Selama sembilan bulan. Itulah kira-kira durasi waktu saya menginap dalam kandungan ibu. Saya tidak pernah ingat, tapi itulah faktanya. Dalam kurun waktu itu saya hidup damai dalam air ketuban, berada dalam suasana aman, terlindungi, dan tercukupi semua kebutuhan makanan, minuman, dan oksigen.
Hari lahir, selamat ulang tahun. Hari Ibu, selamat hari ibu. Setiap hari ibu, saya ingat hari lahir, karena itu adalah hari perjuangan ibu untuk melahirkan saya. Saya bisa merasakan kepedihan luar biasa, karena pada hari itu ibu saya merelakan darahnya bertumpahan ke mana-mana demi melahirkan saya.
Kontemplasi kelahiran
Tampaknya inilah menjadi alasan saya tidak pernah merayakan ulang tahun, dan juga tidak berkenan dirayakan. Ini adalah hari perjuangan ibu saya, hari penuh kepedihan dan kesakitan luar biasa. Biarlah saya menghormati ibu saya melalui cara saya sendiri, biarlah saya merasakan sakitnya ibu pada hari lahir saya.
Saya tidak anti perayaan ulang tahun. Setiap orang memiliki caranya dalam merayakannya. Saya ikut merayakan ulang tahun orang lain, namun saya memiliki cara tersendiri untuk merayakan ulang tahun saya sendiri, yaitu melalui kontemplasi tentang kelahiran.
Setelah lahir, ibu saya kembali mengalami berbagai penderitaan fisik. Ia harus memberikan minuman sehat yang langsung dari badannya, air susu ibu (ASI). Ini bukanlah air biasa, ketahuilah bahwa air susu ibu berasal dari darahnya, saya shock ketika mengetahui bahwa air susu ibu berasal dari darah, seolah-olah saya meminum darah ibu, beliau rela memberikannya.
Sekarang, ada ibu-ibu yang memilih untuk memonpa ASI dan bisa diberikan kepada anaknya kapan saja. Ini juga sebuah perjuangan, bukan hanya sehari perjuangannya, tapi berbulan-bulan, bahkan tahunan. Entah berapa liter ASI yang sudah saya minum? Entah bagaimana membayarnya, tak terbayangkan.
Tiga tahun
Selama tiga tahun, ibu merawat saya, keringat bercucuran, bahkan tidak sempat mengelap keringat yang akhirnya sudah kering lagi. Seberapa banyak air keringat selama tiga tahun itu? Sungguh tak bisa ditakar. Ibu saya mendadak “pergi” saat saya berusia tiga tahun lebih, hanya itulah waktu kami bersama.
Ketika ibu sedang dalam masa-masa akhirnya, entah pergolakan apa yang terjadi dalam hatinya. Tak dapat dibayangkan. Barangkali hanya air mata kekhawatiran yang bisa menjelaskannya.
Barangkali ibu bertanya, “Siapa yang akan menjaga dan merawat anakku yang masih berusia tiga tahun itu?” Namun apa daya, tak ada yang bisa tawar-menawar dengan “kematian”.
Dipenghujung kehidupan seorang ibu, ia tetap memikirkan anaknya, dia tidak menghiraukan keadaan dirinya. Tak heran jika disebutkan kasih ibu itu ada awalnya tidak ada akhirnya. kasih ibu tak bertepian, tak terhingga, tak bisa diukur, bagaikan sang surya menyinari dunia ini, tak berharap kembali.
Selamat ulang tahun
Hari lahir menjadi hari merenungkan hari perjuangan ibu. Hari untuk bersyukur karena telah hadir di dunia ini berkat ibu. Hari ibu menjadi hari untuk merenungkan hari lahir dan hari perjuangan, oleh karena itu saya tidak sanggup dan tidak mau merayakan hari lahir. Ucapan selamat ulang tahun? Tidak perlu! Jika Anda tetap mau mengucapkannya? Silakan, terima kasih.
Sesungguhnya saya sudah lahir sejak berada dalam kandungan ibu. Oleh karena itu masyarakat Tionghoa menghitung umur anaknya dari masa dalam kandungan. Ketika sang anak dilahirkan ke dunia ini, sesungguhnya itu adalah kelanjutan dari kandungan. Bukan hanya kelanjutan dari kandungan, tetapi juga kelanjutan dari kehidupan sebelumnya. Maka itu, hari lahir adalah hari kelahiran kembali sekaligus hari kelanjutan.
Hidup untuk orang lain
Saya ingat percakapan dengan seorang suster Katolik, teman baik saya. Suster itu bilang, “Emang kita ini hidup selalu untuk orang lain kok, yang harus siap diusik dan berani meninggalkan kemapanan”. Benar, karena hidup saya sudah diserahkan kepada Tri Ratna.
Saya sudah mulai mengerti bahwa hidup untuk orang lain berarti hidup untuk saya sendiri, dan hidup ini juga untuk ibu dan ayah saya yang sudah pergi duluan sejak lama. Hidup saya sekarang juga untuk semua yang ikut menyokong saya hingga saat ini. Hidupku untuk semua!
Setiap napas untuk ibu, setiap kebahagiaan untuk ibu, karena memang ibu lebih banyak berjuang untuk saya. Semua yang saya lakukan saat ini berkat perjuangan ibu, jika ibu gagal pada hari lahir saya, maka tidak ada apa pun yang bisa saya lakukan saat ini. Apa pun kebaikan yang saya lakukan adalah berkat ibu, berkat perjuangannya.
Bukanlah siapa-siapa
Jika semua ASI saya kembalikan kepada ibu, maka saya bukanlah siapa-siapa. Jika semua pengetahuan saya dikembalikan kepada guru-guru saya, maka saya bukanlah siapa-siapa. Tak ada seorangpun yang tidak berutang kepada ibunya dan gurunya.
Walaupun kami hanya bersama-sama selama tiga tahun, namun perjuangan ibu tiada taranya. Berkat tiga tahun itu, saya selamat dan bisa bertahan hidup hingga saat ini. Saya ingin terus mengenang masa tiga tahun itu sepanjang hayat, saya bersyukur karena ibu sukses dalam tiga tahun itu.
Hari lahir merupakan hari perjuangan ibu. Hari ibu memberi semangat kepada saya untuk terus berbahagia dalam jalur monastik, saya tahu kebahagiaan saya adalah kebahagiaan ibu juga. Selamat hari ibu, untuk semua ibu dan bakal ibu.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
Sadhu.. sadhu.. sadhuuu🙏🙏🙏