Masih segar di ingatanku, saat itu merupakan tahun-tahun awal memperdalam meditasi di Plum Village. Pagi itu aku beranjak dari kamar berjalan menuju aula meditasi. Sepanjang jalan setapak berkerikil yang memang ciri khas Plum Village Perancis. Setiap langkah menimbulkan suara gemericik, setiap beberapa langkah aku menghirup napas, dan beberapa langkah lagi mengembuskan napas. Inilah cara kami menerapkan meditasi jalan.
Tiada sesuatu yang khas pagi itu. Hari demi hari dilewati dengan penuh keheningan, hati terasa semakin bening, pikiran semakin jernih. Masuk ke aula meditasi, merangkapkan kedua belah tangan, melantunkan gatha masuk aula meditasi di dalam hati. Berjalan pelan menuju matras duduk.
Aku membungkuk hormat ke arah altar, lalu ke mantras dan bantal meditasi sebagai simbol meminta izin untuk duduk. Setelah mengatur posisi duduk tegap, kaki terlipat dalam posisi setengah teratai, memejamkan mata lalu mulai memperhatikan napas. Ini sudah menjadi rutinitas setiap pagi.
Bayangan Mama
Mengamati napas masuk dan napas keluar, menyusuri napas masuk dan napas keluar, relaksasi badan sudah menjadi kegiatan setiap hari. Tiba-tiba muncul bayangan mama, tapi hanya sebentar saja lalu lenyap lagi. Mungkin bayangan itu ada hubungannya dengan kemarin melihat seorang mama bermeditasi jalan menggandeng tangan anaknya.
Aku kembali lagi ke napas, beberapa kali untuk hadir di sini dan saat ini. Dalam kegelapan muncul seorang anak kecil dalam pikiranku, dia sedang dibujuk untuk memakai pakaian kuno yang merupakan simbol berkabung dari tradisi Tiong Hoa. Sontak terkejut, itu adalah aku sendiri.
Aku menolak karena pakaian itu jelek dan aneh, setelah dibujuk beberapa kali tetap saja saya tidak mau. Kakakku sudah kehilangan kesabarannya, dia menggendongku ke kamar sebelah lalu memaikaikan pakain itu dengan paksa, saya berontak, dan meraung-raung, aku kembali digendong dan di taruh di depan mama yang sedang terbaring.
Mama terbaring berada tepat di depanku, ranjang itu pendek, semua orang di sekitar sedang menangis, dan aku juga menangis. Aku tidak tahu mengapa semua orang di sekitar menangis, sedangkan aku menangis karena pakaian jelek itu.
Aku menangis dan terus menangis. Tak lama kemudian, aku pun lelah lalu berhenti menangis. Aku sudah mulai terbiasa dengan pakaian “jelek” itu. Sambil mengusap air mata seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Demikianlah pikiran seorang bocah berusia sekitar 4 tahun.
Kembali ke Masa SD
Aku kembali ke napas lagi seketika itu. Itu adalah bayangan masa lalu, aku mencoba untuk kembali ke momen kekinian. Setelah beberapa kali napas, hati terasa sedikit sesak, karena bayangan itu membuat aku sedih.
Tak lama kemudian, dari kegelapan muncul dalam bayangan pikiran, aku serasa kembali ke masa sekolah zaman dahulu. Aku mengenakan celana pendek dengan atasan putih, dan bawahan merah, terlihat sedang berjalan pulang dari sekolah. Teman-teman sekolah banyak yang dijemput oleh orang tuanya, mengapa aku selalu pergi sendirian dan pulang juga sendirian? Aku yang masih berusia remaja pada saat itu mulai bertanya-tanya, mengapa orang lain punya orang tua, lalu aku tak punya?
Sekali lagi aku menarik napas panjang, berusaha membawa pikiran kembali ke saat ini. Meditasi berarti kembali ke saat ini, kembali ke aula meditasi, kembali ke bantal meditasi. Hatiku terasa semakin berat. Ada potongan cerita dalam hidupku yang tak begitu aku mengerti.
Memberanikan Diri
Aku merasan heran. Setelah beberapa kali menenangkan diri, aku memberanikan diri untuk megunjunggi bocah kecil yang berusia 4 tahun itu lagi, ia sedang menangis dan menangis. Penglihatan saya mulai sedikit lebih jernih, semua orang disekitar sedang menangis karena mamaku sedang terbaring tanpa nyawa, sedangkan aku menangis karena pakain jelek. Alasan mereka menangis dan alasan aku menangis sangatlah berbeda.
Anak malang, itulah diriku, merasa malu dan bodoh! Aku juga memberanikan diri mengunjungi diriku yang remaja, ketika harus berjalan kaki pulang dari sekolah sendirian, tidak ada orang yang menjemputku. Aku melihat banyak teman-teman dijemput oleh orang tuanya, sedangkan aku harus berjalan sendirian. Anak remaja yang merasa sangat iri melihat orang lain. Mereka punya orang tua, kenapa aku harus kehilangan orang tua sejak kecil?
Anak itu Menangis
Aku melihat adegan itu begitu jelas, serasa sedang menonton film. Aku tahu pikiran sudah terseret jauh. Sedetik itu juga pikiranku kembali lagi ke aula meditasi, sambil bernapas masuk dan bernapas keluar. Mataku mulai berkaca-kaca.
Air mata membasahi pipiku. Aku mencoba untuk menenangkan diri. Anak kecil yang berusia 4 tahun dalam diriku itu menangis lagi, kali ini bukanlah karena baju yang jelek itu, kali ini aku menangis untuk mamaku.
Hatiku merasa sedikit lega. Air mata itu telah tertunda lama. Aku merasa bersyukur meditasi duduk pagi itu telah menyembuhkan bocah 4 tahun itu, air mata yang berlinang itu telah menjadi penyembuhan hati. Akhirnya aku telah sepenuhnya menerima kenyataan bahwa mamaku telah pergi. Dulu, aku menerima kepergiannya sebatas otak dan mulut saja, tapi hatiku selalu menyangkal kenyataan itu, itulah derita yang terpendam sejak lama.
Mama Dalam Diriku
Aku adalah kelanjutan dari mamaku, mama tidak pergi kemana-mana, mama masih ada dalam diriku. Aku kadang mengajak mama dalam diriku berbincang-bincang, ketika aku lelah, ketika aku kehilangan arah hidupku, aku meminjam pundaknya untuk menyandarkan kepalaku, begitulah mamaku membawa aku kembali ke saat ini.
Demikianlah aku menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang partisipan retret di Yang Zhou, Tiongkok. Dia bertanya bagaimana benar-benar bisa menerima kematian seseorang yang dikasihi. Aku diselamatkan oleh meditasi duduk. Aku melihat banyak peserta yang meneteskan air mata. Aku tahu, air mata itu bukanlah air mata kesedihan tapi itu adalah air mata penyembuhan.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.