Ceramah Dharma oleh Thich Nhat Hanh pada tangal 28 Juli 1996 di Plum Village, Perancis.
Melampaui Ketidakadilan:
Kisah Quan Am Thi Kinh –
Melampaui Ketidakadilan [Transcending Injustice]
© Thich Nhat Hanh
Sahabat,
Hari ini tanggal 28 Juli 1996, kita berkumpul di Lower Hamlet, saya akan menggunakan bahasa Inggris.
Ada seorang anak perempuan kecil bernama Kinh, dia lahir di Vietnam utara zaman dahulu. Orang tuanya berharap kelahiran seorang pria, namun yang lahir adalah perempuan, walaupun demikian mereka tetap bahagia dan memberikan nama kecil Kinh kepadanya. Kinh berarti “respek, yang disanjung tinggi”. Sebuah nama indah. Anda menghormati orang lain, binatang, termasuk menghormati kehidupan tumbuhan dan mineral. Menghormati kehidupan, menghormati kehidupanmu juga kehidupan mereka dekat denganmu. Kinh seorang perempuan cilik cantik, seperti setangkai bunga. Kinh sering bersama ibunya berkunjung ke wihara dekat desanya untuk memberikan persembahan bunga teratai kepada Buddha dan mendengarkan ceramah dharma yang diberikan oleh biksu. Kinh senang mendengar dharma.
Kink punya niat besar untuk menjadi biksu, karena dia melihat bahwa biksu hidup bahagia dan bisa menolong banyak orang. Dia ingin menjadi biksu, karena berlatih, tinggal di wihara, semua tampak begitu indah dan damai. Ia senang dengan sikap para biksu, pergi dan datang dengan penuh kelembutan, menyentuh segala sesuatu dengan penuh hormat. Ia begitu senang terhadap dharma walaupun ia masih sangat kecil. Dia bertanya-tanya apakah bisa menjadi seorang biksu, tentu saja mereka jawab tidak, tidak untuk perempuan. Ajaran Buddha baru saja masuk ke Vietnam dan hanya ada wihara untuk biksu, mungkin ada wihara untuk biksuni namun sangat langka. Pada waktu itu belum ada pesawat terbang, tidak ada bus, jadi Kinh tidak terpikir untuk pergi ke tempat lain. Dia tidak bahagia karena tidak bisa menjadi biksu hanya karena dia seorang perempuan. Tampaknya dia frustasi, dia percaya bahwa perempuan juga bisa berlatih seperti seorang biksu, hidup bahagia dalam dharma seperti mereka.
Kinh tumbuh menjadi seorang perempuan cantik dan orang tuanya ingin dia menikah dengan seorang pria di desa tetangga. Pada zaman dahulu, pernikahan diatur oleh orang tua, dan anak wajib menuruti, karena itu adalah kebijaksanaan orang tua, mereka tahu siapa yang cocok buatmu. Harapan tertinggi orang tua adalah melihat anak perempuanya menikah dengan seorang pria yang punya masa depan cerah. Ada sebuah keluarga dari desa tetangga mengirim surat lamaran, pria itu bernama Sung Tin yang berarti “cendekiawan kebaikan, murid kebaikan”, saya tidak tahu seberapa baik pria itu, seberapa cerah masa depannya, tampaknya pria ini terlahir di keluarga cukup berada dan status sosial tinggi. Tampaknya pria ini memiliki masa depan cerah, karena dia adalah seorang murid yang baik dan mungkin saja telah lulus ujian dan menjadi pegawai tinggi pemerintahan. Para pelajar zaman dahulu sangat mendambakan kelulusan ujian dan dipilih menjadi menteri oleh raja, atau ketua propinsi, dan sebagainya.
Kinh harus menuruti kehendak orang tuanya untuk menjadi istri Sung Tin, walaupun niat sesungguhnya ingin menjadi biksuni. Tidak ada jalan lain baginya, waktu itu sangatlah berbeda dengan zaman sekarang ini, jika seorang perempuan ingin menjadi biksuni, dia bisa saja menelepon dan mencari tahu di mana ada wihara untuk biksuni, namun Kinh tidak punya kesempatan untuk bertanya. Oleh karena itu, ia mengubur keingiannya dalam-dalam dan menuruti kehendak orang tuanya untuk menikah dengan Sung Tin. Tentu saja sang istri wajib menyokong pendidikan suaminya, menjaga dan mendukung suaminya agar lulus ujian, itulah kewajiban seorang istri pada zaman itu.
Keluarga Sung Tin cukup kaya, jadi Kinh tidak perlu bekerja keras untuk menyokong suaminya. Namun perlu anda ketahui bahwa banyak istri yang masih muda harus menjual beras di pasar atau memanggul beras pada musim panas demi mendapatkan uang untuk mendukung suaminya untuk sekolah. Tentu saja kondisi demikian tidak terjadi pada Kinh karena dia menikah ke sebuah keluarga kaya. Jadi Kinh hanya mengerjakan pekerjaan dapur, bersih-bersih, memasak, menjahit pakaian, dan sebagainya. Kinh dididik oleh orang tuanya menjadi seorang yang bisa merawat rumah dengan telaten. Suatu hari ketika Kinh sedang menambal pakaian, suaminya sedang belajar di sisinya kemudian ketiduran. Seorang pelajar berupaya untuk belajar sebanyak-banyaknya, suaminya juga demikian, belajar siang dan malam hari, pada hari itu suaminya belajar di sisinya dan ketiduran.
Ketika Kinh melihat Sung Tin, dia melihat ada beberapa kumis yang tidak tercukur rapi, dengan penuh cinta kasih ia menggunakan sepasang gunting mencoba untuk meratakan cukurannya. Namun, tiba-tiba suaminya terbangun dan dalam keadaan begitu, suaminya menyangka bahwa Kinh mencoba membunuhnya, oleh karena itu ia berteriak. Saya tidak tahu seberapa dalam cinta mereka berdua, seberapa dalam mereka saling mengerti, namun inilah yang terjadi. Orang tuanya datang dan bertanya, “Mengapa engkau berteriak?” Ia menjawab, “Ketika aku sedang ketiduran, ketika aku bangun, aku melihat dia menggunakan sepasang gunting seperti itu, jadi saya tidak tahu.” Orang tuanya bilang, “Bisa saja seorang istri tidak setia akan membunuh suaminya, karena jatuh hati pada pria lain, oleh karena itu kami tidak ingin kamu sebagai menantu kami lagi. Kami akan mengirim anda pulang ke rumah.” Kinh mencoba untuk memberi penjelasan, namun orang tua Sung Tin tidak percaya.
Ketika saya berlatih melihat secara mendalam atas kejadian ini, saya melihat bahwa pengusiran itu terjadi bukan karena kecurigaan, namun penyebabnya adalah kecemburuan. Setelah menikah, pria itu selalu menghabiskan waktu bersama istrinya, dan orang tuanya merasa kehilangan anaknya. Wanita yang baru masuk ke keluarga itu telah memonopoli seluruh kehidupan anaknya, jadi kecemburuan muncul dalam diri orang tuanya tanpa disadari. Jadi, mereka menulis surat untuk keluarga Kinh dan meminta mereka untuk menjemput balik anak perempuannya. Bayangkan betapa pedih derita keluarga itu. Bagi satu sisi keluarga, anak perempuannya sangat sempurna, jujur, setia. Ini sebuah ketidakadilan, dan ini merupakan ketidakadilan pertama yang harus dia dera, terima, dan telan mentah-mentah. Akhirnya mereka membawa pulang Kinh, mereka percaya bahwa Kinh tidak punya niat untuk membunuh suaminya, ini sungguh sebuah kemalangan, dan mereka bertiga sangat menderita.
[Gong]
Namun Kinh mendapat pelajaran berharga dari kehidupan suami-istri. Dia melihat bahwa banyak orang hidup dalam persepsi keliru. Bahkan dalam keluarga kaya sekalipun, mereka saling menyebabkan penderitaan. Cinta Kinh dalam keluarga itu tidak bisa membuat dirinya bahagia, tidak bisa membuat dirinya mekar seperti bunga. Cinta seperti itu, kehidupan seperti itu tidak memberikan kepuasaan kebutuhan hidup terdalamnya. Tiba-tiba niat untuk menjadi biksuni kembali muncul. Dia menghabiskan beberapa malam untuk berpkir bagaimana menjadi biksuni agar bisa berlatih di wihara, agar dia bisa sepenuh hati terjun ke dalam dharma dan mendedikasikan sepanjang hayatnya untuk berlatih dharma.
Suatu malam ia memutuskan untuk menyamarkan dirinya menjadi seorang pria supaya bisa diterima di sebuah wihara. Tentu saja dia tidak pergi ke wihara dekat dengan desanya karena takut ada orang yang mengenalinya, kalau ketahuan maka tentu saja akan ditentang oleh keluarganya. Oleh karena itu, dia pergi sangat jauh karena cukup banyak wihara di tempat-tempat lain. Ia berjalan kaki sekitar 100 mil agar tidak ketahuan orang tuanya. Dia tidak memberitahu siapapun termasuk sahabatnya atas niatnya itu. Kalau saja ia memberitahu sahabatnya, tentu saja orang tuanya akan pergi mencari di setiap wihara dan membawanya pulang, dia akan ketahuan seketika itu juga, dia menjaga ketat rahasia itu.
Suatu hari, Kinh kabur dan menghilang dengan meniggalkan beberapa barangnya beserta sepucuk surat yang berisi, “Ibunda dan Ayahnda, Aku punya sebuah niat yang sangat aku cinta, aku akan mengerjakannya, mohon maafkan saya karena tidak bisa tinggal di rumah untuk menjaga kalian berdua, karena ketetapan hati saya sudah begitu kuat.” Anda tahu bahwa tekad itu adalah Bodhicitta, tekad besar untuk berlatih dharma dan menghadirkan kebahagiaan bagi banyak orang, di banyak tempat orang menderita dan terjebak dalam persepsi keliru, mereka melakukan ketidakadilan terhadap sesamanya setiap hari. Ia tidak ingin mengulangi kehidupan yang sama lagi, dia ingin menjadi biskuni. Setelah berjalan sekitar 100 mil, dia menemukan sebuah wihara bernama Phap Van, “Awan dharma”, tidak jauh dari Hanoi.
Ia menyamar sebagai seorang pria, ia memohon untuk bertemu dengan kepala wihara. Dia ikut mendengarkan ceramah dharma dan sangat tersentuh, dia menunggu sampai semua orang pulang, ia mendekati biksu itu dan mengutarakan niatnya untuk bergabung menjadi anggota sangha monastik, samanera. Biksu itu pun minta dia duduk dan berkata, “Anak muda, mengapa engkau ingin masuk anggota sangha?” Dia berkata, “Oh guru, Aku melihat segala sesuatu tidak kekal, tidak ada yang bisa berlangsung selamanya. Semua ini seperti mimpi, bagaikan kilat. Ketika saya memandang ke langit, aku meliat awan berbentuk anjing, begitu cepat awan itu berubah wujud, sekarang aku melihat awan itu sudah berubah bentuknya menjadi pakaian. Semua orang mencoba untuk memperoleh ketenaran, memperoleh keuntungan dari dunia ini dan tampaknya mereka tidak bahagia. Aku ingin kebahagiaan sesungguhnya, aku percaya bahwa hanya dharma bisa memberikan aku kedamaian dan kebahagiaan.” Setelah mengutakan alasan itu, biksu itu mengucapkan selamat kepadanya, “Anak muda engkau telah mengerti ajaran tentang ketidakkekalan aku berharap kamu bisa sukses dalam latihan biksu. Kinh diizinkan untuk menetap di wihara itu, tiga bulan kemudian ia ditahbiskan menjadi samanera.
Nama dharmanya adalah Kinh Tam. Ia mempertahankan nama Kinh, “rasa hormat” dan biksu itu menambahkan Tam “Intisari” di belakang namanya. “Intisari rasa hormat”. Semua muridku mendapat nama belakang “Intisari”, “Sumber paling inti”, “Pintu hati (inti)” dan semua adalah inti “hati”, jadi mereka memiliki nama belakang sama.
Kinh Tam selalu berlatih dengan baik dan rajin. Ketika belajar sutra, ia sangat cepat mengerti dan memperoleh manfaat besar dalam kehidupan monastik. Gurunya sangat mencintainya dan selalu percaya dia adalah seolah anak laki-laki. Samanera muda itu sangat rupawan, walaupun dia menyamar sebagai seorang pria, walaupun dia tidak mengenakan perhiasan emas atau parfum dan sejenisnya, dia tampak begitu menawan, seorang samanera rupawan, kondisi demikian membawa dampak bahaya baginya. Tidak jauh dari wihara itu ada sebuah desa, ada seorang gadis dari keluarga kaya, dia selalu datang ke wihara bersama ibunya setiap bulan gelap dan penuh, mereka mempersembahkan bunga, dupa dan sebagainya. Gadis itu melihat samanera muda itu, seketika itu juga dia jatuh cinta padanya.
Aku tidak yakin jatuh cinta pada pandangan pertama gadis itu karena wajah cantik samanera itu, wajahnya tentu saja menawan, namun ada sesuatu lain di balik samanera muda itu, ia berlatih perhatian murni sangat baik, kita memanggilnya “samanera”, ia berlatih meditasi jalan, minum, dan melakukan segala sesuatu dengan penuh perhatian, oleh karena itulah ia tampak begitu rupawan. Mereka yang hidup di tengah-tengah masyarakat tidak begitu rupawan, mereka selalu tergesa-gesa, lari ke sini dan ke sana dengan begitu cepat, mereka tidak punya kebebasan sama sekali. Wajah relaks, kedamaian yang tertampak di wajahmu tercerminkan dari cara kamu melakukan segala sesuatu, apakah melalui cara kamu duduk, berjalan dan oleh karena itulah gadis kaya itu langsung jatuh cinta pada “samanera” itu pada pandangan pertama.
Gadis kaya itu bernama Mau, Mau berarti “warna”, warna apa? Saya tidak tahu, saya tidak menyalahkan gadis itu karena dia jatuh cinta pada samanera itu karena tampang rupawannya. Anda boleh menyebut dia “tampan”, namun dia lebih tampan daripada sekedar tampan, dia tampak menawan karena ada kedamaian dalam hatinya. Jadi, jika ada seorang gadis yang jatuh cinta pada biksu, ini tentu saja bukan hal yang luar biasa, hal demikian selalu saja terjadi. Saya ingat, suatu ketika ada seorang pria datang ke Plum Village dan bertanya kepada Sister Jina, “Anda begitu cantik, mengapa anda mau menjadi biksuni? Sungguh sayang sekali.” Setelah berdiam sejenak dan berpikir, Sister Jina membalas, “Jika engkau melihat bahwa saya ini cantik, itu dikarenakan saya sudah menjadi biksuni, apabila saya tidak menjadi biksuni, mungkin saya tidak secantik yang engkau lihat”.
Saya rasa itu kejadian nyata, ketika engkau menjadi biksu atau biksuni, engkau menjadi cantik dan tampan. Engkau dihiasi oleh kedamaian, perhatian penuh kesadaran, latihan dharma dan oleh sebab itulah engkau memancarkan sejenis kecantikan yang sangat sulit ditemukan dalam masyarakat. Jadi, saya tidak menyalahkan Mau sama sekali. Jika saya adalah Mau, mungkin saya juga bisa jatuh cinta pada samanera itu. Mau mencoba untuk berbicara dengan samanera itu, mencoba untuk mencari kesempatan untuk berbicara berdua, namun samanera itu selalu menghindar, Mau sangat frustasi. Kadang-kadang Mau mencoba untuk menebak ke mana samanera itu akan pergi, dan menunggu dia di sana, namun ketika samanera itu melihat gadis itu, ia langsung berubah haluan dan pergi. Mau mencoba berulang kali menyatakan cintanya terhadap samanera muda itu, namun tekad dalam hatinya sangat kuat untuk terus berlatih sebagai monastik.
Mau sangat frustasi, dia tidak tahu bagaimana mentransformasikan perasaan cintanya, dia tidak mengerti dharma, latihannya sangat dangkal, hanya pergi ke wihara memberikan persembahan pisang, nasi pulut manis, bunga dan bersujud di depan altar. Dia tidak tahu bagaimana berlatih untuk menjaga nafsu keinginannya, kemarahannya, dan sebagainya. Apabila engkau ke wihara, seharusnya engkau belajar dharma, engkau perlu merubah dirimu dengan cara berlatih dharma, jangan seperti gadis Mau. Cinta nafsunya begitu besar kepada samanera itu, dia begitu frustasi. Suatu hari, ketika orang tuanya tidak ada di rumah, dia memanggil pelayan pria masuk ke kamarnya, pelayan itu tinggal di rumahnya, mengurus kebun dan pekerjaan rumah, pada malam itu bulan purnama, Mau tidak sanggup menahan cinta nafsunya lagi, dia memanggil pelayannya dan mengizinkannya untuk melakukan hubungan badan dengannya, kemudian Mau membayangkan bahwa pelayan itu adalah samanera muda itu. Dalam kisah sejarah disebutkan dengan jelas bahwa Mau setengah sadar, dia membanyangkan pelayan itu sebagai samanera muda.
Kemalangan pun telah terjadi, dan beberapa bulan kemudian Mau merasa dia telah hamil, ia mencoba untuk menutupinya agar tidak ketahuan orang tuanya, namun semakin lama semakin jelas, orang tuanya bertanya, “Anakku, apa yang terjadi pada dirimu? Engkau tidak mau makan, engkau tidak mau makan nasi, namun hanya makan makanan asam saja.” Mau membalas, “Tidak ada apa-apa, saya baik-baik saja, saya sehat, mungkin darah saya perlu pemurnian.” Beberapa hari kemudian tetua desa memanggil seluruh sesepuh desa bersama orang tua Mau, seluruh desa sudah mengetahui bahwa seorang gadis hamil tanpa suami. Mereka memanggil Mau dan bertanya siapa ayah sang anak diperutnya.
Mau berpikir lama, pelayan itu sudah diusir dari rumahnya, walaupun saya berkata jujur, tidak ada orang mau percaya. Kepala desa bilang bahwa Mau harus bicara jujur. Seandainya Mau menyebut samanera muda itu, maka dia punya kesempatan untuk menjadikan dia sebagai suami resminya, jadi dia berpikir sebaiknya bilang bahwa ia tidur bersama samanera Kinh Tam yang berlatih di Wihara Phap Van. Jadi Mau bilang, “Para tetua, saya sering pergi ke wihara dan jatuh cinta pada seorang samanera bernama Kinh tam. Kami berdua tak sanggup membendung cinta yang begitu besar, oleh karena itu kami melakukan kesalahan ini, mohon maafkan kami berdua”
Para sesepuh desa memanggil seluruh warga wihara, biksu, samanera dan beberapa orang yang tinggal di wihara itu. Ketika Kinh Tam tiba, dia diberitahu bahwa Mau menyatakan dia telah tidur bersamanya sehingga sekarang sudah hamil, dan para sesepuh desa bilang, “Kinh Tam, engkau samanera muda, bertekad untuk menjadi biksu, mengapa engkau tidak berlatih peraturan kamu dengan baik? Engkau tidur bersama gadis muda di desa. Apa lagi yang bisa engkau jelaskan?” Samanera muda itu membalas, “Saya menjaga peraturan saya dengan baik, saya tidak pernah tidur bersama siapapun di desa ini, mohon pertimbangkan baik-baik, sangat tidak adil bagiku, mohon pengertian, mohon berbelas kasih. Aku tidak pernah melakukan hal begitu.” Ketika sesepuh itu kembali konfirmasi kepada Mau, ia bersikeras menyatakan bahwa samanera itu telah tidur bersamanya dan akhirnya hamil. Samanera muda itu tetap menolak, “Saya seorang samanera, berlatih ketat dalam peraturan, saya tidak pernah berbuat demikian, Buddha, Dharma, dan Sangha menjadi saksi atas kejujuranku.”
Akhirnya, mereka harus menggunakan hukuman cambuk. “Engkau harus berbicara jujur, kalau tidak engkau akan dicambuk 30 kali. Engkau harus mengaku telah tidur bersama Mau.” Mereka mengikat samanera muda itu di sebuah tiang dan mencambuknya 30 kali. Hukuman seperti inilah yang dilakukan pada zaman dahulu. Cambuk itu sangat keras dan darah pun mulai mengalir membasahi jubahnya. Namun dia tetap tidak menyerah, dia tetap bilang bahwa “Ini kekeliruan, aku tidak bersalah, mohon pertimbangkan ulang.” Mau melihat kejadian itu dan ia bilang, “30 cambuk cukup.” Mau merasa kasihan melihat samanera muda itu, karena dia orang kaya maka bisa memohon keringanan. Samanera itu diizinkan pulang, ketika tiba di wihara, orang lain ingin membantu merawat lukanya, namun dia bilang, “Jangan, aku bisa menjaga diriku sendiri, saya bisa membalut lukaku, aku akan merawat luka ini sendiri,” karena dia tidak ingin orang lain mengetahui rahasianya bahwa dia sebenarnya adalah seorang wanita, dia bukanlah seorang pria.
Setelah merawat lukanya yang disebabkan oleh cambukkan, dia pergi menghadap gurunya, kemudian gurunya bilang, “Anakku, aku tidak tahu, aku tidak pasti, aku tidak tahu apakah engkau telah berbuat demikian atau tidak, aku sungguh tidak tahu, jika engkau telah berbuat seperti itu, aku harap engkau memulai lembaran baru secara mendalam setiap hari, jika engkau tidak melakukannya, mohon berlatih kesabaran (Kshanti Paramita) dan mencoba untuk menemukan suka cita di dalam latihan.” Ini yang disampaikan oleh gurunya. Oleh karena kejadian itu, para komunitas wihara memohon Kinh Tam diasingkan ke ruang dekat gerbang wihara dan tidak tinggal bersama monastik lainnya. Anda tahu bahwa Kinh Tam diperintah untuk tinggal sendirian di ruang terpisah, ruang dekat gerbang wihara sehingga masyarakat tidak bisa menyalahkan sangha secara keseluruhan, karena dia berada dalam status tersangka.
Seandainya saya adalah guru Kinh Tam, saya tidak tahu apakah saya juga akan mengizinkan Kinh Tam untuk tetap tinggal bersama dalam satu gedung dengan sangha atau tidak. Saya tidak tahu karena zaman dahulu berbeda dengan zaman sekarang ini, orang zaman dahulu penuh dengan kecurigaan dan sebagainya. Saya punya cukup pengertian untuk mengetahui apakah murid saya melakukan sesuatu yang buruk atau tidak karena saya mencoba untuk menjalin komunikasi baik dengan muridku dan berlandaskan pengertian dalam, perhatian murni, saya bisa tahu apakah murid saya melakukannya atau tidak, karena saya bukan menjadi guru untuk menyalahkannya, namun saya akan berada di sana untuk membantunya, jadi muridku akan berkata jujur kepadaku.
Ketika bayi itu lahir, Mau tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak ingin orang tahu bahwa bayi itu adalah bayi sang pelayan rumahnya, kalau orang lain tahu, maka ini akan membawa reputasi buruk kepada keluarganya. Dia lebih baik memilih mati daripada harus mengatakan bahwa dia telah tidur dengan pelayan rumahnya. Kejadian seperti ini tidak sanggup dia hadapi, demikian juga keluarganya tak sanggup menerima kenyataan itu. Engkau telah berbuat kesalahan, engkau telah bertindak keliru, namun engkau tak sanggup mengaku kesalahan itu dan hanya melemparkan tanggung jawab kepada orang lain, hal demikian selalu terjadi setiap hari. Akhirnya Mau membawa bayinya kepada Kinh Tam, dia membawa bayinya ke ruang dekat gerbang wihara dan bilang, “Ini anakmu, terimalah” Kemudian Mau meletakkan bayi itu di tangga dan pergi. Bayi itu terus menangis, Kinh Tam merasa, “Bayi itu diletakkan di situ begitu saja, jika saya tidak merawatnya, siapa lagi yang akan merawatnya? Saya berlatih belas kasih dan pengertian, jika saya tidak menjaga dan melindunginya, siapa yang mau melakukannya?” Jadi Kinh Tam bilang, “Biarkahlah aku yang merawatnya!” dan dia memungut bayi itu.
[Gong]
Bayi itu kelaparan dan Kinh Tam tak punya susu, jadi dia terpaksa membawa bayi itu ke desa dan mencoba untuk meminta susu. Setiap hari dia pergi ke masyarakat dan meminta susu untuk bayi itu. Ada orang yang sangat tersentuh oleh tindakannya dan ada pula mereka yang bilang, “Bagaimana mungkin dia berlatih sebagai monastik apabila ia melakukan hal demikian, tidur dengan wanita dan wanita itu menyerahkan bayi kemudian dia harus menerima tanggung jawab merawat bayi, mencoba untuk mengasuh anak itu sebagai ayah, bagaimana mungkin seseorang berlatih dharma seperti itu?” Kinh Tam sedih karena masyarakat tidak mengerti situasinya, sementara dia tetap berlatih kesabaran karena dia merasa damai dan bersuka cita hidup dalam dharma.
Jika dia ingin menyingkirkan ketidakadilan, tentu saja bukan tugas mudah, kalau mau gampang, Kinh Tam tinggal mengumumkan bahwa dirinya adalah seorang wanita, sesegera itu juga dia akan terbebas dari segala tuduhan maupun penderitaan. Mengapa dia tidak melakukannya? Karena dia sangat cinta dharma, dia ingin terus berlatih sebagai monastik, oleh karena itu dia tidak mau menyerah begitu saja. Ketika engkau sangat senang dengan sesuatu, engkau terdorong untuk mempertahankannya walaupun ketidakadilan jatuh kepadamu. Dia dicambuk, salah paham, dituduh oleh banyak orang, namun tetap bisa terus berjalan dengan penuh ketenangan, kebahagiaan dalam monastik dan berlatih dharma.
Zaman sekarang ini, banyak orang yang hidup bersama dalam sangha dan mereka berhadapan dengan banyak kesulian dan ingin meninggalkan sangha. Mereka tidak punya kesabaran besar seperti itu. Mereka tidak sanggup memikul beban ketidakadilan yang jatuh padanya, karena tekad dan kebahagiaan mereka tidak memadai. Oleh karena itu, kuncinya adalah apabila anda menghadapi banyak masalah, maka cobalah untuk menghargainya segitu banyak, apakah hatimu besar atau tidak. Apabila hatimu kecil, maka engkau tidak sanggup memikul ketidakadilan yang jatuh padamu. Pengertian dan cinta kasih dapat membantu hatimu tumbuh menjadi lebih besar dan lebih besar lagi. Hal ini merupakan latihan empat hati tak terukur, cinta kasih, belas kasih, suka cita, dan kesetaraan. Hanya karena hatimu bisa tumbuh sebesar kosmos, perkembangan hatimu tidak akan pernah berujung. Jika engkau seperti sungai, engkau bisa menerima banyak kotoran dan tidak akan memberi efek apa pun bagimu, engkau bisa melakukan transformasi kotoran itu dengan mudah.
Ceramah dharma sebelum ini, saya meminjam perumpamaan yang diberikan oleh Buddha, jika engkau mencelupkan kotoran pada stoples kecil yang berisi air, maka air itu terpaksa harus dibuang, tidak ada orang yang bisa minum air itu, namun apabila engkau mencelupkan sejumlah kotoran yang sama ke sebuah sungai besar, masyarakat dari kota tetap bisa minum dari sungai itu, karena sungai itu begitu sangat luas. Sungai itu tidak menderita hanya gara-gara segumpal kecil kotoran, air dan lumpur di sungai itu hanya membutuhkan satu malam untuk merubah segumpal kecil kotoran itu. Jadi, jika hatimu sebesar sungai itu, engkau akan sanggup memikul seberapa besar maupun kecil ketidakadilan dan engkau tetap bisa hidup dengan kebahagiaan, dan engkau sanggup melakukan transformasi ketidakadilan itu hanya dalam waktu satu malam. Jika engkau menderita, itu berarti hatimu terlalu kecil. Ini merupakan cermaah tentang kesabaran dalam ajaran Buddha. Engkau tidak mencoba-coba untuk memikulnya, engkau tidak membekap penderitaanmu, engkau hanya berlatih untuk membesarkan hatimu sebesar sungai, kemudian engkau tidak perlu memikul dan juga tidak perlu menderita.
Ada banyak cara untuk membesarkan hatimu, caranya yaitu dengan melihat secara mendalam untuk memperoleh pengertian. Pada saat engkau mengerti, belas kasihmu akan timbul, dan belas kasih itu akan memperkenankanmu terus berjalan, tidak menderita, tidak melihat orang lain dengan mata penuh kejengkelan dan kebencian. Inilah praktik kesabaran yang sesungguhnya, engkau tidak perlu menderita. Kesabaran dalam konteks ajaran Buddha adalah tidak mencoba untuk menelan atau membekap ketidakadilan, namun mencoba untuk memeluk seluruh ketidakadilan dengan menggunakan hati besarmu. Jadi, setiap hari engkau harus pergi ke hatimu, sentuhlah hatimu, tanyalah padanya, “Hatiku, sayangku, apakah engkau sudah sedikit tumbuh lebih besar setelah satu malam berlalu?” Kita berkunjung ke hati setiap hari untuk melihat apakah hati kita masih terus tumbuh tanpa batas, tumbuh menjadi mulia. “Hati yang tumbuh” merupakah istilah yang digunakan oleh Buddha ketika beliau mengajarkan tentang empat pikiran tak terukur.
Hati belas kasihmu menjadi semakin besar, tumbuh semakin besar setiap waktu, hati cinta kasihmu, hati suka citamu, hati kesetaraanmu. Oleh karena itu paramita diterjemahkan sebagai “titik tertinggi, batas” yang juga berarti tidak ada titik lebih tinggi atau melebihi batas ini, seperti titik paling utara atau selatan yang disebut kutub utara atau kutub selatan. Inilah titik tertinggi, inilah batasnya, namun bagaimana belas kasih, cinta kasih, suka cita, dan kesetaraan kita bisa tahu bahwa tidak ada batas, oleh karena itulah empat pikiran ini disebut empat pikiran tak terukur, karena pikiran ini akan terus berkembang dan berkembang tanpa berhenti. Mereka tumbuh membesar menjadi sebesar sungai, kemudian menjadi samudra, kemudian terus tumbuh. Semakin besar hatimu, maka kemampuan memikul dan menerima ketidakadilan tanpa mengalami penderitaan.
Beberapa hari setelah Kinh Tam menerima bayi itu, dia mencoba untuk merawat dan memberikan makan, kemudian gurunya memanggilnya, “Anakku, mengapa engkau melakukan hal demikian? Engkau tidak tidur dengan perempuan itu dan bayi ini bukanlah bayimu, mengapa engkau menerimanya? Perbuatanmu tampaknya tidak memberi reputasi baik bagi Sangha.” Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan seandainya saya sendiri adalah gurunya, saya tidak tahu harus bertindak apa terhadap dia, takut martabat jatuh. Namun Kinh Tam bersujud di hadapan gurunya dan menjawab, “Guruku, aku sudah belajar dari sutra bahwa jika seseorang membangun stupa tujuh tingkat, dan jika seseorang membangun seribu stupa, kebajikan yang tidak sepadan dengan perbuatan menyelamatkan kehidupan makhluk hidup. Oleh karena itulah saya menerima bayi ini dan mencoba untuk merawatnya.” Inilah yang dijawab oleh samanera muda itu kepada gurunya.
Samanera itu meninabobokan bayi itu, kadang-kadang ada masyarakat yang mendengar suara lonceng besar dan lantunan gatha, “Dengar-dengar, bunyi nan indah ini membawaku kembali kepada diriku yang sesungguhnya. Semoga bunyi lonceng ini menembus ke dalam kosmos…,” dan sebagainya, dan pada kesempatan lain masyarakat juga bisa mendengar, “Bayiku, tidurlah, tidurlah dengan nyenyak…” Dua hal demikian silih berganti terdengar. Saya percaya bahwa samanera itu berlatih dengan tekun, menyanyikan nina bobo sebaik melantunkan gatha, karena dua hal tersebut mengandung cita rasa dharma di dalamnya.
Ketika anak laki-laki itu tumbuh cukup besar, Kinh Tam sakit keras, dan dia tahu akan segera meninggal dunia dalam beberapa hari ini, jadi dia menulis surat untuk orang tuanya dan dia menulis alamat lengkap di surat itu, dia meminta anak laki-laki itu pergi ke desa asalnya dan memberikan surat itu kepada orang tuanya setelah ia meninggal dunia. Dia juga menulis sepucuk surat untuk gurunya, jadi ada dua pucuk surat. Setelah Kinh Tam meninggal dunia, anak laki-laki itu melakukan semua tugasnya, dia memberikan surat itu kepada gurunya dan kemudian memohon izin untuk pergi ke desa asal Kinh Tam dan memberikan surat untuk orang tuanya. Setelah membaca surat itu, gurunya sangat terkejut dan meminta dua orang biksuni untuk memeriksa, dan dua orang biksuni itu melaporkan bahwa samanera itu ternyata bukanlah laki-laki, namun seorang perempuan. Semua masyarakat sangat terkejut, sang guru mengirim kabar kepada sesepuh desa, kepala desa sangat terkejut juga. Mereka mengadakan pertemuan dan mengirim delegasi ke wihara untuk melakukan verifikasi. Setelah proses verifikasi, para sesepuh desa mengumumkan fakta sesungguhnya dan kemudian meminta keluarga Mau untuk tanggung jawab.
Keluarga Mau harus membayar denda sangat mahal kepada masyarakat, membiayai seluruh proses upacara kematian di wihara. Kisah ini tercatat jelas dalam puisi bahasa Vietnam, bahkan kita juga punya dua pucuk surat lengkap itu. Kinh Tam memohon orang tuanya untuk memaafkannya, memohon maaf karena tidak memberikan kabar atas keberadaanya, hanya karena ia ingin berlatih dengan sungguh-sungguh sebagai seorang monastik, Kinh Tam mengisahkan bahwa dia tidak hanya berlatih untuk dirinya sendiri saja namun ia berlatih demi seluruh keluarga dan seluruh makhluk, dia berharap semua orang memaklumi dan memaafkannya, kemudian memohon keluarganya untuk menerima anak lelaki itu dan menjadikannya bagian dari keluarga walaupun dia anak yang diadopsi. Orang tua Kinh Tam menangis dan terus menangis, sudah sekian tahun tidak ada kabar apa pun darinya, tiba-tiba pagi itu menerima surat yang memberitakan bahwa ia telah tiada, mereka tidak bisa menahan tangisannya, mereka bergegas berangkat ke Wihara Phap Van, mereka juga memberitahu keluarga mantan suaminya, dan Sung Tin ikut berangkat. Mereka menghabiskan beberap hari untuk tiba di Wihara, mereka melihat umbul-umbul yang bertuliskan nama anaknya, upacara kematian dengan prosesi sangat panjang, seluruh warga masyarakat datang menghadiri upacara itu, mereka sangat tesentuh dan tak bisa menyembunyikan tangisannya.
Apabila engkau berlatih, berlatihlah seperti itu, cara yang sangat sempurna berlatih dengan demikian. Walaupun ketidakadilan jatuh padamu, engkau tetap punya energi untuk berlanjut di jalur itu. Engkau tidak menyalahkan orang lain atas penderitaanmu. Berlatih seperti itu merupakan latihan nyata. Ketika keluarga Kinh Tam tiba, mereka ikut dalam upacara kematian dan diterima sebagai tamu luar biasa oleh wihara dan warga desa, setelah itu seluruh warga masyarakat mengadakan upacara pelimpahan jasa kepada Kihn Tam dan berlatih giai oan. Giai oan berarti “membuka simpul ketidakadilan” dan dikisahkan pada akhir cerita itu bahwa Buddha muncul dan menyatakan bahwa Kinh Tam telah mencapai pencerahan, dan sekarang dia memanifestasikan diri sebagai Avalokiteshvara, namanya Quan Am Thi Kinh. Dia merupakan Avalokiteshvara Vietnam dan hampir semua orang Vietnam tahu kisah ini. Di wihara, bahkan banyak orang menghapal puisi itu dan menjadikan teladan sempurna untuk berlatih kesabaran.
Ada suatu waktu, kita semua merasa menjadi korban dari ketidakadilan, kita begitu menderita, bahkan ketidakadilan yang disebabkan oleh orang yang paling kita cintai, kita ingin menjernihkan ketidakadilan itu, bahkan kita ingin berteriak. Kita ingin berlatih untuk membuka simpul yang telah kita pikul sejak lama di masa lalu. Oleh sebab itu kita selalu siap berbicara dengan orang lain tentang penderitaan dan ketidakadilan yang kita pikul. Mungkin di dalam lubuk hati kita yang paling dalam, kita ingin keadilan hadir dengan berbagai cara, mungkin kita menggunakan cara militer sebagai solusi, kadang kita ingin menggunakan senapan, kadang kita menggunakan kayu pemukul, kadang kita menggunakan angkatan bersenjata. Sebagai sebuah negara, apabila engkau merasa menjadi korban dari ketidakadilan, engkau tergoda untuk menggunakan kekuatan militer sebagai solusinya, namun engkau bukanlah sebuah negara, engkau condong menggunakan cara lain untuk membalas dendam, menggunakan kayu pemukul, membayar orang lain untuk memukul, menggunakan senapan, atau engkau memanipulasi situasi, engkau menggunakan pengaruh politik untuk memperbaiki ketidakadilan yang terjadi padamu.
Namun, berdasarkan ajaran Buddha, engkau hanya bisa meluruskan ketidakadilan dalam dirimu dan menembus ketidakadilan dalam dirimu dengan cara melakukan transformasi ketidakadilan. Caranya adalah dengan berlatih empat pikiran tak terukur, maitri yaitu cinta kasih, karuna yaitu belas kasih, mudita yaitu suka cita, dan upeksha yaitu kesetaraan, dan untuk menumbuhkan empat kualitas ini, engkau perlu berlatih melihat secara mendalam, yaitu tenang (samatha) dan melihat (vipasyana). Engkau mencoba sebaik-baiknya untuk tetap tenang dan terkonsentrasikan. Engkau berupaya untuk melihat secara mendalam sifat asli penderitaan, dan tiba-tiba pengertian bisa hadir dan hatimu mulai membesar. Tiba-tiba engkau merasa ada kekuatan untuk memikul ketidakadilan, engkau bisa tetap bertahan hidup, engkau bisa hidup bersama ketidakadilan, dan engkau bisa mentransformasi ketidakadilan.
Buddha bersabda bahwa apabila engkau terpanah oleh sebuah panah, maka engkau menderita, namun apabila panah kedua ke titik yang sama, maka engkau tidak hanya menderita dua kali lipat, tapi bisa jadi tiga puluh kali lipat lebih sakit. Ketika engkau menderita dan engkau akan marah, penderitaanmu tidak hanya berlipat ganda, tapi bisa berlipat tiga puluh kali lebih besar. Engkau memperbesar penderitaanmu melalui ketidaktahuan, kemarahan, frustasi, dan kebencianmu. Mengapa engkau begitu menderita? Mengapa engkau rela menerima panah kedua? Ketika panah pertama, apabila engkau punya latihan dan pengertian, engkau tidak akan begitu menderita dan engkau bisa mencabut panah itu dengan cepat, namun ketidaktahuan, kurang latihan, kita menjadi marah, benci, putus asa menguasai kita, oleh karena itulah penderitaan sungguh tak bisa ditahan. Ajaran Buddha ini tercatat dalam Samyutta Nikaya (Samyutta Nikaya: 4: 210) tentang panah pertama dan kedua, panah kedua adalah ketidaktahuan.
Pada hari sebelumnya kita menggunakan perumpamaan seorang anak kecil yang merobek kupu-kupu, anak kecil itu tidak tahu bahwa dia sedang menyebabkan begitu banyak ketidakadilan dan penderitaan pada kupu-kupu itu. Anak kecil itu hanya ingin bermain-main, dia tidak tahu bahwa merobek kupu-kupu akan menyebabkan derita besar bagi serangga itu. Anak kecil itu berbuat demikian karena ketidaktahuannya, ketika kita memberitahu kepada anak kecil itu, “Sayangku, tahukah kamu kalau kupu-kupu kecil ini tidak bisa pulang bertemu orang tuanya? Bagaimana kalau kamu tidak bisa pulang ke rumah bertemu orang tuamu malam ini? Orang tuamu akan sangat kuatir.” Apabila engkau memberitahu anak kecil dengan cara demikian, maka lain kali mereka tidak akan merobek serangga lagi dengan kedua tangganya. Anak kecil akan bisa melindungi kehidupan. “Tuhan, maafkanlah mereka karena mereka tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan.” Manusia menyebabkan manusia lain menerita, mereka tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan, mereka melakukan itu atas dasar kemarahan dan kebencian, mereka tidak punya kebahagiaan dalam dirinya, mereka terbungkus oleh ketidaktahuan, kebencian, kemarahan, oleh karena itu mereka membuat orang disekelilingnya menderita. Kita juga bisa melakukan hal demikian namun kita tidak sadar.
[Gong]
Hal demikain terjadi dari waktu ke waktu, di setiap tempat, seseorang akan menggunakan senapan untuk membunuh orang di pasar, di sekolah tinggi, tiba-tiba muncul seorang anak yang membawa senapan, kemudian membunuh tiga, empat, lima siswa tak ada alasan jelas. Anak perempuan, anak laki-laki berangkat ke sekolah seperti biasa dan pagi itu anakmu terbunuh oleh orang tidak waras itu. Ini satu bentuk ketidakadilan dan engkau akan menyimpan kebencian besar terhadap orang tidak waras itu, jika engkau melihat secara mendalam ke orang itu, sesungguhnya orang itu penuh dengan ketidawarasan, ketidaktahuan, kebencian akibat dari penyakit kejiwaan. Ketika seorang pria memegang senapan menembak orang membabi buta, tentu saja ada alasannya, orang seperti itu tentu saja bisa ditemukan di dunia ini, bagaimana mungkin mereka menjadi seperti itu? Bagaimana keadaan keluarganya, bagaimana masyarakat sekitarnya? Bagaimana pendidikannya? Apakah ada orang yang merawatnya? Tentu saja kita akan berupaya keras untuk menghentikan tindakan dia membunuh orang lain, kita terdorong untuk segera bertindak agar dia tidak bisa terus melukai orang lain, bahkan terpaksa harus mengunci dia di sel penjara, kita harus melakukannya, namun kita perlu melakukannya dengan penuh pengertian dan belas kasih. Kita tidak melakukannya dengan penuh kemarahan atau kebencian, kita melakukan itu bukan atas dasar niat menghukum orang itu, namun karena orang itu sangat menderita.
Terjemahan bebas oleh Nyanabhadra
Sumber:
Transcending Injustice
http://www.abudhistlibrary.com
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.