Ini Anak Saya

Dari kiri: Achin, Nyanabhadra, Bhadrapradipa, Gus Teja, Bhadravardhana, Agung Yuli, fotografer: Zeni

Sejak remaja saya suka musik. Entah sejak kapan musik telah menjadi bagian dari hidup saya. Hidup tanpa musik, tampaknya kok rasanya kurang komplet ya? Aliran musik sangatlah banyak, saya suka yang agak slow dan pop, kadang jazz dan instrumental. Semua orang memilih sesuai dengan seleranya masing-masing.

Bicara musik, saya selalu ingat radio. Inilah media yang paling digemari pada zaman saya masih ABG (Anak Baru Gede). Ada satu masa bisa kirim-kirim lagu untuk teman-teman, dan sistem pemutaran lagu masih menggunakan kaset pita.

Saya begitu keranjingan radio, apa pun yang sedang saya lakukan selalu ditemani radio. Ketika belajar, membaca, menyapu dan ngepel lantai, makan dan minum, bahkan sedang baring mau tidur juga dininabobokan oleh radio.

Suasana Hati

Hidup manusia selalu silih berganti, kadang naik kadang turun, kadang suka dan kadang duka. Naik turun, suka duka; saya selalu ditemani musik. Ada waktunya justru lagu membuat saya naik, dan tentu ada juga sebaliknya. Pilihan jenis lagu bisa mempengaruhi suasana hati.

Memilih lagu tentu saja perlu kewawasan (mindfulness) juga intuisi (intuition). Lagu seperti apa yang membuat suasana hati lebih damai, tenang, dan sehat? Semakin tinggi kewawasan dan intuisi maka lagu yang dipilih juga lagu yang lebih sehat.

Musik yang sehat juga tampaknya juga lahir dari kewawasan dan intuisi. Saya pernah mendengar musik seruling dari Gus Teja, seorang musisi dari Bali. Menurut saya, musiknya aliran naturalis, unik, beraroma tradisional Bali, dan bernuansa spiritual.

Bertemu Musisi

Suatu kali, saya ke Bali. Iseng minta jadwal ketemu, bisa! Beberapa orang bersama saya menuju rumahnya Gus Teja, akhirnya ketemu juga, walaupun agak molor dan juga alamatnya yang sedikit keliru. Saya dan beberapa teman diterima oleh istrinya dan kita bincang-bincang ringan di balai bengong.

Rumahnya sederhana, dan di sana-sini ada berbagai jenis alat musik tiup. Ada seorang guru musik yang sengaja diundang untuk mengajarkan musik kepada anaknya. Gus Teja bilang, “lebih baik anaknya diajarkan seni musik daripada main gawai terus”.

Saya bilang ke Gus Teja, musiknya bernuansa spiritual. Dia malah membalas tidak begitu mengerti spiritual, dia hanyalah seorang musisi saja. Saya sempat bertanya bagaimana bisa melahirkan lagu begitu indah? Dia bilang bahwa semua lagu-lagu itu anugerah dari Tuhan, dia hanyalah medium perantara saja. Demikian humble dia mengucapkan kata-kata itu.

Menerima CD dari Gus Teja

Kehadiran Intuisi

Kadang-kadang ketika dia sedang bersepeda, lalu ada ilham datang, mungkin karena mendengar suara dari daun, angin, atau air, maka ada alunan musik yang lahir dalam hatinya. Dia akan berhenti dan mencatat melodinya, kemudian bisa menjadi sebuah lagu. Mirip pengalaman guru Zen, alam sekalipun bisa membuatnya tercerahkan.

Tampaknya ini yang orang sebut intuisi. kadang datang begitu saja, lalu pergi lagi. Seperti awan. Ada waktunya berharap intuisi itu datang malah tak kunjung datang-datang. Mungkin terlalu berharap malah kontraproduktif, memang intuisi tampaknya perlu suasana yang damai dan tenang, seseorang dalam kondisi relaks namun wawas. Mirip dengan meditasi toh!

Manusia punya kebiasaan sibuk. Pikirannya begitu penuh dengan berbagai agenda, entah apakah dia punya waktu untuk slow down and relax? Selalu berpacu terus dengan waktu, karena dikejar-kejar deadline. Sebagai monastik kadang saya juga masuk perangkap jalur tikus itu. Syukurnya saya punya cara untuk slow down and relax.

Melahirkan Anak

Caranya bagaimana? Saya selalu menggunakan napas untuk menenangkan diri. Toh napas kan selalu ada, jadi kapan pun mau diwawas maka dia selalu siap. Ada awan hitam mendung, ada hujan badai yang sedang berkecamuk dalam hati, ada ombak tinggi, ada gempa hati (bukan gempa bumi), semua kondisi ini sering hadir mendadak, lalu napaslah yang selalu menyelamatkan saya.

Sesaat hati sudah mulai agak tenang, awan hitam sudah pergi sebagian, hujan badai juga mulai reda, ombak pun semakin stabil, dan gempa hati juga mulai berhenti, inilah kondisi baik untuk melahirkan pengertian mendalam (Prajñā), kedamaian, kejernihan, dan barangkali intuisi untuk melahirkan musik juga lebih memudahkan.

Gus Teja bilang, setiap musik yang selesai digubahnya bagaikan “anaknya” sendiri. Sesuatu yang sangat erat relasinya dengan dirinya, sesuatu yang memang bagian dari dirinya. Saya begitu terkesan mendengarnya. Mulai sekarang, setiap artikel yang saya tulis juga saya anggap sebagai “anak” saya. Gus Teja melahirkan musik, dan saya melahirkan artikel.

Memberi buku menerima CD

Memberi Menerima

Di akhir pertemuan dengan Gus Teja, saya mempersembahkan “anak” saya kepadanya, yaitu buku “Nektar Zen”. Lalu, dia pun bilang, “Wah, saya dapat kado dari bhante, saya juga punya kado untuk bhante.” Dia ke ruang sebelah mengambil beberapa CD untuk diberikan kepada saya. Gus Teja juga mempersembahkan “anak”-nya kepada saya. Saya ingin memberi tapi akhirnya juga menerima.

Pertemuan yang sangat menyenangkan. Saya yakin, dalam perjalanan ini ada banyak persimpangan. Semoga ada waktu untuk bertemu lagi di persimpangan jalan lain. Semoga ada waktu berbincang-bincang spiritual yang non spiritual. Terima kasih Gus Teja.

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.