Janji Teratai
Putri Yasodhara mengundang Buddha, Kaludayi, Nagasamala, dan Ratu Prajapatti untuk makan bersama di tempatnya. Setelah selesai makan, Putri Yasodhara mengundang semuanya berkunjung ke dusun miskin, tempat yang selalu ia kunjungi untuk memberikan bantuan kepada anak-anak. Rahula juga ikut bersama mereka. Putri Yasodhara memandu mereka menuju pohon jambu air, di situlah Siddharta muda duduk bermeditasi pertama kalinya. Buddha merasa kagum, seolah-olah kejadian itu baru terjadi kemarin, padahal sudah 27 tahun yang lalu, pohon jambu air itu sudah tumbuh besar.
Yasodhara mengisahkan bahwa anak-anak yang ia temui waktu itu sudah dewasa dan sekarang mereka sudah berkeluarga. Ketika mereka tiba di sana, banyak anak-anak yang sudah berkumpul sesuai permintaan Putri Yasodhara, anak-anak berkisar umur 7 hingga 12 tahun, ketika anak-anak itu melihat kedatangan Buddha, mereka berhenti bermain dan mereka membentuk dua baris kebelakang untuk menyambut kedatangan Buddha, Buddha berjalan di tengah. Ternyata Putri Yasodhara sudah mengajarkan mereka bagaimana menyambut kedatangan Buddha, mereka juga sudah meletakkan kursi yang terbuat dari bambu di bawah pohon jambu air itu, kemudian mereka juga membentangkan tikar buat Gotami, Yasodhara, dan dua orang biku.
Buddha sangat bahagia duduk di sana. Buddha teringat waktu dulu ia pernah menemani anak-anak miskin di desa Uruwela. Buddha menceritakan kisah tentang pengembala sapi yang bernama Swasti, seorang gadis muda bernama Sujata yang memberikan susu kepadanya. Buddha juga mengajarkan bagaimana memberikan nutrisi hati yang penuh cinta kasih dengan cara memperdalam pengertian kita, dan kemudian Buddha juga menceritakan kisah tentang bagaimana dia menyelamatkan angsa yang di panah oleh sepupunya. Anak-anak mendengarkan kisah-kisah itu dengan penuh antusias.
Buddha memberi isyarat kepada Rahula agar duduk di depannya, kemudian Buddha menceritakan sebuah kisah di zaman lampau.
“Zaman dahulu kala, di kaki pegunungan Himalaya, hidup seorang pemuda bernama Megha. Pemuda yang sangat baik hati dan rajin. Walaupun tidak punya uang sama sekali, ia bertekad untuk pergi ke kota untuk belajar. Dia membawa sebatang tongkat, topi, dan kendi air, pakaian yang dia kenakan saat itu, beserta sebuah mantel. Dipertengahan jalan, ia berhenti di berbagai tempat dan bekerja di sawah untuk mendapatkan sejumlah nasi atau uang. Ketika dia sudah tiba di pusat kota Divapati, dia sudah mendapatkan 500 rupee.
Ketika dia masuk ke kota, tampaknya orang kota sedang melakukan persiapan untuk perayaan penting. Terdorong oleh rasa ingin tahu, Megha mencoba untuk mencari tahu dari orang disekitarnya. Tidak lama kemudian muncul seorang gadis cantik yang membawa karangan bunga dan beberapa bunga teratai yang baru mulai mekar.
Megha lantas bertanya kepadanya, ‘Ada perayaan apa hari ini?’
Gadis itu menjawab, ‘Anda pasti bukan orang kota Divapati, hari ini seorang guru besar beranama Dipankara yang sudah mencapai pencerahan sempurna akan tiba di kota ini. Beliau disebut sebagai orang yang menerangi jalan kepada semua makhluk. Beliau adalah anak dari Raja Arcimat, pangeran yang meninggalkan istana untuk mencari pembebasan sejati dan akhirnya dia telah menemukannya. Jalur pembebasan itu menerangi seluruh dunia dan seluruh masyarakat mengadakan perayaan untuk menyambut kedatangannya.’
Megha sangat terharu mendengar kedatangan seorang guru yang sudah tercerahkan. Dia juga ingin memberikan persembahan kepada guru tersebut dan ingin menjadi muridnya. Megha bertanya kepada gadis itu, ‘Berapakah harga bunga teratai yang ada ditanganmu?’
Gadis itu menatap Megha dan dengan mudah terlihat bahwa Megha adalah seorang pemuda yang cemerlang dan berbudi luhur. Gadis itu menjawab, ‘Saya hanya membeli 5 kuntum bunga teratai, 2 kuntum lagi saya petik dari kolam di rumahku’
Megha bertanya lagi, ‘Berapakah harga lima batang bunga teratai itu?’
Gadis itu menjawab, ‘500 rupee’
Megha ingin membeli 5 kuntum bunga dengan uang 500 rupee yang sudah ia kumpulkan, ia ingin mempersembahkan bunga itu kepada Buddha Dipankara. Namun gadis itu menolak dengan mengatakan, ‘Saya membeli bunga ini untuk dipersembahkan langsung kepada Buddha Dipankara, saya tidak punya niat untuk menjualnya kepada orang lain’
Megha mencoba untuk membujuknya. ‘Tapi, kamu masih bisa mempersembahkan 2 kuntum teratai yang kamu petik dari kolam. Mohon juallah 5 kuntum bunga teratai itu, saya sungguh ingin mempersembahkan sesuatu kepada Buddha Dipankara. Sungguh suatu kesempatan langka dan berharga bisa bertemu dengan guru besar dalam kehidupan ini. Saya ingin bertemu dengan beliau dan menjadi muridnya. Jika kamu bersedia menjual lima kuntum bunga teratai itu, saya akan sangat berterima kasih kepadamu seumur hidupku’
Gadis itu menunduk dan tidak menjawab.
Megha memohon dengan sedikit mendesak, ‘Jika kamu menjual 5 bunga teratai itu, saya akan melakukan apa pun yang engkau minta’
Gadis itu sedikit merasa malu tersipu-sipu. Dia terus menunduk dan tidak berani mengalihkan tatapannya untuk waktu yang cukup lama. Akhirnya ia bilang, ‘Saya sungguh tidak tahu kita punya hubungan apa di kehidupan sebelumnya, tapi saya sudah jatuh cinta kepadamu saat pertama saya melihatmu. Saya bertemu banyak pemuda, namun hatiku tidak pernah berdetak sedemikian hebatnya. Saya akan memberikan bunga ini kepadamu agar kamu bisa mempersembahkannya kepada Buddha, dengan syarat kamu harus berjanji bahwa dalam kehidupan ini maupun kehidupan akan datang, saya selalu menjadi istrimu.’
Gadis itu tergesa-gesa menuturkan kata-kata itu dan hampir kehabisan napasnya ketika selesai berbicara. Megha binggung dan tidak tahu harus bicara apa. Setelah sekian lama terdiam, Megha membalas, ‘Kamu sungguh istimewa dan jujur. Ketika Saya melihatmu, saya juga merasa ada sesuatu yang istimewa dalam hatiku. Namun saya ingin mencari jalan pembebasan. Jika saya menikah, saya tidak bebas untuk pergi mencari jalan pembebasan ketika kesempatan tepat telah hadir’
Gadis itu menjawab, ‘Saya janji akan menjadi istrimu dan saya juga berjanji apabila waktu yang tepat sudah tiba bagimu untuk mencari jalan pembebasan, saya tidak akan menghalangimu. Sebaliknya, saya akan melakukan apa pun untuk membantumu mencapai tujuanmu’
Megha dengan senang hati menerima lamaran itu, dan mereka pergi bersama untuk bertemu dengan Buddha Dipankara. Kerumuman orang sungguh banyak, mereka berdua tidak bisa melihat Buddha sama sekali. Namun apabila berkesempatan hanya melihat sepintas lalu saja dan tahu bahwa itulah orang sempurna, itu saja sudah cukup bagi Megha. Megha begitu penuh dengan kebahagiaan dan bertekad bahwa suatu hari nanti ia juga ingin mencapai pencerahan sempurna. Mereka berusaha untuk maju ke depan agar bisa mempersembahkan bunga kepada Buddha, namun sungguh tidak mungkin untuk bergerak maju menembus tebalnya kerumuman orang. Dalam keadaan tidak tahu harus bagaimana, Megha melemparkan bunga itu ke langit menuju ke arah Buddha Dipankara, begitu ajaibnya bunga itu mendarat persis di tangan Buddha, Megha begitu gembira menyadari betapa murni hatinya. Megha meminta gadis itu juga melemparkan dua kuntum teratai itu kepada Buddha, dan persis mendarat di tangan Buddha, kemudian Buddha Dipankara meminta orang yang mempersembahkan bunga teratai itu untuk menunjukkan dirinya. Kerumuman orang membuka jalan buat Megha dan gadis itu. Megha menggenggam tangan gadis itu dan bersujud dihadapan Buddha. Buddha memandang Megha dan bilang, ‘Saya mengerti ketulusan hatimu. Saya melihat tekad besar hatimu untuk berlatih dalam jalur spiritual untuk mencapai pencerahan sempurna dan menolong semua makhluk, Tenanglah, suatu hari nanti kamu akan mencapai tujuanmu’.
Kemudian Buddha Dipankara melihat gadis muda yang ikut bersujud di samping Megha, Buddha bilang, ‘Kamu akan menjadi sahabat paling dekatnya dalam kehidupan ini dan banyak kehidupan akan datang. Ingatlah untuk menetapi janjimu. Kamu akan membantu suamimu untuk mengapai cita-citanya’.
Megha dan gadis muda itu sangat tersentuh atas kata-kata Buddha. Mereka berdua mencurahkan sepenuh hatinya untuk belajar dan berlatih jalur menuju pembebasan yang diajarkan oleh Buddha Dipankara.”
Anak-anak, dalam kehidupan itu dan kehidupan selanjutnya, Megha dan gadis itu selalu menjadi suami istri. Ketika saatnya tiba bagi suami untuk pergi berlatih dalam jalur spiritual, istrinya membantu dengan berbagai cara. Istrinya tidak pernah mencegahnya. Oleh karena itulah, suaminya sangat berterima kasih kepada istrinya. Akhirnya, ia mencapai cita-citanya dan menjadi seorang yang telah tercerahkan sepenuhnya sebagaimana yang diprediksikan oleh Buddha Dipankara pada banyak kehidupan sebelumnya.
Anak-anak, harta kekayaan dan ketenaran tidak lebih penting daripada kehidupan ini. Harta kekayaan dan ketenaran begitu cepat sirna. Pengertian dan cinta kasih merupakan hal yang paling berharga dalam hidup ini. Apabila kamu punya pengertian dan cinta kasih, kamu akan tahu apa itu kebahagiaan. Megha dan istrinya selalu berbagi kebahagiaan dalam banyak kehidupan, terima kasih kepada pengertian dan cinta kasih. Dengan bermodalkan pengertian dan cinta kasih, kamu bisa menyelesaikan banyak hal.
Yasodhara beranjali dan sujud di depan Buddha. Yasodhara sangat tersentuh dan air mata berlinang di pipinya. Ia tahu walaupun Buddha menceritakan kisah itu kepada anak-anak, namun sesungguhnya kisah itu diperuntukkan kepadanya. Inilah cara Buddha berterima kasih kepada Yasodhara. Ratu Prajapatti memandang Yasodhara, dia juga mengerti mengapa Buddha menceritakan kisah itu. Ratu Prajapatti meletakkan tangannya di bahu Yasodhara dan berkata kepada anak-anak, “Apakah anak-anak sekalian tahu siapakah Megha dalam kehidupan ini? Dia adalah Buddha. Dalam kehidupan ini, dia telah mencapai pencerahan sempurna. Dan tahukan anak-anak sekalian, siapakah istri Megha dalam kehidupan ini? Tidak lain tidak bukan, dia adalah Yasodhara. Terima kasih kepada pengertiannya sehingga pangeran Siddharta berkesempatan untuk berlatih dalam jalur spiritual dan mencapai pembebasan. Kita seharusnya mempersembahkan terima kasih kepada Yasodhara.
Anak-anak begitu mencintai Yasodhara. Mereka menghadap Yasodhara dan bersujud dihadapannya untuk mengungkapkan rasa cinta dari hati yang paling dalam. Buddha juga sangat tersentuh. Beliau berdiri dan berjalan perlahan-lahan menuju wihara bersama Kaludayi dan Nagasamala.
Sumber: Old Path White Clouds, hal. 236 s.d. 241
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.