Melihat perkembangan #KidsZamanNow tampaknya cukup mengkhawatirkan. Saya memimpin retret untuk anak sekolah sejak 2014 di Indonesia, saya sudah melanglangbuana ke berbagai sekolah di banyak daerah dan kota. Ada beberapa temuan serupa yang saya jumpai. Tentu saja temuan ini hanyalah berdasarkan observasi semata saja.
Saya mendapati bahwa ada yang kurang “beres” berkenaan dengan kemampuan mendengar anak-anak. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa mereka mengalami gangguan pendengaran, justru telinga mereka berfungsi dengan baik dan normal. Namun kemampuan mereka mengerti sebuah instruksi tampaknya cukup rendah.
Ada banyak kesempatan saya merenungkan dalam diri, apakah bahasa yang saya pergunakan terlalu sulit dimengerti? Atau memang dasarnya mereka cuek? Atau memang mereka dalam usia pancaroba, jadi sengaja tidak mau mengikuti instruksinya? Atau mereka bisa mendengarkan dengan baik namun otak tidak mampu mencerna instruksi yang saya berikan?
Saya kadang kehabisan akal, bagaimana bisa berkomunikasi lebih baik dengan kids zaman now, tampaknya jurus breathing in breathing out, smile and relax perlu lebih sering saya praktikkan. Saya bisa mengerti betapa sulitnya menjadi guru zaman now yang harus mengajar dan mendidik anak-anak yang sangat kecanduan gawai.
Praktik Hening
Meditasi tradisional sangat mengutamakan hening (baca: tidak bicara). Di dalam retret yang saya bimbing, hening juga menjadi bagian penting, tapi bersifat lebih longgar. Anak-anak diberikan kesempatan untuk bersikap dewasa dan bertanggung jawab. Namun saya harus jujur, tidak selalu berhasil karena anak remaja memang selalu ingin tampil beda.
Sesi hening dalam retret minimal saat makan berkesadaran, mereka wajib hening selama 15 menit, ini berhasil! Lalu ketika mendengar suara lonceng dan dentang jam dinding, mereka juga praktik hening beberapa saat, ini juga berhasil. Praktik ini merupakan terjemahan dari samatha, dengan pendekatan baru yaitu berhenti, bernapas, relaks, dan senyum. Cara sederhana ini untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan terdapat lingkungan sekitar, terutama terhadap suara lonceng atau genta.
Praktik hening juga di terapkan dari pukul 21:30 hingga 07:30 pagi. Praktik hening periode ini yang paling sulit bagi mereka. Saya memberikan pengumuman kepada semua peserta retret yang berusia ABG itu, lalu mereka menjawab sudah mengerti.
Saya mencoba pastikan sekali lagi dengan bahasa yang lebih sederhana, dan kembali mereka menjawab dengan yakin bahwa sudah mengerti. Lalu saya menyampaikan, “Adik-adik memang sudah mengerti, tapi setelah keluar dari ruangan ini, adik-adik tetap saja ribut lagi, apakah ini yang namanya sudah mengerti?” Mereka terdiam seribu bahasa.
Baru semenit bubaran, mereka sudah ribut tidak karuan. Mereka ke ruang makan, melakukan ritual sebelum tidur yaitu minum sereal dan makan biskuit sebelum tidur, tebak apa yang terjadi? Benar, suasana ruang makan seperti pasar! Ketika saya tiba di ruang makan, mereka langsung senyap, lalu ada yang menyeletuk, “tercyduk!” Saya pun ketawa dan menghela napas panjang. Saya bilang, “Adik-adik, Saya bukanlah polisi. Silakan minum dan makan biskuit, tapi janganlah ribut, mereka angguk-angguk senyam-senyum kemudian melanjutkan keributan mereka.” Oh my goodness, tepok jidat!
Berjalan Acak
Saya pikir memang demikian adanya, usia ABG tampaknya merupakan masa-masa yang juga menjadi tantangan besar bagi orang tua untuk berkomunikasi dengan mereka. Orang tua juga sering mengeluhkan hal demikian, dan mereka mengira dengan mengirimkan anaknya ke retret bisa “langsung” merubah sikap anaknya. Ketahuilah tidak ada yang instan! Namun dalam retret hal demikian menjadi pencerahan sangat menggugah bagi anak-anak, sehingga itu menjadi langkah pertama perubahan. Tak heran kalau orang tuanya masih ingin mengirimkan anaknya untuk ikut retret. Terutama retret remaja yang diadakan Wihara Ekayana Arama.
Hal lain yang menarik dalam observasi saya adalah ketika saya memberikan instruksi untuk berjalan secara acak. Saya memberikan instruksi, “Adik-adik, setelah mendengar suara genta, silakan berjalan secara acak di ruangan ini”. Coba tebak apa yang terjadi? Mereka binggung dan tetap tidak bergerak, mereka berdiam di tempat saja.
Saya juga ikutan binggung. Lalu saya bertanya kepada mereka, “Adik-adik mengerti instruksi saya?” Mereka tidak menjawab, hanya saling senyum dan saling menatap satu sama lainnya. Saya tanya lagi, “Adik-adik mengerti apa itu berjalan secara acak di ruangan ini?” Mereka menjawab mengerti! “Lalu kok diam saja?” Kembali lagi mereka saling tersenyum dan saling menatap, seolah-olah “jalan acak” itu sesuatu yang sulit dilakukan, atau mereka mengira saya sedang bercanda?
Akhirnya mereka berjalan acak setelah saya ulang beberapa kali. Saya sedang berpikir apakah berjalan acak itu merupakan sesuatu yang sangat sulit dilakukan? Apakah Anda pernah mencoba berjalan acak? Apakah Anda merasa sulit melakukannya? Lalu gejala yang muncul pada anak-anak itu bermakna apa? Terus terang, saya belum tahu.
Observasi Isi Otak
Saya menduga ada sesuatu yang terjadi dalam otak mereka. Mungkin saya harus pakai tombol-tombol tertentu yang mirip dengan layar smartphone, atau tombol “home”, “back” dan lain-lain agar mereka bisa menerjemahkan instruksi saya? Saya hanya menduga-duga saja, apa isi kepala Kids Zaman Now? Game online? Layar sentuh? Facebook? Instagram? Youtube? Selfie?
Sungguh menarik untuk mengobservasi hal-hal kekinian pada generasi muda zaman now, agar saya sedikit lebih mengerti lagi tentang mereka. Anda juga boleh ikut mengobservasi, lalu bantulah mecari solusi-solusi yang sekiranya bisa membantu mereka. Ingatlah bahwa mereka butuh bantuan, bukan omelan!
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
Haha, pengalaman Bhante tangani ABG retret sdh membuat tepok jidat, itu masih bagus. Saya tangani 3 ABG yg sdh saya berikan beasiswa SMK sambil kerja di luar negeri, ulah ABG dan orangtuanya sdh cukup membuat saya dpt penyakit darah tinggi. Namun sy berterima kasih balik lagi ke breathing in, out dan meditasi melepas, penyakit saya bisa segera hilang. Jadi, saya pun belajar, kita jelaskan manfaat dan ganjarannya. Berikan saja pilihan u mereka memilih. Dan tanggung sendiri konsekuensinya. Saya minta mereka praktikkan sendiri Abhinhapaccavekkhana. Saya pun relieve dan tdk stress lagi. Semoga dapat pencerahan, bhante:)