Surat Kepada Anak Spiritualku

Surat Kepada Anak Spiritualku,
menjelang berakhirnya Tahun ini

Gubuk “Still Sitting” (Gubuk duduk diam tak bergerak), 5 Desember 2008

Mentari bersinar di Upper Hamlet hari ini, aku pergi meditasi jalan menuju Wihara Kaki Gunung (Son Ha), menulusuri jalan setapak hutan pinus. Sepanjang jalan dari Gubuk “Still Sitting” hingga ke hutan pinus, aku melewati lapangan rumput hijau yang betebaran daun ek di sana sini, terutama Gubuk Floating Cloud tempat tingga Thay Giac Thanh. Timbunan daun ek sangat tebal seperti karpet menutupi lantai, daun-daun itu masih segar, warnanya menyerupai warna jubah biku theravada. Semua pohon mengugurkan daunnya memperindah tanah; bumi dan pohon saling mengasuh, aku melihat dengan jelas kejadian itu, aku berjalan pelan agar bisa menyentuh dimensi tertinggi dengan setiap langkahku, yakni menyentuh waktu tak berbatas dan angkasa tak berujung.

Aku berjalan untuk diriku sendiri, namun aku juga berjalan demi ayah dan ibuku, berjalan demi guruku, leluhurku, demi Buddha dan demi engkau. Aku tidak melihat ada pemisahan antara diriku dengan orang tuaku, leluhurku, Buddha, dan engkau. Semuanya hadir dalam setiap langkah penuh perhatianku. Gatha yang berbunyi “Biarkanlah Buddha bernapas, biarkanlah Buddha berjalan” sangat indah. Semakin saya berlatih, semakin efektif cara ini; oleh karena itu saya berlatih terus menerus. Gatha ini juga bisa dilatih dalam bentuk lain, seperti “Biarkanlah Buddha bernapas, biarkanlah Buddha duduk”; “Biarkanlah Buddha bernapas, biarkanlah Buddha bekerja;” atau “Biarkanlah Buddha bernapas, biarkanlah Buddha mengosok gigi.” Latihan seperti sama persis seperti merenung nama Buddha. “Buddha” yang dimaksud di sini bukanlah sebuah titel, Buddha adalah manusia nyata yang bernapas, berjalan, mencuci piring, mengepel lantai.

Aku masih ingat tur ke India barusan, aku berlatih “Di sini India, India di sini” lebih baik berlatih seperti ini daripada saya berlatih “Di sini adalah tanah suci, Tanah suci ada di sini.” Ketika kami melakukan meditasi jalan di jalan Rajpath New Delhi, aku berlatih gatha itu dan pada waktu bersamaan aku berjalan untuk ayah, ibu, leluhur spiritual, dan juga untuk engkau. Aku berlatih “Buddha pergi berjalan, Buddha sedang menikmatinya, Buddha bahagia, Buddha bebas. Aku pergi berjalan, aku sedang menikmatinya…”, kemudian “Ayahku pergi berjalan, ayahku menikmatinya…” ketika aku berlatih untukmu, aku mengundang engkau untuk berjalan bersama langkah kakiku, “Aku pergi berjalan, aku menikmatinya…” setiap orang hadir dalam diriku selama tur di India.

Anakku, engkau sekarang adalah monastik (xuat si) dan umat biasa (cu si). “Xuat” berarti pergi untuk selamanya atau pergi keluar, tidak memiliki status sosial tinggi, namun engkau pergi bergabung dengan komunitas monastik. Jika sangha menugaskanmu pergi ke suatu tempat, maka engkau harus pergi, engkau tidak perlu tetap tinggal di satu tempat saja. “Cu” berarti bersemayam atau tinggal, “cu si” mempunyai arti sama dengan “xu si”, mereka yang tidak pergi keluar atau tidak ditahbiskan menjadi anggota monastik, mereka yang masih mempunyai tanggung jawab terhadap orang tua dan masih punya kesempatan untuk ikut serta dalam latihan empat lapisan komunitas. Monastik dan umat biasa saling bergantungan, saling mendukung, berlatih transformasi dan membantu semua makhluk. Tubuh sangha merupakan komunitas indah yang terdiri dari empat lapisan, monastik pria dan wanita, umat pria dan wanita, mereka yang mengupayakan harmonis, kesadaran dan pembebasan…”. Aktivis hak sipil Dr. Martin Luther King. Jr punya keinginan untuk membangun sebuah komunitas, komunitas yang penuh dengan kebahagiaan, suasana kekeluargaan dan punya kapasitas untuk berjuang menuju kondisi sosial yang baik. Ia menyebutkan “beloved community”. Sungguh sayang sekali ia diserang dan dibunuh secara mendadak di Memphis, pada saat itu ia berusia 39 tahun, impian indahnya tidak bisa terealisasi. Kita lebih beruntung, kita membangun sangha di semua tempat, jadi semua tempat menjadi kampung halaman kita. “The Sangha is everywhere, my true home is right here”. Kita bisa meneruskan dan menwujudkan aspirasi Martin Luther King, membangun kekeluargaan dalam latihan kita sehari-hari, hidup dengan penuh suka cita dan saling membantu.

Aku ingat, kali terakhir bertemu Dr. King di Switzerland pada Konferensi “Pacem In Terris” yang diselenggarakan oleh Council of Churches pada tahun 1968. Dr. King tinggal bersama asistennya di lantai 11, sebuah hotel sangat besar tempat berlangsungnya konferensi itu. Aku tinggal di lantai dasar bersama satu orang asistenku seorang umat biasa. Dr. King mengundang aku sarapan pagi bersama degannya sehingga kita bisa berbincang-bincang, karena aku sibuk konferensi pers sehingga terlambat setengah jam, namun Dr. King menyimpan sarapanku sehingga tetap hangat. Dalam pertemuan itu, aku berkesempatan menyampaikan kepadanya bahwa “Teman-teman di Vietnam sangat mendukungmu, mereka memandangmu sebagai bodhisatwa hidup.” Dia sangat bahagia mendengar itu. Setiap kali aku teringat kembali atas pertemuan itu, aku merasa lega karena sudah bisa menyampaikan kepadanya, karena beberapa bulan kemudian dia diserang dan terbunuh.

Jalan setapak hutan pinus menuju Wihara Son Ha merupakan salah satu jalan setapak terindah di Plum Village. Pernahkah engkau jalan menelusuri jalan setapak itu bersamaku? Pohon pinus sengaja ditanam menjadi hutan, ditanam sejajar rapi, berdiri berdampingan seperti tubuh sangha, segar dan hijau sepanjang tahun. Sekitar 8000 pohon pinus di hutan itu. Pada musim kering, aku biasanya berhenti di tengah jalur setapak itu dan duduk di atas daun pinus, daun itu seperti karpet dudukku. Kalau ada asisten bersamaku, maka guru dan murid minum teh bersama sebelum meneruskan perjalanan.

Gubuk di Wihara Sonha, disitu aku sering membuat api penghangat untuk menerima tamu biksu dan biksuni senior yang datang menghadiri upacara penahbisan besar selama Retret Musim Dingin berlangsung, sebelum dirubah menjadi wihara, tempat ini adalah bekas keluarga petani. Di luar terlihat sangat tidak indah, namun di bagian dalam gubuk itu sudah dimodifikasi menjadi sangat indah dan nyaman, terutama daerah untuk membuat api penghangat di ruang tamu. Di atas tungku api tergantung sebuah kaligrafi beruliskan “bois ton the” yang berarti “minumlah tehmu”. Pada hari-hari dingin dan bersalju, kadang-kadang sekitar 20 atau 30 orang berkumpul dan duduk mengelilingi kobaran api sambil minum teh dan saling berbagi cerita dari setiap belahan dunia, karena semua orang datang dari tempat berbeda-beda. “Kita seperti burung, terbang dari sini ke empat penjuru…”

Aku harus memberi nama kepada gubukku di Son Ha. Di luarnya tampak tidak indah tapi di dalamnya begitu indah, aku menamainya “Gubuk Kulit Kodok”, tepat sekali! Kulit kodok, peau de crapon dalam bahasa Perancis. Kulit kodok tidak rata alias bergelombang dan tidak indah sama sekali, namun di dalamnya sangat indah. Ketika ayah Phap Dong, Dung berkunjung ke gubukku itu dia bilang, “Dari luar terlihat seperti kulit kodok, tapi di dalam seperti permata berwarna kuning” Tahukah engkau syair itu? Itu adalah syair pembuka sebuah teka-teki. “Di luar adalah kulit kodok, di dalam adalah permata kuning, bahkan dari jarak jauh engkau sudah bisa mencium harumku, siapakah aku?” Jawabannya adalah buah nangka (cempedak) yang sudah matang. Dilihat dari luar, buang nagka memiliki kulit tidak rata seperti kulit kodok, namun di dalamnya penuh dengan harum. Teka-teki itu mungkin bersasal dari Hue, karena dalam teka-teki itu mengandung tiga kata “Thom lung lung” (harum dari jauh). Jadi gubuk saya di Son Ha seperti kulit kodok dari luar dan namun ketika engkau masuk ke dalam, maka seperti permata dan emas, terima kasih kepada jerih payah Hieu, saudara kandung Phap Quan. Dia telah mencurahkan banyak tenaga untuk mendekorasi ulang tempat itu, tempat yang sebelumnya adalah rumah petani miskin. Aku mulai suka dengan nama “kulit kodok”, menurutmu lucukah nama itu?

Dalam sebuah dongeng, ada seorang pria muda yang berjalan di sawah, dia melihat seekor kodok dan dia melangkahinya, ketika dia mulai berjalan lagi, dia mendengar seorang gadis cantik yang sedang membersihkan kerongkonganya. Dia berbalik melihat dan terkejut ada seorang puteri cantik, secara alami pria muda ini mengajaknya berbicara dan akhirnya mengajaknya pulang untuk berkenalan dengan orang tuanya. Dia tidak lupa memungut kulit kodok itu dan membawa serta pulang kemudian merobeknya, sehingga puteri cantik yang sungguh menawan ini tidak bisa balik ke dalam kulit kodok bergelombang itu. Aku merasa beruntung seperti pria muda itu, aku bertemu begitu banyak kodok jelek sepanjang perjalananku, namun kodok-kodok itu menjadi puteri dan pangeran menawan setelah melepaskan kulitnya. Setiap kali bodhicitta muncul dalam dirimu, engkau berubah menjadi pangeran dan puteri menawan, dan lukisan sangha yang mendaki gunung abad itu sungguh-sungguh lukisan yang luar biasa.

Ada beberapa jalan setapak meditasi familiar yang muncul dalam mimpiku, jalan setapak di wihara akar, Tu Hieu, di wihara inilah saya memulai karir samanera dan menjadi jalan setapak legendaris, kadang-kadang jalan setapak ini muncul dalam pencarianku atas rumah sejatiku. Anak spiritualku di Prajna telah membuat jalur setapak yang mirip, dan jalan setapak yang ditaburi baru kerikil menjadi jalan yang familiar melalui langkah penuh perhatian bagi para pangeran dan puteriku. “Fragrant Palm Leaves” memiliki jalan setapak seperti itu. “Hermitage Among the Clouds” juga memiliki jalan setapak seperti itu. “Deer Park” juga demikian, dan barusan anak spiritualku di Blue Cliff juga membuat jalan setapak seperti itu untuk membangun jalan penuh perhatian mereka. Jalan setapak untuk meditasi di “Green Mountain Dharma Center” dan “Maple Forest Monastery” juga tak kalah indah. Mereka menciptakan lagu: “Together we shall go to visit Green Mountain, climb the immense sky, we shall go to the tea house, walk around the pond…” aku yakin bahwa di tanah suci, di sana juga ada jalan setapak seperti itu, hal demikian selalu mengingatkan kita ketika harus pergi. Apakah engkau masih ingat meditasi jalan sepanjang kali kecil sepanjang hutan bambu di Hermitage?

Sore ini, duduk di Still Water Meditation Hall, aku mengundang Buddha bernapas bersama paru-paruku, aku mengatakan “Inilah paru-paruku, namun paru-paruku juga merupakan paru-parumu, mohon bernapas dengan tentram, paru-paruku masih sehat, jangan khuatir” dan Buddha sangat bahagia, kami berdua bernapas bahagia bersama.

Son Ha dikelilingi oleh hutan pinus, ada kali kecil dan kolam. “So Ha huu tuyen, trac chi tac du” merupakan syair yang diambil dari Kinh Thuy Sam (Healing Water Discourse, Ceramah tentang Air Penyembuhan); artinya “Di kaki gunung, ada sebuah kali kecil, ambil airnya dan basuh dirimu, basuhlah lukamu, dan engkau akan sembuh”. Wihara So Ha terletak di kaki bukit besar, ada sebuah jembatan melintang di kali, di ujung jembatan itu ada sebuah batu berpahatkan “Son Ha huu tuyen…” dalam tulisan klasik cina. Bukit besar ini adalah Bukit “The Nhat”, di atas bukit ini adalah Wihara “Dharma Clouds” (Awan Dharma) Upper Hamlet di Plum Village, Thay Nguyen Hai adalah kepala wiharanya, namun karena beliau sedang memberikan perlajaran di Vietnam, sementara Thay Phap Don yang menggantikan posisinya. Thay Phap Son adalah kepala Wihara Son Ha, beliau berasal dari Spanyol dan berkewarganegaraan Inggris, beliau berbahasa spanyol, Inggris, Jerman, dan Perancis dengan lancar. Banyak sahabat yang sangat senang dengan tata letak Wihara Son Ha, pada musim dingin ini ada 18 orang sahabat bersama para monastik di sana.

Suatu ketika pada retret musim dingin tahun lalu, saya pura-pura menjadi “pemandu tur” dan membawa sejumlah orang dari Son Ha menuju Wihara “Dharma Cloud” Upper Hamlet melewati jalan setapak hutan pinus. Para turis ini bukan orang asing di tempat ini, mereka adalah Profesor Hoang Khoi — Chan Dao Hanh dan Chan Tue Huring istrinya, mereka murid dekatku. Retret musim dingin tahun lalu mereka datang dari Sydney ke Plum Village, mereka menginap di Upper Hamlet. Mereka berdua suami istri merupakan guru dharma umat biasa yang cukup baik. Mereka telah banyak membantu menyunting buku Thay dalam bahasa Vietnam seperti “Illusionary and Real Happiness”, “The Liveliness of Meditation Practice”, dan sebagainya.

Setelah minum teh bersama di gubuk kulit kodok Son Ha, aku membawa mereka menelusuri jalan setapak lewat hutan pinus menuju Upper Hamlet. Aku bilang ke mereka, “Bayangkan engkau berdua sedang menuju Wihara “Dharma Cloud” untuk pertama kalinya, aku membawa kalian untuk bertemu dengan seorang guru zen di gubuk jeraminya, Gubuk “Sitting Still” di daerah barat bukit The Nhat, dekat dengan Wihara “Dharma Cloud”. Apabila engkau tahu bagaimana cara melangkahkan kakimu dengan penuh perhatian melewati bukit ini, engkau memiliki kesempatan besar untuk bertemu dengan guru itu, karena guru zen itu selalu berlatih meditasi jalan di bukit itu, kadang-kadang dia pergi mencari daun hijau, kadang mencari bahan obat-obatan (sur the duoc khur). Banyak kesempatan dia pergi ke hutan dan seharian di sana tidak ada orang yang tahu dia duduk di mana, bahkan samanera yang bertugas sebagai asistennya juga tidak tahu.

Pada hari itu hujan baru berhenti, mentari menyinar terang indah pada daun-daun yang di atasnya masih ada butiran embun yang sudah membeku, menetes sedikit demi sedikit, seperti permata mendapat sinaran matahari. Aku berhenti dan meneyentuhkan tanganku di atas butiran embun yang menempel di daun pohon pinus, butiran embun bulat itu turun ke jariku. Aku bilang kepada profesor Chan Dao Hanh untuk menjulurkan tangannya untuk menerima permata itu, aku meletakkan butiran embun itu di telapak tangannya. Dia menyimpan tanganya dalam sakunya, sehinga ketika dia menjulurkan tangganya, masih ada hawa hangat dan kering, ketika pertama itu jatuh ke telapak tangganya, permata itu masih utuh. Aku juga memetik permata indah seperti itu kepada Chan Tue Huong. Bumi dan langit sangat ingah, setiap momen merupakan permata mulia yang mengandung langit, air, awan, tanah, hanya dengan satu napas berkesadaran, begitu banyak keajaiban memanifestasikan dirinya.

Meditasi jalan seharusnya seperti itu, setiap langkah adalah realisasi, setiap langkah adalah suka cita, setiap langkah memberi nutrisi dan penyembuhan. Ketika kami tiba di bukit, aku berhenti dan menunjuk pojok bukit itu kepada mereka berdua, “Tidak jauh dari sini, kalian akan bisa melihat gubuk “Sitting Still”. Mungkin sang guru zen sedang duduk di sana. Ketika Gubuk Sitting Still sudah terlihat, aku berhenti lagi dan menunjuk ke gubuk itu sehingga mereka bisa melihat dengan jelas, aku mengundang mereka untuk bernapas dan senyum. Pada kenyataanya, mereka berdua sudah berkali-kali melihat gubuk itu, mereka sudah berkali-kali duduk minum teh bersamaku di situ, namun kali ini mereka menggunakan “mata” yang baru untuk melihat gubuk itu dan mengeksplorasi sesuatu yang baru bagi mereka. Kami bertiga seperti orang dalam kisah legenda mencari guru zen di gunung, tidak tahu apakah kondisi sudah cocok untuk bertemu dengan guru zen itu atau tidak. Sudah banyak sekali orang yang datang ke Upper Hamlet dari berbagai negara, tapi seberapa banyak yang diterima sebagai tamu oleh sang pertapa (guru zen) di gubuk “Sitting Still”? Atau seberapa banyak orang yang sudah diterima sebagai tamu untuk berkunjung ke Gubuk “Deep Listening” di wihara akar?

Retret musim dingin tahun lalu, Phap Tri menjadi asisten di gubuk Sitting Still, berada dalam asuhan kakak seniornya Thay Man Tue, ketika Phap Tri pulang dari kelas “tata krama penuh perhatian”, aku tidak ada di gubuk, dia bersiap-siap untuk pergi ke bukit untuk mencari, pada saat itu juga aku tiba bersama dua orang turis. Aku sedang berpura-pura jadi pemandu tur, dan aku bertanya kepada samanera Phap Tri, “Apakah sang guru ada di gubuk?” Samanera itu tampak binggung dan tidak tahu bagaimana menjawabnya. Aku melanjutkan, “Apakah sang guru sedang pergi ke gunung untuk memetik daun herbal?” Nah sekarang sang samanera mulai mengerti. Dia membalas, “Tamu terhormat, guruku sebentar lagi akan pulang dari gunung, silakan masuk ke dalam gubuk dan minum teh sambil menunggu guruku pulang.” Di Wihara Vietnam di Los Angeles, ada sebuah kaligrafi yang saya persembahkan kepada Thay Man Giac, kaligrafi itu merupakan terjemahan puisi yang ditulis oleh Gia Dao dari dinasti Duong:

Di dekat pohon pinus, sang samanera menjawab:
“Guruku baru saja pergi ke gunung untuk memetik daun herbal, karena kabut tebal menyelimuti sehingga engkau tidak bisa melihatnya”

Pada kenyataanya, sang asisten tahu gurunya sedang duduk di satu titik di hutan, namun dia membalas dengan jawaban seperti itu karena dia tidak ingin tamu mengganggu gurunya. Dia tidak ingin pergi mencari gurunya, agar gurunya bisa duduk dengan damai sendirian. Kabut sering menyelimuti Gunung The Nhat namun tidak sesering di Wihata Kim Son di utara California.

Jalan setapak cemaraku juga sudah melegenda, apakah engkau tahu? Namun jalan setapak mana yang belum kita telusuri? Seperti jalan setapak meditasi di sungai kecil dekat Wihara Prajna. Kita telah meninggalkan banyak jejak kaki di sana, apakah engkau mengingatnya anakku? Jalan setapak menuju Teratai berkelopak seribu di Deer Park, sudah seberapa banyak kali kita mendaki gunung itu? Sudah seberapa banyak kali kita duduk di atas batu besar di gunung itu? Memandang ke bawah lembah Ecsondido yang diselimuti kabut? Jalan setapak meditasi mulai dari ruang “Taman Buddha” di Tu Hieu menuju stupa patriak, jalan setapak itu juga sudah melegenda, dan jalan setapak itu berkali-kali muncul dalam mimpiku ketika aku jauh dari Vietnam. Jalan setapak meditasi di Lower Hamlet dan New Hamlet juga telah tercetak jejak kaki selama dua dekade, setiap kali kita pergi jauh, kita selalu merindukan jalan setapak itu.

Kita telah meninggalkan jejak kaki Buddha di jalan setapak pada setiap meditasi jalan di Estes Park di Rocky Mountain, di jalan setapak Stonehills College, lapangan Universitas California di Santa Barbara, di Taman MacArthur di Los Angeles, jalan utama di kota-kota besar seperti Frankfurt, Roma, Amsterdam, Paris, New York, New Delhi, Hanoi, dan sebagainya. Aku masih ingat ketika kita meditasi jalan di danau Hoan Kiem, sebagai sangha monastik dan umat biasa yang merupakan perwakilan dari 41 negara. Kita melangkah dengan penuh damai dan bebas di pinggir danau itu, melewati jembatan The Huc, jembatan yang merupakan jalan masuk ke rumah suci Ngoc Son. Orang lokal di sana begitu terpesona melihat sekelompok orang berjalan dengan penuh kebebasan, ada lagi mereka yang merupakan pebisnis di kota Vietnam sangat sibuk dan terhanyut dalam ketergesa-gesaan. Melihat sekelompok orang tersebut, ada orang yang bilang bahwa mereka menemukan kembali akar budaya dan rumah sejati mereka. Kita juga berjalan dengan nada mirip di Trung Hau, Dong Dac, Soc Son, Bang A, Van Mieu, Hoa Lu, Tat Diem, Dieu De, Thuyen Ton, Linh Mu, Linh Ung, Tam Thai Chuc Thanh, My Son, Cam Ranh, Thap Thap, Nguyen Thieu, Giac Vien, Giac Lam, An Quang, Hoang Phap, Phap Van, semua tanah suci bagi kita, setiap tempat menjadi rumah sejati kita, ketika kita tahu bagaimana cara berhenti dan hidup dengan penuh kesadaran.

Tahun 2008 akan berakhir beberapa minggu lagi, duduk di sini menulis surat akhir tahun untuk anak spiritualku, aku merasa hangat seolah-olah duduk diantara kalian semua. New Hamlet akan menjadi tuan rumah perayaan hari natal, Lower Hamlet akan menjadi tuan rumah perayaan Tahun Baru, dan Upper Hamlet akan menjadi tuan rumah perayaan Tahun Baru Vietnam, tahun lembu jantan. Pada musim dingin ini merupakan Upasampada “New Lotus Season” (Penahbisan biksu dan biskuni), sebanyak 27 orang akan menerima transmisi “pelita dharma”, dan Brother Phap Huu merupakan satu diantaranya. Si kecil Huynh The Nhiem datang ke Plum Village pertama kali ketika ia berusia 7 tahun, dan dia datang lagi dan lagi setelah itu. Nhiem ditahbiskan pada usia 12 tahun pada bulan Februari 2002. Sekarang Nhiem akan menerima transmisi pelita dharma dan menjadi seorang guru dharma. Dialah Brother Phap Huu, selama retret musim dingin ini, Brother Phap Huu mementor sebanyak 7 orang mentee, mereka sangat bahagia punya mentor muda.

Bayi biksu dan biksuni ku telah dewasa. Selain Br. Phap Huu ada juga Br. Phap Chieu dan Sister Mat Nghiem, Dan Nghiem dan Man Nghiem juga menjadi mentor para sahabat retret. Sister Man Nghiem menerima transmisi pelita dharma tahun lalu pada upasampada “Earth Refreshing”, dia menjadi guru dharma termuda di Plum Village. Sister Man Nghiem pertama kali bertemu denganku ketika dia berusia 5 tahun. Dia datang ke Plum Village untuk ditahbiskan pada usia 12 tahun. Ha Thoai My Quyen adalah namanya. Ketika dia berusia 16 tahun dia membaca buku yang aku tulis berjudul “Speaking to Twenty years old” dan dia berjanji ketika aku berusia 80 tahun, dia akan menulis buku berjudul “Speaking to eighty years old”. Quyen menulis buku itu ketika dia berusia 20 tahun, buku itu setebal 300 halaman, saya masih menyimpannya di Fragrant Source Hermitage. Aku satu-satunya orang yang boleh membacanya, Sister Man Nghiem yang bilang.

Br. Phap Huu menjadi guru dharma muda, selama 10 tahun bersamaku, kita tidak pernah membuat sedih sesamanya, koneksi antar kita berdua sangat bagus. Phap Huu menjadi asisten terbaik, sangat perhatian, tidak kalah dengan Br. Phap Niem, tertata rapi, tidak perlu menunggu aku untuk memberitahunya apa yang aku butuhkan. Suatu ketika aku bilang ke Phap Huu “Di zaman dahulu Bhante Ananda melayani Buddha, engkau sebaik Bhante Ananda ketika melayaniku sekarang ini.” Nhiem dengan rendah hati bilang, “Tapi aku tidak punya memori sebaik Bhante Ananda.” Aku tertawa terkekeh kecil dan bilang “Engkau tidak perlu memori sehebat Bhante Ananda, karena engkau punya iPod di tasku.” Guru dan murid saling melihat dan tersenyum terkekeh-kekeh.

Tiba-tiba aku teringat salju. Salju sudah turun di Waldbrol di EIAB, minggu lalu Sister Song Nghiem telepon aku dan bilang sudah turun salju sekitar 10 inci dari tanah. Pemandangan di Waldbrol tentu saja sudah sangat indah sekarang ini, dan dia mengundang aku ke sana untuk bermain bersama mereka. Tapi aku ada di sini, apakah engkau melihat daku wahai anakku? Aku sekarang ini ada di Blue Cliff, Deer Park, Maple Village, Lotus Bud, Magnolia Village, Prajna, Tu Hieu, Hohenau, Source of Compassion dan masih banyak tempat lagi! Engkau seharusnya bisa melihatku tepat di tempat engkau berdiri atau duduk. Apakah engkau masih ingat Brother Phap Lam si lucu? Aku tidak hanya ada di India. Apakah engkau sudah pernah dengar Guru Zen Vo Ngon Thong berkata “Di sini India, India di sini”

Aku ingat tempat tidur gantung (buaian) yang digantung di pohon di belakang Institut. Sebelum aku pergi ke sana, aku menulis surat kepada anak-anakku di Jerman. Aku meminta mereka yang punya tempat tidur gantung untuk membawanya dan meminjamkannya kepadaku. Aku akan mengantunggnkannya di pohon Apple Orchard dan duduk di gantungan itu bermain bersama anak-anak, merayakan kehadiran Institut baru itu. Aku tidak tahu siapa yang menyebarkan surat itu, ketika aku tiba di Institut, asistenku melapor bahwa ada sebanyak 149 tempat tidur gantung. Musim panas berikutnya, kita akan punya banyak kesempatan untuk berlatih meditasi ayunan di sana.

Menulis surat untuk anakku, aku tidak tahu seberapa banyak akan cukup. Aku akan berhenti di sini. Aku akan bertemu kalian semua lagi ketika malam tahun baru ketika acara berbagi puisi. Aku berharap semuanya bahagia dan maju dalam membangun brotherhood dan sisterhood.

Thay

Terjemahan bebas oleh Nyanabhadra

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.