Saya mendarat di Bandara Don Mueang tengah malam, ternyata bandara ramai, seolah-olah tidak ada “matinya” apalagi bandara internasional. Saya kembali ke kampus, hanya butuh waktu sekitar 30 menit naik taksi. Tiba di asrama sudah pukul 00.48 dini hari. Melihat matras dan bantal sudah bahagia, karena akhirnya bisa merebahkan badan untuk tidur.
Pagi-pagi saya sudah bangun, maklum memenuhi panggilan alam. Ini adalah kebahagiaan, walaupun perut kriuk-kriuk di pagi hari. Perut saya sudah disiplin dan saya juga sudah tahu. Setelah memenuhi panggilan alam, saya sudah segar dan beberes sana-sini. Hari ini harus menempuh perjalanan sekitar 7 jam dari Ayutthaya ke Phetchabun.
Program kampus ini setahun sekali, meditasi 15 hari. Sayangnya saya hanya bisa ikut seminggu saja, lalu harus minta izin pulang karena harus membimbing retret untuk Mahasiswa UPH di Pondok Sadhana Amitayus, Cipayung. Saya tidak tega membatalkan retret itu karena sudah jauh-jauh hari mereka mem-“booked” saya.
Barisan belakang
Saya bergegas ke kampus dan masuk ke bus. Ternyata sudah penuh. Para bhante-bhante tradisi Therawada juga sudah menempati kursi di depan, dan ada mahasiswa lain yang sudah menempati sisa tempat duduk.
Di belakang masih ada tempat kosong, jadi saya memilih duduk di belakang saja. Ada seorang ibu paruh baya, mahasiswa Ph.D mau memberikan tempat duduknya kepada saya. Namun saya menolak dengan halus, karena saya masih “muda” (serius muda loh…..).
Sungguh tidak tega saya menerima tawaran itu. Jadi, saya terus berjalan ke barisan paling belakang dan duduk. Orang Thailand memang hebat urusan demikian, mereka selalu memberikan yang terbaik untuk monastik.
Deretan paling belakang ada 5 kursi, dan saya kebagian yang paling pojok. Sebelah kiri saya ada 4 orang, 2 biksuni, dan 2 umat awam. Di Thailand memang agak risih jika ada biksu yang duduk di sebelah wanita, kalau ini menjadi dobel risih karena di sebelah saya seorang biksuni. Sebetulnya yang risih tuh orang lain, saya sih santai saja.
Dua orang biksuni disebelah saya orang Vietnam. Jadi kita ngobrol singkat, tentu saja pakai bahasa Vietnam. Mereka kaget kok bahasa Vietnam saya lancar jaya, tidak terdengar ada logat orang Indonesia. Jika saya tidak memberitahu mereka, barangkali mereka mengira saya orang Vietnam.
Berapa lama
Saya bukan orang yang sanggup berbicara terlalu lama. Dharma Talk juga tidak sanggup berpanjang ria, satu jam tampaknya standar, satu jam seperempat masih ok dan maksimal satu setengah jam. Lagipula zaman sekarang tidak banyak yang sanggup duduk berlama-lamaan mendengarkan Dharma Talk apalagi nadanya datar, dan tidak ada jokes.
Saya berhenti berbicara dengan dua biksuni itu. Mereka asyik lanjut berbicara, maklum sesama biksuni, banyak bahan obrolannya. Bahan pembicaraan juga ringan kok, saya tidak nguping loh, karena kebetulan saya duduk di sebelah mereka dan paham bahasa Vietnam.
Biar mereka merasa lebih nyaman, saya pura-pura merem saja. Tapi memang lagi diserang kantuk sih, jadi yah menyelam sambil minum air-lah. Berharap bisa tidur sebentar untuk memulihkan energi, apalagi mengingat perjalanan ini sangat panjang (g-nya 10).
Sambil merem masih bisa mendengar obrolan mereka, mencoba untuk mengabaikan. Sempat tertidur sebentar, tapi terbangun berkali-kali. Pembicaraan mereka tambah seru dan semakin seru. Rencana tidur kurang sukses, tapi maklumlah, mereka mungkin hopeng atau memang banyak bahan pembicaraannya.
Telinga saya terus mencerap pembicaraan mereka. Berharap mulut mereka pegel (#teganya) agar bisa berhenti sebentar, ternyata harapan saya pupus. NMNK (Napas Masuk Napas Keluar) beberapa kali, saya sambil senyum, katakan pada diri sendiri, “Demikianlah kalau biksuni bertemu biksuni, bahan obrolannya banyak”.
Tanya google
Akhirnya saya bangun, tarik HP dan buka google. Saya tanya kepada google, mengapa biksuni wanita berbicara lebih banyak daripada biksu pria? Saya baca beberapa artikel, menarik juga. Disebutkan bahwa rata-rata wanita sanggup berbicara 20 ribu kata sehari, sedangkan pria hanya 7 ribu. Wah, sepertiganya. Tapi mohon jangan langsung percaya mentah-mentah.
Saya menemukan beberapa sumber menyebutkan kadar protein Foxp2 (Forkhead box protein P2) dalam otak wanita lebih banyak. Protein ini berkaitan sangat erat dengan linguistik, jadi tak heran wanita menjadi juara urusan berbicara. Ini hasil penelitian loh, bukan generalisasi.
Anak perempuan berusia 3 s.d. 5 tahun memiliki kadar Foxp2 sekitar 30% lebih banyak daripada anak pria yang berusia sama. Tak heran jika anak perempuan belajar berbicara lebih awal dan cepat daripada anak pria.
Akhirnya saya sedikit mengerti, sedikit loh, karena dunia ini kan banyak misterinya. Namun, saya juga pernah bertemu dengan biksuni pendiam kok, dan biksu yang hobi ngobrol panjang lebar. Jadi, para pria biksu perlu bersabar ketika berhadapan dengan wanita biksuni, ini nasihat buat saya sendiri loh. Jika sudah mengerti, maka tidak terlalu terganggu lagi.
Kadang memang ada wanita yang terus berbicara, berbicara, dan berbicara, ingatlah bahwa dia sedang menghabiskan 20 ribu kosa katanya. Jika sudah habis, maka kita aman. Jadi para pria mohon berlatih sabar mendengarkan yah. Semoga harmonis dan bahagia untuk semua.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.