Dinamika dunia WhatsApp tampaknya sangat membahana. Dunia komunikasi juga bergeser cukup signifikan. Tulisan (ketikan) menjadi moda yang lumrah digunakan saat ini. Begitu juga dunia telewicara juga sudah menjadi alternatif diskusi, rapat, bahkan ceramah Dharma daring.
Grup WhatsApp juga sudah menjadi pilihan diskusi bersama di dunia maya. Ada grup yang aktif, ada grup yang pasif, dan ada juga grup yang nuansanya serius, ada juga grup yang bawaannya humor terus. Semua atmosfir itu mempengaruhi perasaan dan persepsi masing-masing anggota grup.
Cara seseorang membaca suatu pesan sangatlah berperan pada output reaksi atau responnya. Suasana hati seseorang juga ikut mewarnai interpretasinya. Contoh, ada seseorang yang mengirimkan pesan dengan nada guyon, tapi ada saja anggota grup yang barangkali suasana hatinya kurang kondusif sehingga pesan guyon itu bisa ditanggapi dengan reaksi kesal. Demikian juga ada pesan serius yang ditanggapi dengan nada bercanda juga ada.
Tak jarang situasi seperti itu kadang bisa merusak relasi persahabatan. Sayang sekali gara-gara urusan kecil seperti itu lalu rusak pertemanan. Saya merasa ada urusan EGO yang bermain di situ. Saya pernah di posisi itu, namun saya memilih untuk “lebih baik kehilangan ego daripada kehilangan teman”, jadi terlepas dari siapa pun yang salah atau benar, saya inisiatif untuk meminta maaf terlebih dahulu. Saya sadari bahwa saya juga ikut berkontribusi pada kejadian itu.
Tak cukup minta maaf sih, tapi saya juga membangkitkan sebuah tekad baru dalam hati agar lebih berhati-hati lagi dalam mengetik suatu pesan. Jika kekuatan kewawasan atau sadar-penuh (mindfulness) besar, maka setiap pesan yang dikirim lewat jalur pribadi ataupun jalur publik bisa semakin mempererat persahabatan, kekeluargaan, dan keharmonisan.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
keren banget mantap