Timbangan memiliki tempat spesial dalam hidup saya. Saya pakai untuk timbang berat badan. Tugas lain adalah menimbang bagasi. Loh bagaimana menimbang bagasi? Gampang, pertama timbang berat badan saya duluan, lalu timbang lagi sambil mengangkat koper. Rumusnya sederhana, berat total kurang berat badan, dapatlah berat bagasi.
Berat badan perlu stabil, jangan terlalu berat juga jangan terlalu ringan. Timbangan itu kadang berfungsi seperti indikator kewawasan (mindfulness indicator). Setiap kali pulang dari Medan, timbangan saya pasti naik, bukan mengkambing-hitamkan Medan loh. Jujur, makanan medan memang ho ciak!
Jika berat badan sudah naik beberapa kilo, maka saatnya olah raga dan puasa, atau kurangkan porsi makanan. Ini juga dalam rangka memperkuat kewawasan mulut, biar agak nge-rem jika mau makan sesuatu. Bagus juga demikian, karena hidup selalu perlu ada timbangan, karena manusia sering kebablasan.
Dunia ini banyak orang baik. Mereka suka berdana, terutama makanan. Ada yang repot-repot mengirim dari jauh dari luar kota, bahkan dari luar negeri. Bapak-bapak security di Wihara Ekayana kadang bingung, kok banyak kiriman buat saya. Ada waktu kiriman buku, pernah dapat dupa, ada beberapa kali dapat teh dari Tiongkok. Ada kiriman rutin dari Amerika, nah ini sih majalah, karena saya berlangganan Lion’s Roar.
Bahasa Batak
Perjalanan ke Padang Lawas Utara untuk membimbing retret anak sekolah Padangsidempuan dan Sibolga sangat menyenangkan. Kita mendapat berkah karena pihak Barumun Nagari berkenan meminjamkan hutan dan beberapa fasilitasnya. Pihak penyelenggara adalah Sekber Sumut dengan didukung oleh Keluarga Buddhayana Indonesia daerah Padangsidempuan.
Retret yang sangat berkesan, terutama bisa berlatih bersama anak-anak gokil, lucu, pintar, dan sekaligus rajin bikin keributan. Akhirnya merekalah yang menjadi guru kesabaran saya. Saya pikir, bahasa Indonesia saya tidak begitu bisa dimengerti mereka, barangkali saya perlu belajar bahasa Batak, jadi bisa lebih dimengerti.
Ada satu anak peserta bilang ke saya, “Suhu pakai bahasa Batak ajah, Sib Babami, mereka pasti langsung diam”. Lalu saya tengok ke belakang tanya kembali, “Apa artinya Sib Babami?” Ada satu anak langsung menyeletuk, “Itu artinya, diam mulut kau, Suhu”. “Wah itu kasar, jangan dong” balas saya. Beberapa anak ketawa terkekeh-kekeh.
Bersyukurlah panitia membawa jam dinding yang berbunyi setiap 15 menit, jadi kita selalu bisa meditasi napas dengan hening setiap 15 menit, problem solved. Kadang saya harus meminta panitia untuk membunyikan genta untuk bernapas bersama-sama dan praktik meditasi senyum. Saya mengajarkan jurus 1 jari, 5 jari, dan 10 jari, laris manis!
Oleh-oleh
Selesai retret saya terbang dari Aek Godang ke Medan. Setiba di Medan, saya dapat kiriman segepok. Saya tanya darimana? Katanya dari Jambi. Loh, kok Jambi tiba-tiba mengirim oleh-oleh buat saya? Ternyata ada pasta gigi saya plus kerupuk, keripik, dan beberapa makanan ringan.
Menarik juga yah, kemanapun orang tahu. Padahal saya sudah tidak punya IG dan FB juga non aktif. Tetap saja keberadaan saya terlacak dengan baik, sistem GPS sudah semakin canggih sekarang ini. Akhirnya saya menemukan sang orang baik hati yang mengirimkan pasta gigi dan beberapa makanan kecil itu. Anda mau tahu? Tanyalah pada rumput yang bergoyang he he he.
Lalu barangnya apa saja? Lihat saja foto fitur di atas artikel ini. Ternyata barang-barang itu urunan dari beberapa volunteer mindfulness Jambi, plus pasta gigi saya. Loh, kok pasta gigi? Terakhir saya ke Jambi, entah bagaimana pasta gigi kesayangan saya betah di Jambi, jadi nginap duluan di sana (senyum kecut).
Mengukur ketulusan hati
Saya ucapkan terima kasih, kamsia, amituofo, dan namo buddhaya. Dia bilang, “Seharusnya bhante menggunakan semua bahasa yang bhante kuasai untuk mengucapkan terima kasih”. Nah ini langsung saya balas, “Cape ngetiknya”, ini akibat terlalu banyak bahasa yang sudah saya kuasai.
Dia melanjutkan, “Kenyataanya, barangnya tidak sebanyak bahasa yang bhante kuasai, lebih berat ucapan terima kasihnya daripada barangnya”. Wah, ini mencoba mengukur seberapa berat ucapan terima kasih dibandingkan dengan barangnya, timbangan apa yang bisa mengukur ketulusan hati dalam memberi?
Saya bilang, “Janganlah diukur berat ringannya. Barang ringan bisa saja sarat dengan kasih. Timbangan pada umumnya tidak bisa menakarnya“. Jika beli beras maka bisa ditimbang, jika niat seseorang memberikan sesuatu, entahlah butuh timbangan seperti apa untuk menakarnya, tampaknya belum ada timbangan khusus itu. Hanya sang pemberi yang tahu persis, lalu sang penerima mensyukurinya
Terima kasih kepada semua orang yang memberikan kasihnya, sehingga saya juga bisa penuh kasih yang nantinya saya bisa membagikannya kepada banyak orang. Retret barusan di Barumun Nagari, saya telah banyak berbagi kasih, berbagi latihan, berbagi pengetahuan, dan berbagi musik. Saya akan selalu mengingat kenangan indah itu, karena saya sudah berulang kali membuktikan bahwa Dharma itu indah di awal, di tengah, dan di akhir.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
Suhu saya masuk pula ya hahaha
Rahasia kita berdua ajah yah 😁