Ada perjalanan menarik barusan. Saya terbang dari Bangkok ke Jakarta. Bandara sepi. Efek covid-19. Bandara Soetta lenggang. Tampaknya memang banyak yang menghindari travelling. Ada teman bilang, “Bhante nih ga takut mati!”. Benar separoh, saya rasa “takut” itu memang bisa menjadi isu yang “digoreng”. Saya tidak menafikan fakta kematian akibat covid loh, tapi yang sembuh juga berlipat-lipat banyak kok.
Saya mampir ke Sibolga untuk membimbing semi retret, 3 hari. Isu covid-19 tidak terlalu heboh di kota kecil. Retret tetap diadakan, ada 20an orang pesertanya. Mereka terkejut karena bisa melihat meditasi dari perspektif yang berbeda, ujung-ujungnya mereka bersemangat untuk praktik meditasi. Semoga jangan panas-panas taik ayam yah, peace!
Ke Bukit Lawang
Tak hanya sampai disitu saja. Perjalanan saya masih kontinu. Saya terbang ke Jakarta karena ada urusan mendadak, kemudian lanjut ke Medan untuk memenuhi janji memimpin retret untuk anggota Ordo Interbeing dan relawan. Kali ini retretnya di The Jungle Retreat, House of Mindfulness (lihat di google map) di Bukit Lawang. Naik mobil dari Medan butuh sekitar 2,5 jam.
Perjalanan masih dilanjutkan dengan naik ojek 15 menit, lalu jalan kaki menyusuri jalan setapak naik turun sekitar 30 menit, harus melewati sungai 9 kali. Tenang saja itu sungai yang sama kok. Lalu kita juga harus berjibaku menghindari pacet, nyamuk, dan serangga lainnya. Kadang-kadang ada monyet, Thomas, di sepanjang jalan. Kalau Anda hoki, mungkin bisa bertemu dengan orang utan.
Cabe rawit si cengek
Tempat retret ini sederhana, ramah lingkungan, bahkan listrik juga berasal dari solar panel (tenaga surya). Kecuali ada keadaan darurat, barulah pakai genset. Tempat ini bisa menjadi tempat kita berlindung dari waktu ke waktu. Kondisinya asri, jauh dari keramaian, ada sungai jernih, ada bukit, ada hutan lindung. Tantangannya adalah Anda harus bisa hidup harmonis dengan semua penghuni yang sudah lama di sana.
Ada satu hal menarik di sana, di setiap sudut selalu ada pohon cabe rawit. Entah kenapa setiap kali lihat cabe rawit, saya selalu ngiler. Dulu saya tidak suka, karena sering bikin perut mules. Sejak saya kuliah di Bandung, hubungan saya dengan cabe rawit juga mulai berubah. Maklum lah, di Bandung tuh banyak gehu, bala-bala, tempe goreng, dkk. Semua makanan ini selalu harus ditemanin cabe rawit alias cengek.
Sepintas lalu
Barangkali terasa aneh yah, melihat pohon cabe rawit selalu bisa senyum bahagia. Apalagi pohonnya ada di sana-sini. Inilah namanya sukacita, baru melihat saja sudah membangkitkan kegembiraan. Tak perlu dipelototin kok, cukup lihat sepintas saja, sambil menelan ludah lah sedikit saja.
Cabe rawit ternyata banyak jenisnya. Warnanya juga bervariasi, jadi ada yang tingkat kepedasannya biasa-biasa saja, ada yang medium, ada yang sangat pedas! Jadi perlu hati-hati memilih cabe rawit. Enaknya di The Jungle Retreat adalah saya bisa memetik sendiri, dan bonus lainnya adalah ini cabe rawit organik! Nikmat deh!
Berhenti melihat
Suatu kali saya berhenti di depan sebatang pohon cabe rawit, saya lihat dengan rasa syukur. Bumi ini sungguh ajaib, bisa menjadi tempat tumbuhnya benih lalu menjadi pohon yang menghasilkan cabe rawit segar.
Setiap kali menyantap makanan, saya selalu mengucapkan syukur kepada bumi yang telah menjadi tempat untuk tumbuhnya semua sayur-mayur. Saya memilih pola vegetaris karena alasan spiritual, welas asih, dan kesehatan. Sekarang ada alasan tambahan yaitu mengurangi penyebab perubahan iklim.
Saya melihat pohon cabe rawit dengan teliti, ternyata setiap cabe rawit di satu pohon selalu berbeda-beda, tidak ada yang sama persis. Mereka tidak minder kok, karena setiap cabe rawit indah apa adanya, dan kadar kepedasannya juga berbeda-beda.
Tiba-tiba saya melihat ada cabe rawit yang bercak hitam. Apakah itu? Ternyata ada yang terinfeksi sejenis hama, sehingga menjadi rusak sebagian. Cabe rawit yang terinfeksi memang harus dipetik dan dibuang, jika tidak, maka bisa menginfeksi cabe rawit sepohon. Lebih parah lagi bisa menginfeksi pohon tetangganya.
Menatap Mendalam
Melihat pohon cabe rawit sepintas lalu tampak tidak ada masalah. Ketika saya berhenti mengamatinya dengan teliti, saya merasa bersyukur, sekaligus saya bisa melihat ternyata ada urusan yang harus dibereskan. Jika tidak dibereskan maka dia akan menjadi kanker bagi diri sendiri, bahkan juga orang lain.
Memetik dan membuang cabe rawit tentu saja bisa menjadi salah satu solusi. Ada urusan lain yang perlu dilakukan adalah mencari sumber penyebabnya, hama apa, dan hal apa yang bisa lakukan untuk preventif.
Melihat teman-teman kita sepintas lalu juga tampak tidak ada masalah. Ketika kita bisa duduk dengan tenang, ngobrol, maka kita bisa mulai menyadari ternyata ada begitu banyak masalah membelitnya. Jika sudah melihat ada problem, apalagi yang urgen, Anda harus membereskannya, jangan biarkan dia menjadi borok, itu sudah terlambat! Nanti orang dekat Anda juga bisa menjadi korban.
Tidak heran jika komunitas kewawasan (mindfulness) sering mengadakan DOM (Day of Mindfulness) secara rutin agar semua orang punya waktu untuk berhenti (止) lalu menatap mendalam (觀) dengan jujur atas kehidupan ini. Inilah pencerahan yang diperlukan di dunia ini. Pencerahan tidak bisa dibeli di supermarket, tidak tersedia di Online Shop juga.
Wahai sahabat, semoga praktik kewawasan bisa menjadi jalur praktik penyembuhan buat Anda.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.