Kehidupan monastik itu bagi saya unik. Awalnya saya berpikir untuk hidup relaks dan santai, fokus meditasi, tapi setelah 10 tahun lebih, tampaknya saya tidak begitu santai. Harapan saya ternyata terbalik total. Syukurlah saya selalu menemukan santai dan relaks dalam sepanjang 10 tahun belakangan ini. “Harapan” itu sudah bukan masalah lagi. Saya menemukan kuncinya yaitu bagaimana terus membantu diri menjadi lebih hening dan bening (calm & clarity).
Saya mendapat tugas rutin memberikan sharing Dharma di Wihara Ekayana Arama. Tugas ini juga bertambah ketika kita memiliki “rumah” baru di Serpong. Saya lebih sering memimpin retret mindfulness dalam tradisi Plum Village, jadi harap maklum kalau ada yang mengundang untuk memberikan sharing Dharma, maka saya selalu tolak dengan halus; maaf, bukan jual mahal loh.
Awal Desember 2017 saya memberikan sharing di kebaktian minggu pagi Serpong, topiknya “The Heart of Forgiveness”. Berbicara tentang “memaafkan” tampaknya bukan hal yang mudah. Saya punya pengalaman nyata yang mirip dengan dialog antara Buddha dan Akkosa tentang “makanan itu milik siapa”. Dialog lengkapnya bisa Anda cari dengan google. Zaman now sudah begitu mudah. Saya juga mengutip dari Sutta Sallatha yang mengisahkan tentang panah kedua.
Tradisi Mahayana menyediakan koleksi yang melebihi dari itu, ada sastra yang ditulis oleh maha guru tersohor di zaman Biara Nalanda di India yaitu Arya Shantideva. Sastra itu berjudul Bodhicaryāvatāra yang merupakan salah satu karya fenomenal di zaman itu. Yang Mulia Dalai Lama ke-14 sering mengajar sastra ini. Saya masih ingat ketika saya belajar bahasa Tibet dan filsafat mahayana di Dharamsala (India Utara), saya banyak menerima penjelasan langsung dari beliau.
Saya merujuk ke syair Bodhicaryāvatāra untuk menunjang topik wejangan pagi itu:
Sebelum Anda
menyampaikan sesuatu,
tugas Anda yang pertama:
periksalah pikiranmu dahulu.Shantideva, Bodhicaryāvatāra: Chapter V (Guarding Awarness):47
Kisah Arya Shantideva sangat menarik, jadi saya menceritakan sedikit latar belakangnya. Saya ingat Shantideva ketika masih di Biara Nalanda, ia terkenal dengan biksu malas dan jarang berinteraksi dengan monastik lainnya. Ia bahkan mendapat julukan biksu malas yang hanya makan, berak, dan tidur saja.
Ada beberapa biksu yang merasa perlu memberi pelajaran kepada Shantideva dengan cara mempermalukannya di depan khalayak ramai. Shantideva diminta untuk memberikan wejangan Dharma, lalu mereka menyediakan panggung tinggi yang tidak ada tangganya, agar Shantideva tidak bisa naik ke panggung itu. Biksu yang mendapat giliran memberikan wejangan Dharma memang disediakan tempat yang lebih tinggi.
Mereka yakin, dengan demikian bisa mempermalukan Shantideva. Namun ia meletakkan tangannya ke panggung itu, tiba-tiba panggung itu menurun, segera ia duduk dan pangung itu kembali naik ke atas. Kejadian itu membuat semua orang tercenggang tak kepalang.
Shantideva terkesan malas, namun ia adalah meditator papan atas! Dari atas panggung Shatideva bertanya, “Anda semua ingin mendengarkan sesuatu yang sudah pernah didengarkan, atau sesuatu yang baru?” Para hadirin menjawab ingin mendengarkan sesuatu yang baru. Lalu beliau membabarkan Bodhicaryāvatāra.
Kisah demikian tentu saja sangat menarik, Anda boleh percaya atau tidak, terserah Anda. Bagi saya bukan urusan percaya atau tidak, tapi inspirasi apa yang bisa saya dapatkan dari sana. Kadang kita terlalu sibuk untuk membuktikan kebenarannya, lalu lupa mengambil hikmah ceritanya. Kisah sejarah yang merupakan catatan manusia mungkin saja sudah mengalami modifikasi, penambahan atau pengurangan, jadi tidak ada yang tahu persis.
Pada saat sesi tanya jawab, ada seorang anak kecil bertanya, “Kapan kita pergi dari dunia ini?” Saya jawab, “Kapan-kapan saja, karena kita bisa pakai roket keluar dari dunia ini”. Serasa tidak ada sangkut paut dengan topik sharing Dharma, tapi saya sangat senang mendapat pertanyaan demikian. Spontanitas anak itu saya balas dengan spontanitas juga.
Lalu ia bertanya lagi, “Apakah Shantideva ini tukang sulap?” Saya spontan menjawab, “Mungkin dia dulu adalah tukang sulap, setelah itu dia menjadi bhante” Semua audiens langsung ketawa. Pertanyaan kids zaman now cukup sering membuat saya terkagum-kagum. Jangan pernah memandang sebelah mata pertanyaan dari mereka, karena kadang bisa mengandung unsur filosofis sangat dalam atau kadang mewakili spontanitas kepolosan mereka.
Serasa berperang zen sama anak-anak (Zen Battle). Zaman dahulu juga ada seorang guru besar namanya Zen Master Linji yang sangat terkenal dengan Zen Battle-nya, bisa berteriak-teriak, bahkan bergelut dengan muridnya sendiri, ada juga menggunakan stik saling menyerang. Pemandangan ini sungguh menarik di zaman dahulu, tapi jangan coba-coba di zaman now!
Saya banyak menyaksikan Bhante Thich Nhat Hanh menjawab pertanyaan anak-anak dengan gaya spontanitasnya juga, walaupun kadang beliau menjelaskan dengan formal sekaligus kepada audiens dewasa. Zen battle adu fisik zaman dahulu kini telah diubah menjadi Zen battle yang lebih lembut dan humoris oleh Bhante Thich Nhat Hanh. Dahulu menggunakan stik benaran sekarang menggunakan stik dalam bentuk kata-kata dan kalimat.
Saya menunggu zen battle selanjutnya dengan kids zaman now!
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.