja baring 15 menit, terdengar suara dari speaker bahwa semua diminta segera kembali ke aula meditasi.
Hari-hari berikutnya juga tetap sama, latihan duduk dan jalan berturut-turut 8 jam sih menurut saya tidak logis, badan seharusnya tidak boleh diforsir, perlu ada jeda istirahat. Saya sih sanggup walaupun terseok-seok. Saya lagi bayangkan kalau ada orang baru belajar meditasi langsung di kasih jadwal begini, ini sih sama saja dengan mengusir atau bikin orang kapok.
Pintu penghalang
Meditasi sangatlah banyak manfaatnya, namun perlu melihat audiens juga. Pendekatan meditasi bisa disesuaikan agar bisa membuka pintu buat banyak orang untuk masuk. Pendekatan meditasi juga bisa disesuaikan jika audiensya sudah semakin mahir, maka boleh pakai teknik tingkat tinggi.
Bagi praktisi yang sudah mahir, maka pendekatan apa pun sudah lumrah baginya, durasinya sepanjang apa pun dia sanggup. Namun jangan sombong, kadang ada praktisi yang sudah terbiasa meditasi duduk sejam, ketika ikut program meditasi duduk yang hanya 30 menit, dia malah sombong, ini menjadi penghalang baru, jadi mohon hati-hati.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
Namo Buddhaya Bhante,
Kalau latihan berlama-lama sampai 8 jam, tujuannya apa?
Ini waktu yang sengaja disediakan untuk latihan, seperti orang pergi retret, dan 8 jam itu menurut instrukturnya bagus, dan sesuai dengan tradisi yang dia pelajari.