Boleh apa saja. Saya lebih suka menyingkatkan nama saya menjadi B. Nyanabhadra. Cukup segitu saja. Jangan panjang-panjang, kasihan yang membacanya. Ini berkaitan dengan publikasi, jadi memang maunya singkat saja.
Ada yang protes, kalau hanya begitu saja kurang keren. Maaf, saya tidak punya gelar rinpoche, tulku, lhama, apalagi zen master. Tak perlu rempong. Bukan minder loh, tapi biasa saja. Gelar akademik sih sudah berhasil menyabet beberapa, namun juga jarang dipublikasikan.
Gelar akademik juga penting. Monastik juga tampaknya berlomba-lomba meraihnya, bahkan sampai S3. Tentu saja ini fenomena baik. Gelar akademik seharusnya memperkuat posisinya sebagai guru spiritual, agar seseorang lebih fasih dalam mengantarkan pemahaman tepat kepada umat. Namun tetap harus ingat menggunakan bahasa membumi, agar umat bisa nge-dong.
Karir Monastik
Kalau sibuk kuliah terus, kapan maju dalam spiritual? Apalagi kuliahnya bidang Komputer? Nah ini saya tidak tahu dampak langsungnya seperti apa pada spiritual. Kemajuan spiritual lahir dari latihan rutin, tak bisa diukur dari gelar akademiknya.
Studi formal itu bagus, tapi kalau banyak-banyak, saya tidak tahu jelas motif di balik itu apa, mungkin hobi mengumpulkan gelar? Buddha juga tercerahkan di hutan kok, bukan di bangku sekolah. Bukan berarti saya bilang tidak perlu sekolah loh. Poin pentingnya adalah karir monastik adalah menuju kearifan dan pembebasan.
Background Check
Jadi bagaiman cek kualifikasi saya? Zaman sekarang manusia semakin pintar kok. Mereka bisa cek di Facebook (FB). Tapi Anda kurang beruntung, karena FB saya sudah di-non-aktifkan. Masih ada yang lain kan? Instagram (IG). Maaf juga, ternyata Anda masih kurang beruntung, IG saya juga sudah dihapus.
Saya mendengar ada beberapa institusi atau juga perusahaan bagian HRD juga melakukan background check melalui media sosial. Jejak-jejak Anda bertebaran di media sosial loh. Lalu cek di mana info saya? Tanya mbah google saja, atau di blog ini juga ada. Cukup di sini saja.
B Pertama
Jadi B. Nyanabhadra apa dong? Pernah ada satu kali saya memimpin retret untuk ABG. Salah satu peserta bertanya, “B itu singkatan dari apa?” Saya curiga, ini anak kayaknya mau ngerjain saya. Biar seru, saya tanya balik, “Menurut kamu apa dong?” Dia langsung balas, “Justru tidak tahu, makanya tanya Bhante”.
“Nah benar itu. B itu singkatan dari Bhante. Jadi kamu sudah tahu toh, jangan-jangan kura-kura dalam perahu……” Akhirnya dia hanya senyam-senyum puas. Barangkali dia memang tidak tahu, atau anak zaman sekarang kan kritis, dia pakai azas hati-hati, daripada salah, lebih baik bertanya.
B Kedua
Saya melanjutkan penjelasannya. Jadi B artinya Bhante. Namun masih ada arti kedua yaitu Biksu. Catat yah Biksu, dan inilah istilah baku. Monastik lain yang berbeda preferensi monggo saja, silakan pakai istilah non baku berikut ini: Bhikkhu, bhiku, dan bhiksu.
Saya juga pernah mendapat pertanyaan nyeleneh. Ada seorang public speaker keberatan ketika ada umat yang menyapa saya sebagai bhante, karena jubah saya mahayana, jadi dia langsung sergap, “Maaf yah, melihat dari jubah, Anda ini mahayana, jadi seharusnya disapa suhu bukan bhante”. Saya tanya balik, “Loh aturan dari mana itu?” Dia tidak bisa jawab.
Sebetulnya saya hanya ingin menyampaikan kepada orang tersebut bahwa istilah bhante dan suhu itu seharusnya universal, tiada diskriminasi. Namun ada kecenderungan dan upaya melekatkan istilah bhante kepada monastik Theravada, dan istilah suhu kepada monastik Mahayana. Oyah, ada satu lagi, Lhama untuk monastik Vajrayana. Tentu saja, penggunaan istilah merupakan kesepakatan bersama.
B Ketiga
B masih ada makna yang ketiga, yaitu Brother. Di komunitas Plum Village memang lebih internasional. Bahasa Inggris termasuk salah satu bahasa yang sering dipergunakan, selain bahasa Vietnam. Jadi, tidak heran sapaan bagi monastik (samanera dan biksu) adalah Brother. Kadang disingkat menjadi Br. Lalu samaneri dan biksuni apa dong? Ya, Sister.
Istilah brother menunjukkan hubungan kekeluargaan, jadi semua monastik Plum Village adalah saudara dan saudari dari sepuluh penjuru. Keluarga besar spiritual, keluarga besar Buddha Sakyamuni. Dalam tradisi Zen Plum Village kita mengakui 3 leluhur, pertama leluhur kandung, kedua leluhur tanah air, dan ketiga leluhur spiritual.
Tiga Leluhur
Leluhur kandung saya adalah kedua orang tua, dan mencakup keluarga kandung seperti kakak dan adik kandung. Leluhur tanah air saya sudah jelas Indonesia, bukan Tiongkok. Memang benar saya berasal dari etnis Tionghoa, tapi saya lahir di tanah Indonesia, makan dari tanah Indonesia, dan mati juga akan tetap sebagai orang Indonesia.
Leluhur terakhir adalah leluhur spiritual. Saya menjadikan Buddha sebagai guru utama. Nasihat dan petuah beliau yang saya ikuti, mengapa? Karena sesuai buat saya. Namun saya juga bisa menerima nasihat-nasihat dari guru-guru bijaksana lainnya, selama itu masih selaras dengan nasihat Buddha Sakyamuni.
Demikianlah kisah B, Bhante, Biksu, dan Brother. Tapi di Indonesia atau di depan umat, jangan coba-coba panggil saya brother yah, apalagi “bro bro…” Nanti bisa terjadi tragedi. Semoga sedikit mengurangi rasa penasaranmu, jika memang penasaran.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.