Ups, bukan saya! Jangan salah paham. Ada teman saya yang mau menato badannya, dan ada lagi teman saya yang mau mengecat rambutnya. Kalau umat perumah tangga sih silakan saja. Kalau monastik? Saya merasa kurang pantas kalau menato badan, kecuali seseorang sebelum masuk monastik sudah ada tato, ini lain ceritanya.
Lalu, saya kan gundul botak, jadi apa dong yang mau di cat coba? Nyisir aja tidak bisa kok, apalagi nyinyir? Eh, maksud saya hindarilah menyinyir di manapun kamu berada, karena itu sungguh tidak sehat. Apalagi menyinyir di media sosial, urusannya bisa panjang, bahkan bisa kena urusan dengan polisi.
Kebiasaan lokal
Bagi saya, tato itu sebuah seni, kalau umat awam sih terserah. Saya sebagai monastik memilih menghindari tato, walaupun di dalam Winaya (戒律) saya tidak melarangnya, namun ini berkenaan ada stigma di kalangan tertentu, ini bukan urusan permisif ataupun defensif loh. Lalu, bukan berarti menato badan lalu Anda dianggap brandalan, bukan demikian!
Lah, kenapa tradisi Theravada malah ada yang justru menato bagian badan tertentu? Setahu saya, itu bagian dari budaya lokal, boleh saja. Lagipula tradisi itu tidak ada di zaman Buddha, juga tidak berlaku universal. Tapi bukan berarti harus ikut-ikutan mereka.
Contoh lain, saya melihat ada monastik Thailand yang merokok, itu dianggap lumrah. Sebab, memang ada orang yang terbiasa merokok, kemudian setelah menjadi monsatik juga masih membawa kebiasaan itu, di dalam Winaya memang tidak disebutkan dengan jelas. Bagaimana kalau kebiasaan itu dibawa ke Indonesia? Tentu saja tidak pantas.
Lalu ngecat rambut bagaimana? Silakan saja, kan itu rambut Anda, mau dicat warna pelangi juga silakan. Ada orang yang ngecat rambutnya karena alasan modis, ada yang karena untuk menutupi uban, itu juga pilihan masing-masing. Monastik so pasti ada uban juga kok, kami tidak diizinkan untuk mencabut mengecat uban, karena itu cara kami mengingat ketidakabadian (anicca, 無常).
Oh begitu
Pernah sekali, ada satu anak yang ikut retret remaja. Rambutnya warna-warni. Setahu saya, sekolah tidak mengizinkan anak sekolahnya mengecat rambut. Lalu saya tarik dia ke pinggir untuk “interogasi”. Saya tanya, “Dek, emang sekolah bolehin ngecat rambut yah?” Dia jawab, “Tidak boleh Bhante, tapi sekarang kan lagi liburan, he he he..”. “Oh begitu”, saya manggut-manggut.
Saya heran, lalu lanjut bertanya lagi, “Nanti kalau sudah masuk sekolah gimana?”. Dia jawab, “Gundulin ajah Bhante, he he he…”. “Oh begitu”. “Kamu ke salon yah ngecat rambutnya?”. “Bukan Bhante, tante saya yang ngecatkan, itu mamanya sepupu saya”. Sambil menunjuk remaja kurus yang tidak jauh darinya.
Saya panggil juga si remaja kurus itu. “Jadi mamamu ngecatkan rambutmu, lalu sekalian ngecatkan rambut sepupumu juga?” Dia hanya nyengir lalu jawab, “Bukan Bhante, mamaku ngecatkan rambut dia. Lalu sekalian rambut saya he he he…”. “Oh begitu, lalu kenapa kalian mau ngecat rambut?”. “Modis Bhante, abis nanti kalau sudah masuk sekolah tidak boleh lagi.” “Oh begitu”. Begitulah kisahnya dua kakak adik sepupu mengecat rambutnya.
Sudah bagus
Ada satu lagi. Seorang emak-emak muda, random, bertanya kepada saya, “Suhu apakah saya boleh ngecat rambut”. Saya spontan jawab, “Jadilah dirimu sendiri, bukan jadi orang lain”. Guru saya, Bhante Thich Nhat Hanh bilang, “Be Beautiful Be Yourself”.
“Ngapain ngecat rambutmu? Rambutmu sudah bagus kok”. Manusia ada kecenderungan merasa tidak puas dengan dirinya sendiri, ada saja yang mau dipermak dan didempul. “Berbahagialah dengan apa yang sudah ada, tak perlu tambo apa pun lagi”.
Tak dipungkiri, semua orang ingin terlihat cantik. Bisnis kecantikan ternyata laris manis, pangsa pasarnya lebih banyak menyasar wanita yang kurang pede dengan dirinya sendiri. Tapi, bukan berarti Anda over pede loh. Tampil apa adanya, sesuaikan dengan norma kepantasan, dan jangan terlalu norak he he he…
Melepaskan stigma
Suatu hari, di Bali. Ada seorang teman tiba-tiba pergi menato bagian lengannya. Ketika dia balik, saya terkejut. Loh, kok tiba-tiba menato lengan? Dia bilang sudah lama ingin menato. Melihat hasil tatonya, saya merasa ada ‘kontroversial diri‘ yang terjadi. Tulisan yang ditato adalah “No Mud No Lotus”, ini adalah kalimat inspiratif dari guru saya.
Saya harus melepaskan sebagian stigma negatif dalam pikiran. Berhasil! Saya benar-benar menerapkan prinsip non-diksriminasi secara nyata. Saya merasa, napas panjang menjadi langkah pertama, lalu relaks badan, kemudian kekuatan penerimaan juga membesar.
Aneh yah, mau tato, tanya saya; mau ngecat rambut, tanya saya. Entah apa lagi nanti, tanya saya lagi. Tentu saja teman-teman dekat saja kok, sekadar untuk mencari second opinion, boleh saja. Tapi, kalau dikit-dikit tanya saya, rempong juga. Sebetulnya Anda sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan sendiri.
Namun, Saya tetap bersedia menjawab kok jika Anda bertanya, silakan saja. Tapi ingatlah loh, keputusan terakhir tetap ada di tanganmu, jangan meminta saya yang memutuskan untukmu. Pilihanmu adalah tanggung jawabmu, jangan meletakkan keputusanmu di tangan orang lain.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
napas panjang menjadi langkah pertama