Cinta

oldpathwhitecloudsSuatu hari Meghiya lapor kepada Buddha bahwa Nanda sering murung dan tampak tidak bahagia. Beberapa hari lalu Nanda mengaku di hadapan Meghiya bahwa dia sangat merindukan tunangannya, Kalyani yang sekarang tinggal di Kapilawastu. Nanda bilang, “Aku masih teringat persis ketika hari itu aku membawa mangkuk sedekah Buddha kembali ke Taman Nigroda, ketika saya pergi, Kalyani menatap mataku dan bilang ‘Cepat Pulang yah sayang, aku menunggumu!’ Aku masih ingat persis rambut hitam terurai indah melewati pundaknya. Wajah Kalyani selalu muncul dalam meditasi duduk. Setiap kali aku melihat dia muncul dalam pikiranku, hatiku penuh dorongan. Aku tidak bahagia hidup seperti ini sebagai biksu”.

Hari berikutnya, Buddha mengundang Nanda pergi jalan santai, mereka berdua berjalan menuju sebuah danau meninggalkan Jetawana. Tiba di sana Buddha dan Nanda duduk di atas sebongkah batu rata yang besar sama-sama memandang ke arah danau, airnya tenang dan jernih, di pinggiran danau ada sekelompok itik yang berenang riang gembira, burung berkicau di atas ranting pohon.

Buddha kemudian membuka pembicaraan, “Ada beberapa orang memberitahuku kalau Nanda kurang bahagia hidup sebagai biksu, apakah benar demikian?”

Nanda diam sejenak, setelah beberapa saat, Buddha bertanya lagi, “Apakah Nanda sudah siap pulang ke Kapilawastu untuk memangku tahta raja?”

Sambil terbata-bata Nanda membalas, “Tidak, tidak, aku sudah bilang kalau aku kurang tertarik dengan politik, aku tak sanggup mengurus kerajaan, aku juga tak mau jadi raja.”

“Lantas, kenapa Nanda tampak tidak bahagia?”

Kembali lagi Nanda membisu.

“Apakah engkau kangen Kalyani?”

Pipi Nanda kemerah-merahan namun tetap diam.

Kemudian Buddha bertanya lagi, “Nanda, ada begitu banyak gadis cantik di Kosala ini, bahkan lebih cantik daripada Kalyani, apakah engkau masih ingat perjamuan di istana Raja Pasenadi? Apakah Nanda lihat begitu banyak gadis yang lebih cantik daripada Kalyani?”

Nanda mengaku, “Iya benar begitu banyak gadis yang lebih cantik daripada Kalyani, tapi aku hanya sayang Kalyani, dalam hidupku ini aku hanya sayang dia seorang.”

“Nanda, cinta kemelekatan bisa menjadi penghalang bagi kemajuan spiritual. Kecantikan fisik wanita pasti layu seperti bunga mawar. Engkau juga tahu persis kalau segala sesuatu tidaklah kekal abadi. Engkau perlu berlatih untuk memahami sepenuhnya tentang sifat tidak kekal ini. “Lihatlah”, Buddha menunjuk wanita tua renta yang bersandar dekat rotan itu, dia bersusah payah menyeberangi jembatan bambu, wajahnya keriput.

“Saya yakin, wanita itu seorang gadis cantik sebelum ini, paras indah Kalyani juga akan layu seperti wanita renta itu setelah puluhan tahun. Pada waktu itu juga seandainya engkau terus berlatih maka hasil latihanmu dalam jalan menuju pencerahan ini sudah bisa membuahkan kedamaian dan suka cita bagi kehidupan sekarang ini dan kehidupan selanjutnya. Nanda coba lihat di atas pohon sana ada dua ekor kera yang sedang bersenda gurau, sudah pasti engkau tidak akan tertarik pada kera betina yang ekornya panjang, hidungya moncong, dan bokong merah, tetapi bagi sang kera jantan, dialah kera tercantik di dunia ini. Bahkan kera jantan itu akan mengorbankan nyawanya demi melindungi kekasihnya, apakah engkau bisa melihat itu?”

Nanda tiba-tiba menyela, “Sudahlah Buddha, aku mengerti apa yang ingin engkau katakan, aku akan mencurahkan seluruh hatiku untuk berlatih”

Buddha senyum kepada adikknya itu. “Curahkanlah perhatianmu untuk mengamati napas, meditasikan tubuh fisik, perasaan, bentuk-bentuk mental, pencerapan, dan objek-objek pencerapan. Tataplah lebih mendalam untuk melihat proses kelahiran, tumbuh berkembang, dan kematian semua fenomena ini terjadi dalam dirimu, semuanya muncul, berkembang, dan lenyap mulai dari badan jasmani, perasaan, pikiran, dan objek pikiran. Apabila ada sesuatu yang engkau tidak mengerti, datanglah padaku atau Sariputra.

“Wahai Nanda, ingatlah kebahagiaan dari pembebasan yang merupakan kebahagiaan sejati, kebahagiaan seperti ini tidak bisa dihancurkan, bertekadlah menuju ke arah kebahagiaan ini”

Waktu menjelang senja, Buddha dan Nanda bangkit dan pulang kembali ke wihara.

Terjemahan bebas dari “Old Path White Clouds” Hal. 285 s.d. 287
karya – Maha Bhiksu Thich Nhat Hanh.
Penerbit Parallax Press

Dapatkan buku Jalur Tua Awan Putih dari Karaniya.com

Creative Commons LicenseArtikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.