Pagi itu, kami menyantap sarapan dengan hening bening. Saya dikelilingi oleh mahasiswa dan mahasiswi Unpad yang baru bergabung dengan keluarga mahasiswa buddhis Unpad. Setelah 20 menit, saya mengundang suara lonceng untuk berbunyi sebagai tanda bahwa waktu makan dengan hening selesai.
Sambil menikmati pemandangan indah di Pondok Saddhana Amitayus, saya mendengar chit-chat halus di depan maupun belakang. Seorang mahasiswi dengan ragu-ragu mendekat dan duduk di sebelah kiri saya, lalu bertanya, “Bhante saya mau tanya sesuatu, boleh tidak?”
Kebetulan saya sedang menyantap sepotong pepaya, jadi saya hanya tersenyum dan membalas, “Tunggu bentar yah, saya mau menikmati sepotong pepaya ini dulu.” Setelah beberapa menit, saya menoleh ke dia dan berkata, “Oke, ada apa yang bisa saya bantu?”
“Bhante, mengapa Buddha hanya hidup sampai 80 tahun? Padahal beliau bisa hidup lebih lama lagi, dan bahkan Bhante Ananda saja bisa hidup sampai seratus tahun lebih.”
Jawaban spontan saya, “Ha..ha, mana saya tahu.”
Suasana menjadi cair, karena mereka yang duduk di sekeliling saya juga ikut tertawa. Beberapa menit berlalu sementara kita semua terdiam dan hanya memandang keindahan di hadapan kita pagi itu.
Saya kembali memecah keheningan dengan melanjutkan:
“Terus terang, saya tidak tahu persis. Hidup dianalogikan sebagai lilin. Kalau lilinnya sudah habis, tentu saja apinya akan padam. Tampaknya badan jasmani Buddha telah sampai pada titik itu, jadi secara alami berakhir.”
“Saya barusan merenung kembali bagaimana kehidupan Siddharta sewaktu beliau masih bertapa di Hutan Uruvela, mempraktikkan puasa berlebihan dan menyiksa diri, bahkan dikisahkan mengurangi makan dalam kurun waktu sekian tahun hingga tubuh fisik beliau kehilangan tenaga, dikisahkan bahwa badan jasmani Siddharta seperti kulit membalut tulang. Saya sedang membayangkan, apa yang terjadi pada organ-organ di dalam tubuh Siddharta. Tampaknya ini efek samping dari meditasi menyiksa diri, ini ada kaitan erat dengan kesehatan dan umur beliau.”
“Setelah Siddharta menyadari efek buruk dari penyiksaan diri, maka beliau mengakhiri metode tersebut dengan cara kembali makan dan minum seperti layaknya manusia pada umumnya. Tentu saja beliau berhasil mengembalikan kekuatan tubuh fisiknya, namun saya merasa efek buruknya tetap telah terjadi pada tubuh fisiknya pada saat meditasi penyiksaan diri.”
“Apabila kita membaca kisah Siddharta, kita dapat mengetahui bahwa setelah beliau mencapai pencerahan sempurna, beliau berjalan dari satu desa ke desa lain. Melewati hutan, sungai, gunung, lembah, dan berbagai tempat untuk mewartakan Dharma kepada semua lapisan masyarakat. Beliau menerima makanan dari mengemis dan makan apa adanya. Hal ini juga tampaknya memberikan efek kepada tubuh fisik dan ikut mempengaruhi usia hidup beliau.”
“Aktivitas Buddha berjalan dari satu tempat ke tempat lain juga tampaknya melelahkan. Mari ambil satu saja contohnya, berjalan dari Bodhgaya menuju Sarnath sekitar 250 km. Bayangkan, Buddha berjalan kaki sekian ratus kilometer tentunya cukup melelahkan, itu bukan satu kali, tapi bisa berkali-kali dan menuju kota dan desa yang berbeda-beda yang bahkan jarak tempuhnya lebih jauh. Tentu saja dalam perjalanan itu beliau juga istirahat dan kemudian lanjut berjalan lagi. Demikianlah yang dilakukan beliau seumur hidupnya.”
“Saya juga membayangkan beliau yang dikisahkan hanya tidur beberapa jam saja sehari. Tentu kualitas tidur beliau bisa bagus walaupun hanya 1 jam, namun kelelahan fisik tampaknya tidak bisa pulih dalam kurun waktu sesingkat itu.”
“Melihat mendalam atas kisah kehidupan Buddha, tampaknya kita bisa sedikit lebih mengerti. Walaupun tidak bisa dikatakan secara pasti, semua informasi-informasi ini barangkali memberi suatu perspektif baru bagi kita atas usia beliau. Daripada kita mencoba untuk berspekulasi tentang Mara, atau bahkan “menyalahkan” Bhante Ananda yang tidak memohon Buddha untuk hidup di dunia ini lebih lama lagi. Karena saya tidak tahu persis apakah cerita demikian benar adanya atau memang gubahan?”
“Buddha mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengajar dan mencerahkan banyak orang. Beliau telah menggunakan waktu dengan maksimal. Saya merasa sangat bersyukur karena Buddha telah sangat berwelas asih untuk mengajar selama puluhan tahun. Bahkan dalam Mahaparinirvana Sutra juga tercatat bahwa walaupun sudah terbaring sakit, beliau tetap menerima murid dan mengajar Dharma kepada orang yang datang.”
“Saya merasa beruntung dan bersyukur memiliki guru seperti Buddha. Jadi marilah kita rajin belajar dan berlatih meditasi sehingga kita juga bisa mengikuti jejak beliau, mencerahkan banyak orang.”
“Jadi, apakah saya menjawab pertanyaan Anda?”
Dia tersenyum puas, wajahnya berubah menjadi lebih cerah. Saya yakin dia sudah memiliki perspektif baru atas pertanyaannya itu.
Saya mengucapkan terima kasih kepada mahasiswi itu, karena ini pertama kalinya saya menerima pertanyaan seperti itu. Dan menjawab demikian, saya sendiri merasa takjub.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.