Jika tahun ini Anda berusia 25 tahun. Apakah itu benar? Barangkali Anda boleh berpikir ulang, tentang kebenaran angkar 25 itu. Usia Anda dihitung dari tanggal lahir, sehingga dapatlah angka itu. Ada orang pedesaan kadang tidak pernah peduli dengan tanggal lahir anaknya, jadi anaknya juga tidak pernah memiliki akta lahir.
Suatu hari ketika mereka membutuhkan dokumen untuk sekolah, barulah orang tuanya kalang kabut. Jadi, orang tuanya sembarang menyebut tanggal lahirnya, tadaa…… jadilah itu tangggal lahirnya. Syukur-syukur kalau tahun masih sama, jika meleset, usia Anda bisa saja berubah, bukan 25 lagi.
Usia tampaknya hanyalah angka kesepakatan saja. Jika Anda setuju dan sepakat, yah itulah usia Anda. Mengapa sepakat dan setuju? Karena itu sudah menjadi kesepakatan umum. Kalau Anda tidak sepakat dan setuju dengan sistem perhitungan itu bolehkah? Boleh saja! Palingan nanti Anda dianggap orang aneh.
Manusia menghitung 1 tahun 365 hari, Anda kasih diskon 50% dengan alasan ini dan itu. Jadi usia Anda menjadi 12,5 tahun, bukan 25 tahun lagi. Siapa tahu suatu hari nanti semua manusia di muka bumi ini setuju dan sepakat dengan cara perhitungan baru itu, jadilah semuanya ikut mendiskon umurnya.
Ada seorang wanita. Dia baru menikah beberapa tahun. Mereka aktif di organisasi sosial dan spiritual. Tidak lama kemudian suaminya meninggal dunia karena wabah virus mematikan, saat itu suaminya berusia 33 tahun. Wanita itu sangat sedih, merasa kesepian. Dia mencoba menutupi kesedihan hatinya lewat kegiatan-kegiatan sosial, bahkan sangat aktif.
Dia begitu yakin apabila nanti meninggal dunia maka dia akan bertemu kembali dengan suaminya di surga. Itulah alasan dia ikut aktif dalam organisasi sosial dan spiritual. Berbekal keyakinan itu, dia terus melayani banyak orang, berbuat baik, dan ikut berkontribusi dalam amal kebaikan.
Bertahun-tahun kemudian. Wanita itu sudah berusia 70 tahun, masih tetap semangat dalam kegiatan amal kebaikan. Dia masih memegang teguh kepercayaan bahwa dia akan bertemu kembali dengan suaminya di surga nanti.
Suatu hari, wanita itu bertemu dengan seorang guru. Wanita itu bercerita tentang kegiatannya, dan sampai pada kisah sedih suaminya meninggal dunia pada usia 33 tahun karena wabah virus yang mematikan.
Guru bijaksana itu mengapresiasi semua kebaikan yang dia persembahkan kepada banyak orang. Sang guru juga menyatakan berduka atas kepergiaan suaminya sejak lama. Ternyata kepergian suaminya memberi dorongan besar untuk semakin aktif dalam amal kebaikan.
Lalu, guru itu melontarkan satu pertanyaan kepada wanita itu, “Suatu hari nanti, ketika Anda meninggal dunia, pergi ke surga bertemu dengan dia, pada saat itu suami Anda berusia 33 tahun atau 70an tahun?”
Wanita itu terkejut. Belum pernah terlintas dalam pikirannya pertanyaan seperti itu. Dia hanya memiliki keyakinan kuat bahwa dia akan bertemu dengan suaminya lagi, tak pernah berpikir tentang usia. Keyakinan itu kadang simpel, begitu simpel. Tidak baik juga tidak buruk, namun sesuai dengan kondisi yang matang pada saat itu.
Keyakinan itu mendapat tantangan baru. Apakah Anda siap menghadapi tantangan itu? Atau melarikan diri? Itu sepenuhnya terserah Anda. Sesungguhnya, suaminya yang berusia 33 tahun itu masih ada dalam hatinya, seolah-olah dia tidak pernah meninggal dunia, Anda bisa selalu bersentuhan dengannya, bertemu dengannya. Anda tidak perlu menunggu sampai meninggal dunia untuk bertemu dengannya lagi.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.