Masih terbayang jelas dalam pikiran saya pada pertengahan tahun 1997, saya duduk di dalam bus antar propinsi, menyaksikan berbagai pemandangan indah yang terpapar di depan mata sepanjang perjalanan dari Sumatra menyeberang pulau menuju Jawa. Pertama kali meninggalkan kampung halaman, dari Kepulauan Riau menuju Bandung. Hampir tidak pernah terbayang bahwa saya akan mengembara sejauh ini. Bandung yang dijuluki Kota Kembang dan juga Paris Van Java, semua petualangan sudah siap menanti!
Pertama kali menginjakkan kaki di Bandung membawa haru deru, tempat yang sama sekali asing. Semangat untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi negeri ternama merupakan destinasi.
Pengalaman pertama indekos sangat menyenangkan, semua harus serba sendiri. Syukur sejak kecil saya cukup mandiri karena ditinggal kedua orang tua sejak usia dini. Hidup indekos memang bisa membawa banyak penyadaran dan kemandirian.
Sejenak saya kilas balik, perjalanan hidup itu mengandung berbagai rasa kehidupan, ada rasa manis, asam, asin dan juga pahit, namun semua rasa kehidupan itu seperti permata bersinar terang yang membuat hidup lebih bermakna, karena rasa kehidupan itulah yang menerangi jalan hidup ini.
Pilihan akhirnya jatuh pada FMIPA Universitas Padjadjaran. Akhirnya menyandang titel mahasiswa, bagi kami yang dari pulau kecil, barangkali ini bisa menjadi kebanggaan tersendiri. Mengecap jenis pendidikan yang berbeda dengan sekolah-sekolah terdahulu. Mahasiswa tentu bukan sekedar “maha” yang berarti besar, tapi siswa yang bisa lebih mandiri dan dewasa, siswa yang tidak perlu selalu di spoonfeeding melulu.
Kebersamaan
Saya tidak ingat persis bagaimana bisa tiba di sebuah wihara yang terletak tepat di tengah-tengah kota, Wihara Vimala Dharma, wihara yang berada di tengah hiruk-pikuk kesibukan kota, justru di tengah-tengah keramaian kota ada satu pojok yang menawarkan keheningan dan kedamaian, itulah wihara. Mendapatkan diri tiba-tiba berada di tengah-tengah anak muda yang berasal dari berbagai universitas dan institut, ternyata banyak diantara mereka juga perantau.
Pengembaraan spiritual pun berlanjut. Dulu saya senang membaca buku-buku buddhis, merasa ada sebuah kedekatan atau barangkali boleh disebut saya klop dengan ajaran Buddha. Sejak itu saya tidak pernah berhenti membaca, mencari tahu, mendengar, belajar dan mencoba menerapkannya, inilah yang membuat pengembaraan spiritual berlanjut.
Kecintaan saya terhadap ajaran Buddha bermula dari membaca kisah klasik pengembaraan Siddharta untuk mengerti lebih dalam tentang makna hidup. Sekilas tampak seperti orang “bodoh” dan “egois” karena dia meninggalkan kemewahan istana, kerajaan, kekayaan, kenikmatan sensual, dan ketenaran, namun tampaknya ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekedar kabur dari istana. Ternyata dari kecil saya juga sudah punya rasa ingin tahu yang juga besar.
Saya masih ingat waktu tahun 1997 ketika pertama kali berkunjung ke Wihara Vimala Dharma, perasaan pertama yang lahir adalah hangat dan bersahabat. Berharap bertemu dengan bhante, tapi tipis kesempatan untuk itu. Walaupun belum bertemu bhante, saya tetap bersemangat untuk ikut kegiatan-kegiatan di sana seperti kebaktian, acara kunjungan, baca buku di perpustakaan, dan menikmati berteman dengan banyak orang.
Waktu itu saya tidak sadar perasaan apa itu, namun saya merasa nyaman di wihara, bertemu teman-teman yang punya frekuensi yang rada mirip, belajar dan bermain bersama, rasanya seperti menemukan sebuah keluarga baru. Saya merindukan keluarga, saya ingin selalu berkumpul bersama-sama teman, karena saya tidak ingin sendirian. Kebersamaan inilah yang membuat hidup menjadi lebih indah.
Manfaat Membaca
Saya termasuk pengunjung setia perpustakaan di wihara, setiap selesai kebaktian saya pasti nongkrong di sana. Saya mulai melahap satu per satu buku-buku yang ada di sana, awalnya saya hanya baca buku-buku buddhis, dari yang berbahasa Indonesia dan pelan-pelan merambah ke yang berbahasa Inggris. Namun ada kalanya saya juga merasa butek, alih-alih saya mulai berganti haluan ke komik, ternyata tidak kalah asyik juga dibandingkan dengan buku Dharma.
Saking sering nongkrong di perpustakaan, akhirnya saya malah direkrut menjadi staff perpustakaan, karena ada beberapa staff senior perpustakaan juga berasal dari satu daerah dengan saya, sungguh keajaiban bertemu dengan teman dari satu pulau. Menjadi staff perpustakaan juga membuka lebar akses ke buku-buku kuno koleksi perpustakaan, kecintaan membaca tidak pernah surut hingga detik ini.
Aktif di wihara sangat besar manfaatnya, setidaknya saya bergaul dengan mereka yang spiritualis, membawa ke arah yang lebih bajik dan bijak. Saya jadi punya kesempatan untuk bertemu dengan para bhante yang kebetulan berkunjung ke wihara walaupun kunjungan singkat, ini juga menjadi kesempatan bagi saya untuk berdiskusi dengan para bhante.
Wihara seperti rumah kedua, rumah pertama yah kos saya. Kadang-kadang saya malah tidur di kantor muda-mudi kalau besoknya kebetulan jadwal kuliah siang. Kalau demikian biasanya saya pulang ke kos hanya untuk mandi, gosok gigi, dan ganti pakaian terus pergi kuliah, setelah pulang kuliah mampir ke wihara lagi, tiada hari tanpa wihara, seperti masak tanpa garam, rasanya tawar kalau tidak ke wihara.
Sandal Jepit
Selama aktif di wihara, saya pernah bertemu dengan seorang Bhante bernama Dharmavajra, beliau akrab di sapa Bhante Cakra, atau Lhama Cakra. Teringat waktu pertama kali menyambut beliau di wihara, tampaknya biasa-biasa saja kecuali seragam merah marun dan jubah bagian atas berwarna kuning terang yang agak silau di mata. Ketika saya melihat ke bawah, oh bhante hanya pakai sandal jepit yang kelihatannya juga sudah mulai menipis. Dalam hati saya bilang, “keren juga nih bhante, ga neko-neko”, Tahu kenapa? Serius saya tidak tahu, saya kira memang bhante suka pakai sandal jepit.
Teringat Bhante Cakra suka cerita tentang orang yang kerasukan, beliau bilang ada orang yang mengaku punya kemampuan untuk mengundang Dewa Guan Gong untuk merasuki badannya, dengan gaya yang lucu bhante bilang, “Syukur kalo yang datang Guan Gong, kalau yang datang kudanya, gimana hayo?”
Dewa Guan Gong cukup terkenal di Indonesia, Guan Gong merupakan salah satu jenderal heroik terkemuka di masa perang di Tiongkok, berperawakan besar dan berjenggot panjang, beliau selalu dipotret dalam wujud sedang berkuda, memang zaman dahulu saat berperang banyak menggunakan sarana kuda. Anda yang senang membaca sejarah barangkali akan tahu lewat kisah Sam Kok (Tiga Negara).
Muda-mudi sangat senang mendengar ceramah dari beliau, apa pun yang beliau sampaikan selalu menyegarkan hati dan menarik, walaupun kadang-kadang saya dengar berulang-ulang hal yang sama, tetap saja begitu fresh.
Jejak Inspirasi
Banyak hal yang Bhante Cakra sampaikan sangatlah membekas dalam hati saya, kadang saya hanya berkilas balik saja, kata-katanya masih terngiang di telinga, ini saja sudah bisa membuat saya senyum. Ketika Bhante Cakra berkunjung ke wihara, kami selalu menyempatkan diri untuk mendengar cerita, nasihat, dan wejangan Dharma dari beliau. Kami sangat termotivasi untuk lebih giat dan semangat dalam belajar dan mempraktikkan Dharma. Bhante seperti penyihir yang punya sapu ajaib, menyapu bersih semua kemalasan kami.
Saya masih ingat dahulu ketika Bhante Cakra masih menetap di Wihara di Sukabumi, dan karena begitu haus akan Dharma, saya bersama seorang teman dari Tegal bernama Budi, kami berdua beberapa kali mengunjungi Bhante Cakra di Sukabumi. Kami kangen dengan Bhante, kami ingin menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk terus menerima ajaran dan nasihat dari beliau.
Saya senang naik ke ruang khusus beliau, ruang itu ada di gedung terpisah dari wihara, dalam ruang itu ada altar dan berbagai pernak-pernik puja, saat itu saya tidak mengerti tentang Vajrayana, serasa banyak misteri yang ingin saya ketahui. Di samping altar ada rak buku, banyak buku-buku bagus koleksi Bhante, kami hanya melingak-linguk saja, dengan agak ragu-ragu kami bertanya, “Bhante, bukunya boleh dipinjam?” Bhante langsung jawab, “Boleh, bawa pulang juga boleh”, maksud bawa pulang mungkin dikasih ke kami? Kami hanya senyum saja, dipinjamkan saja sudah merasa bersyukur, apalagi dikasih.
Beberapa tahun kemudian saya juga mendengar bahwa Bhante Cakra tidak menetap di wihara Sukabumi lagi, saya tidak tahu persis apa yang terjadi, namun beliau tinggal di tempat lain walaupun masih di Sukabumi, saya sempat mengunjungi beliau beberapa kali.
Keputusan
Musim panas tahun 2006 saya berangkat ke India menapak petualangan spiritual lebih jauh lagi, berkat nasihat dari seorang guru penuh welas asih, beliau adalah Dagpo Rinpoche. Saya mengutarakan niat untuk masuk monastik, namun beliau menyarankan agar jangan terburu-buru, sediakan waktu secukupnya untuk merenung kembali. Beliau menyarankan saya untuk pergi belajar bahasa Tibet sebagai fondasi untuk mempelajari Sutra dan Tantra, tempat yang cukup bagus adalah Dharamsala di India Utara, sekaligus mempergunakan kesempatan itu untuk merenung kembali apakah benar-benar mau masuk menjadi monastik atau tidak.
Setelah belajar dan merenung selama beberapa bulan, keinginan saya pun semakin mantap, akhirnya saya putuskan untuk menempuh kehidupan monastik hingga saat ini, tidak terasa 7 tahun telah lewat, waku melaju seperti panah!
Selama di India, saya tidak punya banyak kesempatan bertemu Bhante Cakra lagi. Bhante merupakan satu diantara sekian orang yang membuka mata saya dan sumber inspirasi untuk melangkah menuju kehidupan monastik. Beliau selalu bilang, “Buat apa belajar berenang sama orang yang tidak pernah terjun ke kolam?” Beliau ingin mengatakan lakukan apa yang engkau katakan, dan katakan apa yang engkau lakukan.
Bertemu Kembali
Beberapa kali waktu pulang ke Indonesia dengan jubah marun, beliau langsung menyergap saya dengan bahasa Tibet, walaupun tidak panjang dialog kami, namun beliau ketawa puas! Saya lebih sering tidak ada di Indonesia sehingga tidak mendapat banyak informasi tentang beliau. Pernah suatu ketika pulang ke Indonesia dan bertemu beliau, bhante bilang “Ini anicca, lihat gigi saya sudah ompong”, ucapan itu sertai dengan senyum legowo, tak ada kesedihan sama sekali tampak di wajahnya.
Setiap kali pulang ke Indonesia, saya selalu mampir bertemu beliau, namun pertemuan kami sudah tidak di wihara lagi, kami bertemu di Rumah Sakit, karena beliau harus “cuci darah”, hati terasa tersayat melihat tubuh fisik beliau begitu lemah namun semangat dan hati beliau tak pernah runtuh.
Saya ingat persis suatu malam ketika saya mendapat kabar bahwa Bhante Cakra masuk rumah sakit dan dalam keadaan genting, saya bersama beberapa bhante dari Ekayana meluncur ke sana, menurut kabar, Bhante Cakra sedang menunggu jawaban dari Gurunya, Dzongsar Khyentse Rinpoche, berita sudah dikirim ke Khyentse Rinpoche namun belum ada balasan. Saya tiba-tiba ingat dengan seorang teman sekelas belajar bahasa Tibet dulu, namanya Pau, orang Bhutan yang merupakan keponakan dari Khentse Rinpoche, saya segera kontak Pau untuk membantu. Syukurlah setelah tidak lama kemudian Khyentse Rinpoche memberikan jawaban.
Pertemuan Terakhir
Bulan November 2013, saya kebetulan ada di Indonesia, bersama beberapa teman kami pergi menjenguk Bhante Cakra di Prasadha Jinarakhita. Sungguh bahagia bertemu beliau lagi, saya hanya duduk di samping beliau tak mengucapkan sepatah katapun, ingatan beliau masih begitu segar, beliau menyampaikan bahwa hidup harus jujur, tak perlu pura-pura. Hati ingin menangis, karena walaupun fisik beliau sudah tidak berdaya, namun pikiran beliau masih begitu jernih. Saya tahu jalan monastik yang sekarang saya jalani ini terbuka lebar juga berkat inspirasi Bhante Cakra, saya ingin terus berjalan demi melanjutkan semangat beliau, semangat para leluhur spiritual, semangat para Buddha dan bodhisattwa!
Berpisah Untuk Bertemu Lagi
Pertengahan Januari 2014, saya mendapat kabar beliau sudah pergi dengan damai. Fisik beliau sudah pergi, namun semangat beliau tidak pernah pergi, semangat itu akan berlanjut di hati saya dan semua orang yang pernah beliau sentuh selama ini. Saya bertekad untuk melanjutkan semangat ini kepada generasi yang akan datang, melanjutkan tongkat estafet ini.
Saya yakin beliau akan kembali lagi ke dunia ini, bertemu kita semua dalam wujud yang berbeda, dan kita akan bersama-sama meneruskan pengembaraan tiada ujung ini, dalam perjalanan ini ada yang datang dan ada yang pergi, kita berpisah untuk bertemu lagi, saya yakin ada persimpangan-persimpangan jalan yang mana kita akan terus bertemu kembali.
Gate gate paragate parasamgate bodhi swaha!
Musim dingin, 16 Januari 2014,
European Institute of Applied Buddhism
Waldbrol, Jerman
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
Terimakasih sdh m3mbuat tulisan ini…saya sudah lama sekali tidak berjumpa dengan papi ( panggilan akrab beliau ) bhante cakra..
Terimakasih terimakasih terimakasih…kaget melihat rulisan ini…tapi semangat dan nasehat tak pernah lekang oleh waktu dalam benakku…terimakasih pada penulis
Saya joko ….jika berkenan saya bisa hubungi anda ?