OR: Operator Radar
OM: Operator Misil
OR: Ada pesawat mata-mata musuh di koordinat 47°51′24″N 39°13′6″E
Komandan: Segera posisikan misil BUK-M1!
OM: Misil sudah siap!
Komandan: Tembak!
OR: Laksanakan!
5 menit kemudian……
OR: Laporan, ternyata pesawat yang terdeteksi pada koordinat itu adalah pesawat sipil Malaysian Airlines, mohon segera batalkan peluncuran misil!
OM: Maaf sudah terlambat, misil sudah meluncur!
Komandan: Celaka!
Percakapan di atas hanyalah dialog fiktif karangan saya semata, tentu saja tidak menggambarkan kenyataan di lapangan. Kita tidak bisa memungkiri bahwa keadaan seperti itu bisa saja terjadi, apalagi saat suasana kalut dan sebagian besar orang dihinggapi rasa takut serta curiga. Daripada ditembak oleh musuh, maka lebih baik bergerak cepat dan menghancurkan musuh terlebih dahulu.
Malam jumat saya mendengar berita bahwa pesawat MH17 jatuh ditembak misil di wilayah udara dekat Donetsk, wilayah yang dikuasai pemberontak di Ukraina. Hati terasa pilu setelah mengetahui sebanyak 298 orang tewas dalam insiden itu.
Saya tidak yakin di dunia ini ada yang tega menembak pesawat sipil. Saya yakin ada kesalahpahaman atau reaksi yang terlalu cepat; menekan tombol peluncuran misil sebelum investigasi lebih jauh. Manusia punya potensi seperti itu, yaitu terlalu cepat menyimpulkan tanpa memeriksa ulang.
Kita bisa memaklumi bahwa suasana di Ukraina memang sangat mencekam saat ini akibat perang. Banyak orang kehilangan pikiran jernih ketika terseret dalam suasana itu. Kondisi demikian yang menyebabkan banyak orang kalut, termasuk komandan dan para operator. Seketika mendapat informasi bahwa ada pesawat mata-mata, maka mereka langsung mengarahkan misil untuk menembak. Daripada diserang oleh musuh, maka lebih baik menghancurkan musuh terlebih dahulu, padahal yang terdeteksi belum tentu musuh!
Saya sedang membayangkan, begitu kuatnya rasa takut yang menyergap mereka. Naluri untuk melindungi diri sedemikian besar sehingga muncul persepsi jangan sampai diserang musuh terlebih dahulu, oleh karena itu Ukraina harus menyerang terlebih dahulu. Pertanyaan di benak saya hanyalah ini, “Mengapa harus perang?”
Saya kagum dengan Buddha Gotama, beliau dengan jelas menolak segala bentuk perang. Beliau juga pernah berupaya untuk mencegah perang antara Kerajaan Kosala dengan Kerajaan Sakya. Tak ada ruang untuk perang dalam ajaran Buddha, apalagi harus mati dengan dalil mempertahankan agama, doktrin, ataupun ajaran.
Buddha bersabda bahwa kebencian tidak akan berakhir jika dibalas dengan kebencian, namun kebencian akan berakhir apabila dibalas dengan cinta kasih. Seandainya negara yang sedang bertikai bersedia untuk saling mendinginkan kepala kemudian mufakat demi menghindari perang, maka insiden MH17 juga tidak perlu terjadi.
Kita semua setuju bahwa semua penumpang, pilot, dan awak pesawat adalah korban perang, namun saya juga melihat bahwa para komandan dan operator penembakan juga merupakan korban perang dan persepsi keliru.
Saya sedang membayangkan apabila para komandan dan operator mempraktikkan meditasi, menarik napas masuk dan keluar untuk menenangkan pikiran dan badan jasmani selama beberapa menit sebelum meluncurkan misil, maka ada harapan bagi 298 selamat dari lubang jarum kematian.
Dialog fiktif di awal akan berubah menjadi seperti berikut ini:
OR: Operator Radar
OM: Operator Misil
OR: Ada pesawat mata-mata musuh di koordinat 47°51′24″N 39°13′6″E
Komandan: Segera posisikan misil!
OM: Misil sudah siap!
Komandan: Mohon konfirmasi ulang, apakah memang benar pesawat mata-mata musuh di koordinat tersebut?
5 menit kemudian……
OR: Laporan, ternyata pesawat yang terdeteksi pada koordinat itu adalah pesawat sipil Malaysian Airlines, mohon segera batalkan peluncuran misil!
Komandan: Batalkan peluncuran!
OR: Laksanakan!
Komandan: (dalam hati) Syukur saya konfirmasi ulang.
Jika semakin banyak orang menerapkan teknik Am I sure? Are you sure? tampaknya kita bisa menghindari insiden yang memang seharusnya tidak perlu terjadi. Saya bukan terlalu menyederhanakan atau meng-over-simplikasi masalah, namun pertanyaan sederhana itu justru memainkan peran besar dalam berbagai aspek kehidupan, hingga menyangkut hajat hidup orang banyak dan bahkan nyawa manusia.
Seandainya saja ada semakin banyak orang, terutama pihak bertikai, yang mau berdamai dan duduk bersama menyelesaikan perselisihan, maka tragedi akibat ulah manusia tentu dapat berkurang. Kita semua ikut memainkan peran itu, tidak hanya pihak bertikai saja.
Bukan saja para warga penumpang, pilot, dan awak pesawat MH17 yang menjadi korban, ternyata para komandan dan operator pun juga korban.
Demikian pula para sahabat di Palestina dan Israel, perselisihan turun-temurun yang sudah sangat kompleks, perselisihan yang tak kunjung selesai. Setiap kali mendengar pengeboman dan penyerangan, hati saya seperti tersayat.
Saya yakin perselisihan selalu bisa diselesaikan dengan damai tanpa harus menggunakan senjata. Saya tidak begitu yakin bahwa ada perdamaian di balik senjata! Saya yakin bahwa Palestina dan Israel akan bisa damai nantinya, walaupun harus memakan waktu panjang. Mohon ingatlah sudah banyak korban dari generasi ke generasi, inikah yang akan kita wariskan kepada generasi-generasi yang akan datang?
Kemelut warga palestina dan Israel merupakan sejarah panjang. Bukan hanya Palestina saja yang menderita, tetapi Israel juga sama menderitanya akibat kemelut ini. Dan ternyata saya yang tidak terlibat dalam konflik partisan serta berada di luar Palestina dan Israel juga menderita akibat perseteruan ini.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
Baru saja saya menonton film Dracula Untold, kemudian membaca artikel ini, ketika sampai pada kalimat ini “Buddha bersabda bahwa kebencian tidak akan berakhir jika dibalas dengan kebencian, namun kebencian akan berakhir apabila dibalas dengan cinta kasih”, dan aha.. pola dr kebanyakan film adalah kebencian dibalas oleh kebencian, dan akhirnya lingkaran kebencian itu tidak pernah putus. Kalimat itu jg mengingatkan saya dengan salah satu novel yang diangkat dr sejarah China, yaitu Three Kingdoms, dimana mostly isinya adalah pembalasan dendam yg tiada habisnya akibat perebutan kekuasaan. Ya itu memang hanyalah film dan hanyalah novel. Namun ini mengingatkan saya untuk tetap berkesadaran ketika sedang menonton ataupun membaca agar tidak meniru hal-hal tidak baik yang ada dlm film atau buku yang bersangkutan. Untuk extreme -nya, tidak perlu membaca buku/menonton film yang tidak menambah kemajuan batin 🙂