Ada lima (5) urusan nafsu keinginan (Pahca Kāmagunāh, 五欲過患) yang perlu Anda perhatikan. Apa itu? Urusan pertama: kekayaan (財). Kedua, kecantikan (色). Ketiga, ketenaran (名). Keempat, kenikmatan lidah (食). Kelima, kemalasan (睡). Urusan-urusan itu bukanlah sesuatu yang buruk sama sekali, namun loba-lah yang membuatnya menjadi penderitaan.
Kewawasan (mindfulness) mendatangkan kejernihan, lalu kejernihan inilah yang bisa melihat apakah dosisnya pas. Fenomena di dunia ini selalu berkaitan dengan lima urusan itu. Pemberitaan di media juga cukup komplet, apalagi kejadian menyita perhatian warga lokal juga warganet global (global netizen).
Korupsi kekayaan
Lumrah jika banyak orang ingin kaya. Para biksu dan biksuni sih wajib miskin (observed poverty), artinya tidak menjadikan pengumpulan kekayaan sebagai tujuan hidupnya. Justru perlu merealisasi kekayaan Dharma demi kemaslahatan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Para perumah tangga? Monggo, silakan, namun perlu dibarengi dengan kekuatan kesadaran tentang “moderasi” (知足).
Korupsi selalu ada dari zaman dahulu. Sejarah korupsi mungkin usianya sepanjang sejarah manusia. Korupsi itu penyelewengan. Apa yang diselewengkan? Macam-macam, uang paling sering. Ada juga korupsi jenis lain yaitu korupsi waktu, aturan, laporan, dan masih banyak lagi.
Semua orang punya benih korupsi! Juga pernah menjadi menjadi koruptor! Bedanya hanya besar atau kecil. Jika tingkat kesadaran seseorang lebih tinggi, dia tidak akan tergiur untuk mengorupsi. Ingat, jika benih korupsi ini terus disiram, tentu saja benih ini akan menguat, dan dorongan korupsi juga semakin besar.
Darimanakah sumber siraman itu? Media sosial! Medsos seperti hutan belantara, ada yang bermanfaat, ada yang kurang bermanfaat, lalu ada juga yang malah merugikan. Berhati-hatilah ketika berselancar di dunia maya, jika tidak berkewawasan, nanti banyak toksin yang nyangkut di kepala.
Cantik berswafoto
Semua manusia ingin terlihat cantik di depan kamera, itu salah satu alasan orang berswafoto. Swafoto itu bukanlah sesuatu yang jelek loh. Yang jelek itu jika frekuensinya berlebihan. Lah bagaimana bisa tahu? Itulah kebutuhan kewawasan-kejernihan (mindfulness-clarity). Lumrah sekali melihat Instagram penuh dengan swafoto dengan berbagai angle? Demi apa? Demi terlihat cantik.
Tidak hanya itu saja. Sekarang bisa pakai filter atau aplikasi yang bisa membuat kulit menjadi mulus. Jika tidak puas, masih ada lagi. Tak segan-segan orang merogoh kocek dalam-dalam untuk operasi plastik, yang konon negara asalanya BTS yang menjadi tempat favorit. Mengapa mereka rela membayar mahal?
Saya rasa, memiliki wajah yang mulus itu bagus kok. Enak dipandang, tapi kadang bahaya untuk dimiliki. Tampaknya ada relasi antara wajah mulus dan nafsu birahi, walaupun tidak selalu seperti itu koneksinya. Drama rumah tangga artis juga selalu ngebul, apalagi menikah-cerai. Saran saya, tidak perlu baca berita seperti itu, sungguh tak bermanfaat, hanya menyirami benih-benih tidak baik saja.
Orang ingin kaya dan cantik untuk apa? Biar tenar! Ketenaran kan perlu didukung oleh kekayaan dan kecantikan. Orang tenar itu biasanya memiliki salah satunya, tenar karena kekayaannya berlimpah, atau tenar karena cantiknya aduhai, atau dua-duanya, ini kombinasi maut.
Jual nama
Monastik (biksu-biksuni) berlatih meninggalkan ketenaran. Guru saya bilang, kalau kamu sudah mulai tenar, maka siap-siap cari tempat untuk bersembunyi. Repot nanti dikejar wartawan melulu, itu memang tugas mereka kok, mencari berita dari orang tenar. Kalau Anda tidak tenar, Anda aman!
Saya pernah menerima pesan whatsapp, “Bhante sekarang sudah sombong, diundang untuk memberikan ceramah sering tidak bisa. Maaf yah Yang Mulia, sekarang kok rada jual mahal?” Untung yang whatsapp ini hopeng saya, jadi dengan nada guyon saya balas, “O, begitu yah. Perasaan saya tidak pernah jualan deh, he he he”.
Jumlah monastik selalu lebih sedikit daripada umat, jadi monastik seolah-olah jadi artis (baca: tenar) karena diperebutkan terus. Hidup monastik atau membiara tampaknya tidak begitu menarik bagi anak muda, makanya mereka tidak mau membiara. Belum lagi yang keluar juga banyak, daftar namanya selalu bertambah panjang, tidak pernah berkurang pendek.
Setelah jual mahal, lalu tidak jualan, selanjutnya apa? Nah, barusan saya kena lagi nih urusan jualan. Ada yang “menjual” nama saya, maksudnya memasukkan nama saya dalam proposal dana untuk retret anak muda. Padahal nama saya yah biasa-biasa saja, apakah benar laku “dijual”? Oyah, menjualnya pakai tanda kutip loh, bukan dilelang negatif gitu lah.
Jika memang laku “dijual” untuk kebaikan, dan sudah dikomunikasikan; saya tutup mata sajalah. Toh saya tidak dapat keuntungan % dari hasil jualannya, justru peserta retret yang mendapatkan manfaat subsidi dari para donatur.
Kita ingin mengadakan retret untuk anak muda, dan anak muda perlu ditolong untuk menemukan jalan kebenaran melalui praktik meditasi, itu saja, tidak lebih tidak kurang. Lain cerita kalau korupsi jual nama, nah ini yang harus segera dihentikan!
Prinsip cukup
Dua hal terakhir dari daftar di atas adalah kenikmatan makanan enak dan kemalasan. Saya melihat banyak yang mulai bergeser ke makanan plant based alias vegetarian bahkan vegan, ini hal positif. Relasi makan daging dengan climate change sudah jelas. Semakin banyak orang dengan penuh kesadaran memilih tidak memanjakan lidahnya. Mereka ingin berkontribusi untuk mengurangi efek perubahan iklim, dan menumbuhkan karuna.
Kendala terbesar manusia adalah kemalasan. Ada beberapa teknik yang diusulkan oleh Master Zen Thich Nhat Hanh agar mengatasi kemalasan yaitu lewat jadwal rutin dan berkomunitas, sehingga terciptalah konsistensi internal, inilah kekuatan yang kita butuhkan. Kita bangun, bukan berharap mukzijat.
Jadikanlah lima hal itu sebagai rambu-rambu dalam hidup, gunakanlah pagar kesadaran penuh (Sati, 念) dan kejernihan batin (Sampajañña, 正知) untuk terus berwaspada, barengilah dengan etika (Sīla, 戒 ) dan jadwal yang rutin untuk memunculkan kebiasaan (Vāsanā, 習氣), kemudian ingatlah prinsip dosis secukupnya (baca: jalan tengah, 中道).
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.