Suatu hari yang cerah, kami sedang di Shakuji Park, Tokyo. Ada Sister Lang Nghiem, Sister Trai Nghiem, saya, dan Br. Phap Hien. Hari itu kami mendapat tugas untuk memimpin Day of Mindfulness untuk para pemuda. Program pemuda di Plum Village disebut sebagai “Wake Up”. Gerakan untuk berlatih hidup sadar yang saat ini sudah memiliki jaringan di berbagai negara.
Saya melihat diantara yang hadir ada seorang pemuda yang membawa serta anak perempuannya. Saya lewat dan melambaikan tangan ke mereka. Ayahnya bilang anaknya bisa berbahasa mandarin. Saya bilang, “Kok bisa?”, “Karena mamanya dari Tiongkok”. Oh ternyata istrinya orang Tiongkok.
Saya merunduk dan bertanya kepada anaknya, “你叫什么名字?” (Pinyin: Nǐ jiào shénme míngzì), tapi dia malu menjawab, hanya mengerak-gerakkan badannya ke kiri dan kanan. Mungkin saya ini tertampak aneh, karena gundul dan berjubah coklat. Menurut perkiraan saya, anak itu berusia sekitar 4 tahunan.
Sepintas lalu, saya melihat sang ayah membawa ransel cukup besar, entah apa isinya. Kemudian di lehernya ada kamera DSLR (Digital Single-lens Reflex) yang tampaknya cukup keren. Saya menduga, dia seorang fotografer, atau minimal dia hobi memotret.
Makan Siang
Acara mulai dengan game singkat untuk memperkenalkan diri. Sang Ayah membentangkan terpal cukup lebar dan duduk bersama anaknya. Lalu, Sister Lang Nghiem menjelaskan tentang bagaimana cara mempraktikkan meditasi makan, lalu kita sama-sama makan dengan hening selama 20 menit, menikmati makan siang dengan penuh kesadaran.
Sang ayah mencoba mempraktikkan makan dengan hening, dan anaknya juga mengikuti ayahnya. Sekali-kali sang anak kasak-kusuk, berisik sebentar untuk mencari perhatian ayahnya, lalu dia diam lagi meneruskan makan onigiri (nasi kepal ala Jepang). Kami semua menikmati pemandangan itu, betapa penuh kesabaran sang ayah menjaga anaknya, sekali-kali ia membersihkan mulut anaknya yang agak belepotan.
Semua orang tampaknya sangat menikmati makan siang. Ada beberapa peserta menyampaikan bahwa mereka sering makan dengan cepat, tidak pernah benar-benar melihat dan merasakan apa yang sedang dikunyahnya. Rasa syukur bahwa makanan hari itu begitu enak dan membuatnya kenyang.
Sepucuk Ranting
Kami memberikan waktu jeda sebentar, bagi yang ingin ke kamar kecil. Saya bernisiatif mengeluarkan gitar dan mengajak beberapa peserta untuk menyanyikan beberapa lagu Plum Village, lagu-lagu kami pada umumnya untuk membantu membangkitkan energi kesadaran penuh.
Anak kecil itu tampaknya tersenyum-senyum, dan senang mendengar lagu yang sedang kita nyanyikan. Ayahnya membopong anaknya untuk dekat dengan saya dan Br. Phap Hien. Anaknya melihat saya sedang main gitar, dia lalu lebih mendekat lagi dan berdiri di depan saya sambil membawa sepucuk ranting daun.
Dia hanya melihat saja, dan tak lama kemudian dia mulai mengibas-ngibas ranting itu ke ujung gitar. Saya hanya melemparkan senyum dan terus menyanyikan lagu bersama-sama. Setelah lagu selesai, sang anak mulai semakin dekat, dia mulai mengibas-ngibas ranting itu ke arah saya.
Saya pikir, nih anak usil, jadi saya menjulurkan tangan seolah-olah mau mengambil ranting itu, ternyata dia memberikannya kepada saya. Saya ambil ranting itu lalu taruh di hati sebagai bahasa isyarat bahwa ranting itu milik saya sekarang. Kemudian saya kembalikan lagi ranting itu kepada si anak kecil itu.
Di Depan Kamera
Seminggu kemudian saya mendapat foto ini dari sister Trai Nghiem, dia bilang foto ini bagus, karena dijepret dengan candid (secara alami).
Saya melihat foto itu juga terkejut, ternyata sang ayah secara diam-diam memotret kejadian ranting itu. Saya melihat bahwa itu adalah momen sangat alami dan saya juga tidak menyadarinya. Biasanya kalau kita di depan kamera, pasti bergaya duluan, merapikan rambut, memastikan senyumnya manis dan cantik, agar meninggalkan momen indah ketika dipotret.
Memberi atau Menerima?
Lalu saya iseng mengirimkan foto itu kepada seorang teman. Dia melihat foto itu malah muncul pertanyaan, “Ini, bhante memberikan atau menerima rantingnya?” Ternyata sepintas lalu melihat foto itu, tidak ketahuan secara persis siapa yang memberi dan siapa yang menerima.
Semua orang boleh berspekulasi tentang bagaimana cara mata memandang foto itu melalui berbagai analisa, gelagat, dan semua teori-teori yang dianggap benar. Tapi saya yang mengalaminya sendiri, tentu saja saya yang tahu persis apa yang terjadi pada saat itu.
Saya jawab, “Si anak itu memberikan rumputnya dan kemudian saya balikin lagi” Jadi, “Memberi dan menerima terjadi pada saat bersamaan.”
Non Diskriminasi
Siapa yang memberi? Siapa yang menerima? Apa yang diberi? Apa yang diterima? Sama seperti menjawab apa itu kosong dan apa itu isi? Memberi dan menerima adalah satu paket, mereka tidak pernah terpisahkan, justru pemikiran diskriminasi kita yang memisahkannya.
Kiri dan kanan, atas dan bawah, untung dan rugi, puji dan cela juga merupakan paket yang selalu bersama, seperti sekeping koin. Sering-seringlah melihat “pasangan” itu dengan tatapan non diskriminasi, maka engkau bisa melihat sesuatu yang lain di balik itu.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
Namo Buddhaya bhante
Setiap kali baca artikel bhante atau mendengar ceramah bhante sll menginspirasi saya
Seperti artikel ini.. thanks ya bhante
Semoga bhante sll sehat, bahagia dan sll bisa menginspirasi banyak orang..Sadhu🙏
Ketulusan tampak jelas pada foto tersebut.. terlepas dari siapa yang memberi dan siapa yang menerima. Semoga dapat terus menginspirasi.. sadhu.. sadhu.. sadhu..