
Ananda adalah asisten Buddha Sakyamuni.
Hari itu, sebelum membabarkan Dharma, Ananda datang, bersujud, kemudian menyalakan sebatang dupa di hadapan Buddha.
Ananda berkata, “Guru, aku jatuh cinta pada seorang gadis“.
Buddha bertanya, “Seberapa dalam cintamu?“
Ananda membalas, “Dalam, sungguh mendalam, aku rela menjadi jembatan batu bertahan diterpa angin, di bawah terik matahari, basah kuyup diguyur hujan deras selama 500 tahun; demi gadis itu bisa berjalan sekali saja melewati jembatan batu itu.”
Buddha menghela napas panjang, “Ananda, ketika gadis itu berjalan melewati jembatan, Anda adalah jembatan batu, jadi tidak mungkin bisa hidup bersama gadis itu. Apakah engkau masih mau meninggalkan kehidupan suci ini kemudian menderita demi cinta?“
Ananda beranjali dan membungkuk lalu menjawab, “Aku rela!“
“Kalau begitu, pergilah!” Buddha membalas dengan lembut.
Lalu, Ananda berubah menjadi jembatan batu. Setiap hari dia harus bertahan diterpa angin, di bawah teriknya matahari, dan basah kuyup oleh hujan deras! Sementara gadis itu tidak kunjung kelihatan batang hidungnya.
Suatu hari, benar saja, gadis itu tiba-tiba muncul di ujung jembatan, berjalan dengan anggun, lembut, dan cepat. Sebelum Ananda bisa melihat dengan jelas, gadis itu sudah berjalan jauh hanya menyisakan bayang-bayang punggungnya saja. Ananda begitu kecewa, sedih, dan merasa kesepian berkepanjangan menunggu gadis itu kembali lagi.
Setahun telah berlalu. Saat itu musim semi. Hujan lembut rintik-rintik membasuh kesedihan Ananda. Sekali lagi, Ananda melihat gadis itu datang kembali. Gadis itu dengan payung di bahunya, berjalan pelan.
Dalam hati Ananda takjub, “Sungguh cantik.” Jantung Ananda berdetak cepat, sementara terlihat gadis itu menjinjing tas berat ditangannya. Saking beratnya, ia berhenti di tengah jembatan untuk menghela napas panjang.
Ananda berpikir, “Seandainya saja aku kembali menjadi manusia, aku akan membantu dia menjinjing tas itu.“
Sekejap itu juga, ada seorang pemuda tampan mendekat dan menawarkan dirinya untuk membantu. Gadis itu tersenyum lalu menyerahkan tas itu, lalu berbalik memayungi sang pemuda. Bersama-sama mereka berjalan melintasi jembatan batu itu.
Hati Ananda begitu perih. Ia berharap pemuda tampan itu adalah dirinya.
Tak berapa lama kemudian, gadis dan pemuda itu bergandengan tangan melewati jembatan batu lagi, demikianlah bunga tumbuh lalu layu, musim demi musim berlalu.
Gadis itu telah menjadi ibu. Ia sering berjalan melewati jembatan batu, kadang bersama satu anak perempuannya, kadang bersama satu anak laki-lakinya, kadang mereka bertiga.
Hari demi hari, ibu itu semakin tua. Derap langkahnya juga kian hari kian melambat. Raut wajah cantik jelita ibu itu pernah terpatri di dalam hati Ananda, sekarang memorinya kian hari kian sirna.
Suatu hari, suami istri itu kembali saling bergandengan tangan melewati jembatan batu itu, terlihat mereka sudah begitu tua renta dan uban memenuhi kepalanya.
Ananda melihat gadis yang pernah dia cintai itu, sekarang telah menjadi tua renta bersama suaminya, entah mengapa hati Ananda sudah tidak pedih lagi.
Tibalah hari ketika Ananda melihat wanita itu terakhir kali. Wanita itu mengikuti arak-arakan orang yang menggotong peti mati melewati jembatan batu. Wanita itu begitu sedih, sambil berjalan sambil menangis dan meneteskan air mata.
Ananda merasa kasihan pada wanita itu. Dalam hati, Ananda bertanya, “Mengapa manusia harus mendera rasa duka perpisahan dan kematian? Apa yang bisa kulakukan untuk membantu mereka?“
Generasi silih berganti, anak, cucu, dan cicit dari wanita itu semuanya selalu melewati jembatan batu itu. Suka dan duka silih berganti dan berulang kembali.
Ananda menatap mereka satu persatu, ada yang datang dan ada yang pergi, hatinya tidak terasa sentimental lagi. Hatinya damai, ia bahkan sudah lupa alasan mengapa dia menjadi jembatan batu.
Berselang 500 tahun telah berlalu, jembatan batu itu pun runtuh.
Ananda membuka matanya, dia masih duduk di hadapan Buddha. Dupa yang dia nyalakan itu baru habis setengah.
Mimpi itu begitu singkat, namun terasa lama sekali.
“Singkat” karena dupa itu saja belum habis terbakar, “lama” karena Ananda sudah tidak mengingat wajah gadis cantik jelita itu lagi, karena memorinya telah kabur.
Ananda menjadi tercerahkan karena kisah jembatan batu itu.
Terjemahan bebas dari Novel “Zen Jembatan Batu” <石桥禅> karya 易安 (哲蛮)
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.




