Memiringkan Supaya Kelihatan Rata

Retret Remaja @PondokSadhanaAmitayus

Plum Village Thailand, pusat latihan kewawasan (mindfulness) internasional. Lokasinya di Pak Chong, Provinsi Nakornratchasima, Thailand. Di sana ada sekitar 100an monastik. Ada novis (sramanera) dan juga biksu. Dalam monastik, kami semua bersaudara dalam ikatan keluarga spiritual. Ada banyak adik-adik muda secara usia fisik juga usia Dharma.

Ada seorang adik monastik. Dia sangat rapi. Setiap kali saya masuk ke kamarnya, rasanya nyaman, karena segala sesuatu tertata rapi. Ada lagi satu novis. Dia termasuk agak urak-urakan, alias berantakan. Walaupun berantakan dia sering diingatkan agar rajin merapikan barang-barangnya.

Jubah Monastik

Berpakaian juga demikian. Seorang monastik wajib mengenakan jubahnya dengan rapi. Bicara rapi ini biasanya berdasarkan standar komunitas. Ambil contoh, komunitas tradisi Mahayana Tiongkok. Salah satu bentuk kerapian adalah mengikat celana bagian bawah. Komunitas Plum Village tidak menganut kerapian seperti itu, walaupun sama-sama tradisi Mahayana.

Di komunitas Plum Village Thailand, ada seorang biksu muda. Dia orang Thailand ditahbiskan dalam tradisi Theravada, fasih berbahasa Vietnam. Cuman kalau pakai jubah agak seleboran, sudah sering diingatkan untuk lebih rapi. Dia juga sudah berusaha. Hasilnya, sudah lebih baik.

Jubah monastik memiliki ciri khasnya. Contoh, jubah monastik Theravada menggunakan sarung, sedangkan Mahayana pada umumnya pakai celana dan atasan yang berlengan. Menurut kisah historis, itu berasal dari pakaian para petani. Jadi, tradisi Mahayana sudah tidak pakai sarung lagi.

Sarung Retret

Bicara sarung. Di Indonesia, kalau ada retret hidup berkewawasan (RHB) maka peserta diwajibkan memakai sarung. Mengapa sarung? Karena sarung merupakan salah satu elemen penting dalam budaya Indonesia. Demikian pula kaitannya dengan petapa di India kuno.

Sebelum mulai retret, biasanya ada pengumuman dan pembagian sarung. Kadang juga ada sesi khusus untuk mengajarkan bagaimana cara mengenakan sarung. Anak-anak remaja paling seru, maklum mereka banyak yang belum pernah memakai sarung. Jadi pas retret, itu adalah kali pertamanya.

Saya mengajarkan kalau pakai sarung wajib dikalungkan lewat kepala, jangan dari bawah. Jika sarungnya terlalu panjang, maka lipat bagian atas agar sesuai dengan tinggi badan. Hal penting dalam memakai sarung adalah bagian bawahnya harus rata di batas mata kaki.

Bagaimana biar rata? Bagian atasnya sarung harus dimiringkan kemudian baru digulung. Sebelum menggulung, anak-anak diminta untuk tarik napas lalu tahan, kempeskan perutnya. Lalu, mereka menggulung sampai sekitar pinggang. Kemudian melepaskan napas, maka perutnya normal kembali, ini akan membuat sarung terasa ketat.

Dimiringkan

Ada hal yang menarik. Demi bagian sarung bagian bawah terlihat rata dan rapi, maka terpaksa mengorbankan bagian atas. Toh, bagian atas tidak rata kan tidak apa-apa, karena digulung, jadi tidak kelihatan tidak rata.

Miring dan rata ternyata saling membutuhkan, dan mereka terjadi bersamaan. Memiringkan bagian atas agar sarung bagian bawah terlihat rata. Rasanya, banyak fenomena dunia juga demikian, ada hal yang memang perlu dimiringkan, dan ada juga yang perlu diratakan.

Urusan kerapian sarung memang ada kaitannya dengan mata. Jika bagian bawah sarungnya terlihat rata, maka itu memberikan kesan rapi. Bagaimana pula rasanya jika ada yang memakai sarung berantakan?

Lalu, apa yang terjadi apabila kita memilih untuk meratakan bagian atas? Nah, saya sudah pernah mencoba. Ternyata bagian bawah menjadi miring dan tidak rapi. Tidak percaya? Silakan coba sendiri yah, Agama Buddha kan menganut prinsip datang, lihat, dengar, dan coba buktikan sendiri.

Seragam Ninja

Anak-anak remaja kalau sudah berkumpul, ada saja ide konyol. Pernah sekali, ada retret remaja di Pondok Sadhana Amitayus. Mereka malas pakai sarung. Ketika sarungnya melorot, mereka malas membereskannya. Alih-alih, mereka mengalungkan sarungnya di leher, bak orang ronda malam gitu, tahu kan?

Ada lagi satu kejadian. Saking tidak ada kerjaannya, mereka pakai sarung untuk menutup kepala lalu dibuat seperti seragam ninja gitu. Kezel deh melihat kelakuan mereka, tapi apa boleh buat, namanya juga remaja. Celakanya, mereka minta saya foto bareng mereka!

Jujur, tingkat kesabaran saya semakin meningkat karena remaja-remaja “bandel” itu. Catat, bahwa mereka itu tidak jahat, hanya energinya berlebihan, jadi ada saja hal aneh-aneh yang mereka lakukan. Tugas saya adalah membimbing dan mengarahkan mereka, itu saja.

Awalnya saya bisa ikut mereka “miring”, sambil berpose kamehameha atau kage bunshin no jutsu. Setelah selesai berfoto, saya suruh mereka buka sarungnya dan pakai yang rapi. Saya bilang, “Ini sarung buat bagian bawah, bukan kepala”. Mereka ketawa-ketawa dan nurut, setelah “miring” saatnya kembali “rata”.

Memiringkan Meratakan

Urusan miring dan rata, jangan dipertentangkan. Jangan mencoba untuk memiringkan semua urusan, dan juga jangan meratakan semua hal. Ketika mengenakan sarung, maka relakan bagian atas miring dan setelah digulung maka bagian bawah terlihat rata.

Lihatlah baik-baik, bagian mana yang perlu dimiringkan, dan bagian mana yang perlu diratakan. Semuanya ada tempatnya dan waktunya. Kadang memang harus memiringkan bagian sini agar bagian sana rata, dan meratakan bagian sini agar bagian sana miring.

Jadi, miring atau rata, seharusnya tidak terlalu masalah. Jangan terlalu melekat juga, namun bisa disesuaikan kebutuhan. Selamat memiringkan dan meratakan. Jangan lupa menikmati hidupmu dengan senyum!

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.