Tuan Tanah “Mèng Cháng Jūn” (孟嘗君), lahir pada tanggal 5 bulan 5 lunar di keluarga mapan. Saat itu masih “Zaman Perang Kerajaan” 戰國時代 (Zhànguó Shídài). Ada peramal bilang anak itu akan membawa malapetaka besar ketika tinggi tubuhnya setinggi pintu rumah.
Mèng Cháng Jūn sejak kecil telah diusir dari rumahnya. Dari keluarga serba ada menjadi serba tiada, dia harus menyesuaikan diri dengan dunia baru. Syukur sekali, Mèng Cháng Jūn di asuh oleh Bái Guī (白圭) yang merupakan pengusaha kawakan di zaman itu.
Keahlian Bái Guī menurun kepada Mèng Cháng Jūn sehingga dia sendiri menjadi tuan tanah sekaligus salah satu dari empat tokoh masyarakat ternama (戰國四公子: Zhànguó sì gōngzǐ) pada saat itu.
Menghargai Kejujuran
Ada seorang pemuda bernama Féng Nuǎn (馮煖). Pemuda miskin, madesu, di rumahnya hanya ada seorang ibu tua renta. Dia menggunakan koneksi temannya untuk bekerja dengan Tuan Tanah Mèng Cháng Jūn.
Féng Nuǎn bersama temannya menghadap Tuan Tanah untuk di interview. Tuan Tanah bertanya, “Anda punya keterampilan apa?” Féng Nuǎn menjawab, “Saya tidak punya keterampilan apa pun.”
Karena Féng Nuǎn adalah rekomendasi dari pegawai teladannya, jadi sang Tuan Tanah ingin mencari alasan untuk mempekerjakannya. “Lalu, Apa yang bisa engkau kerjakan untuk saya?” lanjut tuan tanah. Dengan gaya polos dia membalas, “Em…. Tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk Tuan.”
Tuan Tanah tertawa lebar. Ini orang mau cari pekerjaan, tapi kok begini jawabannya? Tapi, Tuan Tanah menghargai kejujurannya. Lalu memutuskan untuk tetap mempekerjakannya.
Banyak orang yang tidak suka dengan Féng Nuǎn karena tak punya jobdesk yang jelas. Sementara ribuan pekerja lainnya masing-masing punya pekerjaan rutin yang harus dibereskannya.
Menagih Hutang
Tuan Tanah ingin menagih hutang dari warga Dusun Xue (薛). Dia butuh kandidat yang teliti, bisa mencatat semua tagihan dengan rapi dan jelas.
Féng Nuǎn mengajukan diri. Tuan Tanah tidak berpikir dua kali langsung menyetujuinya, “Baiklah, kamu akan mewakili saya untuk menagih hutang itu, mereka sudah menunggak lama sekali.”
Féng Nuǎn pun mempersiapkan semua bukti tagihan, kemudian meminta beberapa pengawal untuk pergi bersamanya. Dia bertanya kepada Tuan Tanah, “Setelah selesai menagih semua hutang itu, apakah Tuan ingin dibelikan sesuatu?”
Tuan Tanah bilang, “Kamu lihat saja sendiri, di rumah ini ada kekurangan apa, maka kamu belikan saja.”
Hidup Tuan Tanah
Tibalah Féng Nuǎn di Dusun Xue. Semua masyarakat berkumpul untuk melunasi hutangnya satu per satu. Dia melihat masyarakat begitu miskin, ada yang bayar sedikit, bahkan ada yang tidak sanggup bayar sama sekali. Duit yang tertagih juga tidak seberapa.
Féng Nuǎn bangkit lalu memberikan pengumuman, “Atas perintah Tuan Tanah, saya mengembalikan semua uang yang baru Anda setorkan tadi.” Masyarakat begitu bingung sambil belum bisa percaya apa yang barusan mereka dengar.
Belum pernah ada kejadian seperti ini sebelumnya. Lebih shock lagi, Féng Nuǎn mengambil semua bukti tagihan, lalu dia bakar. Dia pikir lebih baik membebaskan tagihan tahun ini daripada memperpanjang tunggakan. Semua warga bersorak gembira, “Hidup Tuan Tanah! Hidup Tuan Tanah!”
Beli Apa?
Féng Nuǎn kembali ke kota memberikan laporan. Tuan Tanah heran lalu bertanya “Kenapa kamu begitu cepat pulang? Tagihan sudah beres?” “Sebagian sudah beres.” Balas Féng Nuǎn. “Bagus!” jawab Tuan Tanah. “Lalu apa yang engkau belikan untuk saya?”
“Tuan meminta saya melihat di rumah ini ada kekurangan apa, tapi saya melihat rumah kita sudah serba ada. Satu-satunya yang Tuan butuhkan adalah ‘budi’ (義), jadi saya membelikan ‘budi’ untuk Tuan.”
Tuan Tanah rada binggung lalu bertanya, “Apa maksudmu membeli ‘budi‘ untuk saya?” Dia tahu “budi” memiliki banyak maknanya, tapi bagaimana mungkin membeli “budi” sebagai barang?
Féng Nuǎn menjelaskan, “Tuan adalah penguasa di area ini, Tuan Tanah berarti ayah dari masyarakat. Warga di Dusun Xue sangat kesulitan, jadi saya meminjam nama Tuan untuk mengumumkan bahwa semua setoran dikembalikan kepada warga, lalu semua bukti tagihan juga saya bakar. Warga sangat bahagia bersorak-sorak ‘Hidup Tuan Tanah!’ Begitulah caranya saya membelikan ‘budi’ untuk Tuan.”
Tuan Tanah tidak begitu berkenan dengan “budi” yang dibeli itu. Sebetulnya, Tuan Tanah sangatlah kaya dan uang tagihan segitu tidaklah seberapa baginya. Dia berharap mendapatkan “sesuatu” tapi sekarang “tak ada sesuatu apa pun.”
Sekarang Saya Tahu
Kekuasaan Tuan Tanah semakin hari semakin besar, pengaruhnya juga semakin luas. Pergolakan kerajaan membuat raja menarik dukungannya. Beberapa musuhnya mulai menyerang, keluarga Tuan Tanah berada dalam kondisi bahaya.
Melihat situasi genting seperti itu, Féng Nuǎn sekali lagi mengajukan diri untuk menyelamatkan situasi, walaupun dia sendiri belum ada ide jelas. Tuan Tanah juga tidak ada pilihan lain, hanya pasrah menyerahkan sepenuhnya kepadanya.
Féng Nuǎn panggil beberapa pengawal, mengatur skenario untuk kabur ke Dusun Xue. Tak lupa, dia sudah kirim satu pengawal untuk memberitahu kedatangan Tuan Tanah. Ketika mereka berhasil kabur dan tiba di Dusun Xue, semua warga dusun keluar untuk menyambut kedatangannya. Tua, muda, pria, wanita, dan anak-anak, ada ratusan orang datang menyambutnya.
Tuan Tanah mulai sadar, inilah tempat tepat baginya. Warga sudah menyiapkan tempat nyaman dan aman untuk keluarganya. Dia sudah bisa bernapas lega lagi setelah melewati masa genting itu. Dia panggil Féng Nuǎn lalu bilang, “Sekarang saya sudah tahu, inilah ‘budi’ yang engkau beli setahun lalu.”
Budi bukan saja sekadar kebajikan atau kebaikan, namun juga melakukan hal yang tepat, dengan cara yang tepat, dengan alasan yang tepat pula. Anda tidak perlu pintar dalam membeli budi, yang Anda butuhkan adalah hati.
Budi tidak akan kemana-mana, Anda tidak perlu risau, karena budi akan terbalas nantinya, tentu saja pada waktunya yang tepat.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.