Mereka yang cerdas berusaha mencari kualitas baik
Mengadopsi sifat bajik bahkan dari orang lain.
Bukankah sang surya milik semua di bumi
bagi yang berpenglihatan jelas?Āryadeva, Catuhsataka-shastra-nama-karika, Bab XII:300
Awal april di kota pempek, cuaca berubah sangat cepat. Sebentar terik, tak lama kemudian mendung, waswas akan turun hujan, eh malah batal! Fenomena galau tidak hanya merundung manusia, tampaknya alam kita ini juga kena imbas. Alam dan manusia tiada pemisah, mereka manunggal.
Bumi dan seluruh isinya memiliki korelasi erat. Menjaga bumi berarti menjaga seluruh isinya. Bumi ikut bersedih jika manusia bertindak sembrono. Merusak bumi sama saja dengan merusak seluruh manusia di muka bumi ini. Kita tidak bisa melihat bumi dan manusia adalah entitas terpisah, tapi memiliki tautan interelasi.
Melihat Aku
Ada kisah kuno di kanon Pali yaitu tentang Bhante Vakkali. Ia sangat terpesona setiap kali melihat tubuh fisik Buddha, oleh karena itu ia selalu ingin bertemu dengan Buddha. Keinginan itu tampaknya overdosis sehingga ia harus diasingkan.
Suatu hari, Buddha dan Bhante Ananda pergi membesuk Bhante Vakkali yang dalam kondisi kritis. Bhante Vakkali memberitahu bahwa tidak ada penyesalan lagi dalam hidupnya, kecuali setelah nanti meninggal dunia maka dia sudah tidak bisa melihat tubuh fisik Buddha lagi.
Buddha dengan tegas menyampaikan, “Sudahilah Vakkali, apa yang hendak engkau lihat dalam tubuh yang rapuh ini? Dia yang melihat Dharma berarti melihat aku. Dia yang melihat aku berarti melihat Dharma.”
Manusia Cerdas
Dharma ada di mana-mana. Melihat cuaca yang berubah tak menentu, aku melihat Dharma. Melihat hujan turun membasahi bumi, aku melihat Dharma. Melihat kesedihan bumi, aku melihat Dharma. Apakah engkau juga melihatnya?
Melihat manusia semena-mena terhadap bumi ini tidaklah termasuk kategori manusia cerdas yang disebutkan oleh Aryadeva. Ia didorong oleh loba, ia didorong oleh kegelapan batin, dan dia didorong oleh murka angkara. Dia seperti seekor sapi yang dicocok hidungnya, tak kuasa menahan diri karena diseret oleh loba, kegelapan batin, dan murka angkara.
Inilah manusia yang tak bisa melihat Dharma. Dia bagaikan punya mata tapi tidak bisa melihat. Celakanya pura-pura bisa melihat dan sering berkoar-koar menyatakan inilah Dharma, inilah Adharma. Padahal semua itu hanyalah ilusi belaka.
Apa itu Dharma?
Saat retret remaja di Palembang. Saya bersama sekelompok anak-anak duduk di bawah rindang pohon dalam sesi Berbagi Dharma. Anak-anak dituntun untuk hadir di sini dan saat ini. Mereka merasa takjub dengan angin yang berhembus menerpa wajahnya. Mereka merasa bersyukur atas napas masuk dan napas keluar. Mereka semua setuju bahwa pohon yang melindungi kita dari terik matahari sangatlah baik hati.
Anak-anak remaja yang usianya relatif muda, ketika dituntun dengan baik, maka mereka menemukan Dharma di sana-sini. Ini luar biasa! Saya tidak perlu menghabiskan bergalon-galon air liur untuk menjelaskan apa itu Dharma, mereka telah menemukannya.
Akhir sesi Berbagi Dharma, kami berdiri saling memberikan sekuntum teratai. Lalu saya meminta anak-anak untuk menghadap ke pohon yang memberikan keteduhan buat kita, dan pohon yang sedang membabarkan Dharma kebaikan. Kami sama-sama membungkuk hormat untuk memberikan pohon itu. Kami tahu, pohon yang berdiri tegap dan diam juga sedang membabarkan Dharma.
Tiada Sang Surya
Siang hari pada umumnya terik. Suatu hari, awan tebal hitam menyelimuti, sang surya juga hilang dari pandangan. Namun kita semua yakin bahwa sang surya masih ada di sana. Tidak melihat sang surya bukan berarti dia tidak ada.
Ketidakmampuan seseorang melihat Dharma dalam hembusan angin, dalam napas masuk dan napas keluar, dalam sebatang pohon besar yang memberikan keteduhan, bukan berarti tidak ada Dharma di situ! Terlalu naif jika kesimpulan Anda bilang bahwa tidak ada Dharma di situ.
Sang surya bisa tertampak jelas jika mata Anda jernih, dan dia adalah milik kita semua. Di malam hari, gelap gulita, kita juga masih tahu bahwa matahari ada di belahan bumi sebelah sana. Sinar rembulan juga bagian dari sang surya.
Dharma Yang Hidup
Saya selalu mengajarkan anak-anak bagaimana menjernihkan matanya, agar Dharma terlihat jelas. Melihat sepiring makan vegetarian menjadi Dharma bagi mereka, karena mulai mensyukuri hasil jerih payah petani, hujan, dan sang surya.
Melihat semut yang berkeliaran juga menjadi kesempatan untuk membangkitkan cinta kasih dan welas asih. Itulah kekuatan retret, itulah kekuatan latihan hidup sadar (mindfulness), lalu melahirkan konsentrasi dan kearifan.
Benar, Dharma juga ada di buku, di kitab suci. Itu adalah Dharma yang “mati”, kita perlu menghidupkan Dharma itu lewat praktik sadar penuh dalam kegiatan sehari-hari. Sehingga kita bisa sering bertemu dengan Dharma yang hidup (Living Dharma).
Setiap kali saya gosok gigi saya bertemu dengan Dharma, setiap kali saya mengunyah makanan saya bertemu dengan Dharma, setiap kali saya naik dan turun tangga saya juga bertemu dengan Dharma. Jangan biarkan janji temu kita dengan Dharma lewat begitu saja, bukalah matamu, bukalah hatimu, lihatlah Dharma ada di setiap sudut.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
Terima kasih suhu. Wejangan artikel ini juga dhamma. Sungguh tergugah saya akan kebenaran ini. Sy terpesona Dharma ada di mana mana