Itu Saja Belum Bisa Meredakan Gejolak Hati

Foto bersama panitia

Di saat ini dan di sini. Saya sedang diterbangkan oleh Garuda menuju Jakarta. Ditemani seruling Gus Teja yang sedang menyirami benih kedamaian di hati. Musik tampaknya sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Sejak telinga manusia berfungsi ketika di dalam rahim ibu, dari situlah bermulanya semua jenis suara juga musik.

Pertanyaan
Retret anak sekolah barusan berakhir. Ada sekitar 50an anak sekolah Tri Ratna Sibolga yang ikut dalam kegiatan ini. Pada sesi Dharma Sharing, saya melemparkan pertanyaan kepada mereka. “Apa yang adik-adik ketahui tentang Agama Buddha?” Coba tebak apa jawaban mereka?

Mereka selalu menjawab seputar, Siddharta adalah pangeran. Lahir di Taman Lumbini. Ibundanya bernama Dewi Mahamaya yang meninggal dunia setelah 7 hari melahirkan. Kusirnya bernama Channa. Nama kudanya Khantaka.

Lanjut lagi. Istrinya bernama Yasodhara. Anaknya bernama Rahula. Siddharta bertapa di hutan untuk menemukan “obat” penderitaan. Tujuan akhir dari umat Buddha adalah Nirwana. Anak-anak cukup seragam dalam menjawabnya.

Merasa Sedih
Saya merasa bersyukur mereka masih ingat detail-detail sejarahnya. Tampaknya memang itulah yang membekas di hati mereka. Di sisi lain, saya juga merasa sedih, karena tidak ada yang menceritakan tentang cinta kasih dan welas asih.

Mereka juga sama sekali tidak menyebut meditasi atau mawas diri. Saya merenung kembali, apa yang terjadi dengan kurikulum kita? Apa yang terjadi dengan guru Agama Buddha? Apa yang terjadi dengan siswa-siswi buddhis?

Kejadian ini tentu tidak cukup hanya dilihat secara linear, namun respon anak-anak cukup membuktikan satu sisi kenyataan lapangan. Mengetahui informasi sejarah Agama Buddha tentu saja bagus, namun informasi itu saja belum bisa meredakan gejolak hati.

Meditasi Terapan
Saya merasa, anak-anak muda perlu mendapat bekal berupa cara-cara efektif untuk menangani luapan emosi-emosi negatif seperti galau, stress, frustasi, pembangkang, dan sejenisnya. Itulah pentingnya menggunakan pendekatan baru dalam mengajarkan meditasi, terutama meditasi terapan.

Saya juga melihat betapa anak-anak berada dalam kondisi “low respond”. Bukan “slow” tapi “low”. Saya mencoba melontarkan pertanyaan, “Sudah berapa lama Anda belajar Agama Buddha?” Mereka membeku. Mereka hanya menatap saya dengan penuh kebingungan,

Saya ganti pertanyaannya menjadi, “Berapa tahun Anda sekolah di SMP?” Kembali lagi terpancar kebinggungan dari matanya. Mereka membisu seribu bahasa. Setelah saya ulang beberapa kali barulah mereka jawab, “3 tahun”. Mereka tampaknya ragu-ragu menjawab.

Orientasi Retret

Bhante Menakutkan
Keesokan harinya, seorang panitia sekaligus guru sekolah berbisik kepada saya, “Bhante, Mereka takut pada bhante”. Wah ternyata saya menakutkan, ha ha ha.

“Menakutkan” yang dimaksud bukanlah berarti saya itu monster loh. Anak-anak jarang bertemu dengan bhante, maka ada rasa sungkan berinteraksi. Dalam benak mereka, bhante itu adalah seseorang yang berada tinggi di atas awan, tidak terjangkau sama sekali.

Saya memang menggunakan teknik interaktif dalam menyajikan praktik meditasi. Saya ingin menumbuhkan benih-benih kreativitas mereka. Saya butuh upaya ekstra. Bahkan humor saya yang seharusnya bikin ngakak justru terasa recehan alias garing. Akhirnya saya ketawa sendirian, sementara mereka masih kebinggungan.

Berlatih Hening
Saya melihat ada perbedaan signifikan ketika mereka berada di baktisala dan kamar tidur. Kebetulan kuti tempat saya tidur ada di seberang. Ketika anak-anak kembali ke kamar, mereka berlari-lari, saling melempar bantal, ribut seperti pasar.

Ada beberapa kali saya diam-diam menghampiri kamar mereka. Saya menyundulkan kepala ke dalam dan melihat tingkah laku mereka. Bayangkan apa yang terjadi? Mereka terus asyik lempar-lemparan, ketika ada satu anak melihat saya, mereka langsung teriak, “Woi bhante woi…ada bhante”.

Mereka takut bukan kepalang, langsung pura-pura duduk diam. Saya hanya tersenyum dan melambaikan tangan dadah kepada mereka. Ketika saya beranjak, mereka mulai bikin keributan lagi. Saya hanya menarik napas panjang saja.

Saya berulang kali mengulang pesan sponsor, “Anak-anak mohon jangan bikin keributan di dalam kamar”. Namun, anak-anak tetaplah anak-anak. Bocah berusia 13-15 tahun tentu saja sulit didiamkan. Saya masih harus rutin mengintip mereka dari balik pintu agar mereka sedikit lebih jinak.

Malam hari adalah praktik noble silent. Tampaknya ini latihan tersulit. Sampai hari terakhir pun mereka tetap asyik ribut. Mengajarkan keheningan kepada anak-anak itu memang tantangan sangat besar. Ironisnya, ketika diminta untuk sharing, malahan mereka diam.

Ada satu kali saya harus menggedor-gedor jendela kaca. Barulah mereka terdiam total. Ada saatnya memang harus lebih tegas. Tampaknya anak-anak sudah terbiasa dengan keributan. Ketika diminta untuk latihan hening, mereka tidak bisa!

Tiada Tamatnya
Hari terakhir retret, mereka mengekspresikan syukur atas latihan ini. Saya berharap latihan ini memberikan bekas mendalam di hatinya. Saya mendorong mereka untuk menerapkan meditasi napas, meditasi makan, meditasi berbaring, dan berjalan di saat-saat yang memungkinkan. Meditasi terapan seperti ini bisa lakukan di mana saja termasuk di sekolah.

Retret lanjutan tentu saja perlu diadakan. Sekolah ada masanya tamat, tapi retret tiada tamatnya. Selamat untuk meneruskan latihan meditasi terapan.

Foto bersama @RetretSibolga

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.