Dahulu kala ada seorang master Zen bernama Bankei Yōtaku (盤珪永琢). Setiap kali Master Bankei memberikan wejangan Dharma selalu dipenuhi oleh banyak orang. Mengapa? Karena dia selalu berbagi dari lubuk hatinya yang paling dalam, dari pengalaman nyata realisasi pribadi.
Berkat ketulusannya, Master Bankei menjadi salah satu master tersohor di Jepang. Ada beberapa master Zen yang juga terkenal di Jepang seperti Master Zen Hakuin dan Master Zen Dogen. Mereka termasuk master yang memberikan banyak sumbangsih bagi perkembangan agama Buddha di sana.
Ketenaran Master Bankei berbeda dengan ketenaran para artis. Masyarakat mengaguminya karena realisasinya dalam praktik Dharma, bukan karena dia berparas ganteng, bukan karena memiliki suara merdu, juga bukan karena gelarnya lebih panjang daripada namanya.
Realisasi Dharma
Di situ ada ketenaran, maka di situ juga ada kecemburuan. Ada seorang kepala biara dari Sekte Nicheren merasa terancam, karena pengikutnya satu per satu beralih ke Master Bankei. Kepala biara itu menduga-duga, apa yang dilakukan oleh Master Bankei ini sehingga semua orang seolah-olah tersihir oleh minyak nyong-nyongnya.
Master Bankei bukanlah tipe cendekiawan. Tidak ada gelar apa pun di depan atau belakang namanya, apalagi doktor atau professor. Setiap wejangan Dharma juga tidak mengutip dari kitab suci. Setiap wejangan bersumber dari pengalaman sehari-harinya.
Kepala biara dari Sekte Nicheren itu semakin hari semakin kesal, marah, dan dongkol. Dia adalah seorang cendekiawan kondang dengan berbagai gelar akademis, dia dipuja dan dipuji oleh para umatnya. Sekarang dia resah dan sedih bagaikan air diminum rasa duri, nasi dimakan rasa sekam.
“Di situ ada ketenaran, maka
di situ juga ada kecemburuan.”
Ditantang Debat
Suatu hari, kepala biara itu ingin mempermalukan Master Bankei lewat perdebatan. Ia hadir dalam acara wejangan Dharma dari Master Bankei di Biara Sanyūji, Prefektur Okayama. Setiba di sana, kepala biara itu berteriak lantang, “Hei Master Zen, kamu kira bisa membohongi semua umat di sini?” semua hadirin tersentak kaget.
“Aku akan membongkar semua kebohonganmu hari ini,” lanjut sang kepala biara itu. “Semua umat di sini hadir hanya karena menghormatimu. Tapi, Aku tidak menghormatimu sama sekali.” Suasana menjadi semakin tegang dan panas, seolah-olah akan terjadi perdebatan sengit.
“Apakah engkau bisa membuat saya tunduk kepadamu?” Tantang kepala biara itu dengan suara semakin lantang. Master Bankei hanya tersenyum melihat tamu uniknya itu, sambil berpikir bagaimana bisa mendamaikan situasi.
Manut Saja
Master Bankei hening sejenak, lalu mengibas-ngibaskan kipasnya seraya berkata, “Baiklah kawan, jika engkau ingin berdebat dengan saya, maka engkau harus naik ke panggung sini.” Kepala biara itu tidak berpikir dua kali langsung tancap gas menuju panggung.
“Ke sini sedikit lagi, biar lebih dekat, di samping sebelah kiri saya,” lanjut Master Bankei. Kepala biara itu mendekat tanpa berpikir panjang. “Oh tampaknya sebelah kiri kurang cocok, sebaiknya Anda ke sebelah kanan saja, biar saya bisa melihat Anda lebih jelas,” begitu kata Master Bankei.
Sang kepala biara itu manut saja, dia pun berpindah dari sebelah kiri ke sebelah kanan, kemudian duduk di kursi yang ada di situ. Lalu, Master Bankei melanjutkan, “Nah, sudah bagus. Lihatlah, sejak tadi Anda sudah tunduk pada perintah saya.”
Wajah sang kepala biara itu tiba-tiba menjadi pucat pasi. Master Bankei melanjutkan, “Saya yakin, Anda adalah seseorang yang memiliki sifat baik dan bijaksana.” Suasana tiba-tiba menjadi sejuk, seolah-olah barusan turun hujan membasahi bumi yang sedang kering kerontang tadinya.
Tidak Jadi
Suasana mencekam mulai mereda, raut wajah sang kepala biara yang terlihat dongkol sudah mulai berubah menjadi adem. Dia mendapat tempat duduk terhormat di sebelah kanan Master Bankei.
Akhirnya, dia mengurungkan niatnya untuk berdebat, malahan mendengarkan wejangan Dharma dari Master Bankei dari awal hingga akhir. Di penghujung acara, mereka berdua menjadi sahabat baik.
Ini adalah kemenangan besar bagi umat manusia. Hidup untuk menambah teman, bukan menambah lawan. Jangan biarkan kedongkolan menyeretmu seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Dalam kondisi demikian, Anda bukanlah tuan rumah bagi dirimu sendiri.
Kerbau itu diseret ke utara, ke selatan, tanpa bisa berbuat apa pun. Anda menjadi budak dari kedongkolan, kemarahan, kekesalan, kekecewaan, dan kecemburuan. Sungguh sebuah tragedi kehidupan.
Selalu Membumi
Sering-seringlah “berhenti”, luangkan sedikit waktu untuk menarik napas masuk panjang lalu napas keluar panjang, Anda boleh mundur beberapa langkah untuk melihat situasi dari sudut padang yang berbeda, barangkali perspektif Anda akan berubah.
Dalam keadaan demikian, matamu akan lebih bening melihat situasi, pikiranmu juga akan lebih jernih menganalisas situasi. Jika kamu membiarkan kedongkolan terus menyeretmu pergi, nanti kamu sendiri yang akan dipermalukan.
Tatapan boleh saja ke langit untuk melihat bintang dan bulan, namun kakimu harus tetap kokoh di bumi, selalu rendah hati, dan selalu membumi.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.