Sepanjang hidup saya selalu memilih. Anda juga kan? Kehidupan monastik juga pilihan kok, walaupun pilihan sekunder. Pilihan utama saya adalah berumah tangga. Setelah malang melintang dan menerjang banyak kesulitan, akhirnya saya memilih jalur monastik.
Evaluasi Pilihan
Manusia sering mengevaluasi pilihannya. Ketika dia masih puas dan bahagia, maka dia akan terus melanjutkannya. Jika dia merasa frekuensi derita lebih banyak, maka ada kemungkinan dia memilih jalan lain.
Ada banyak orang yang memikul beban derita segunung, namun dia tetap setia pada pilihannya. Ada yang tidak tahan dengan derita fisik mental, lalu secepat kilat memilih opsi lain. Memang sulit untuk setia pada pilihannya.
Tingkat kesulitan memilih tergantung pada kasusnya. Jika pilihannya antara nasi atau bihun goreng, itu mudah! Jika pilih jurusan kuliah, itu sedikit lebih sulit. Jika pilihannya adalah pasangan menikah, ini tingkat kesulitannya lebih tinggi.
Sesudah menikah pun, suami-istri terus bertemu dengan pilihan, antara lanjut atau berhenti. Dunia ini tersedia banyak pilihan, tak heran manusia memilih terus. Entahlah, apakah fenomena ini semakin lumrah di Indonesia? Kalau dunia selebritas lebih menarik lagi, apalagi diekspos media.
Jika pilihannya berkaitan dengan pemimpin negara, Ini bisa lebih jelimet. Aneh bin ajaib, segala sesuatu bisa berubah posisi, kawan menjadi lawan. Mereka yang jelas-jelas kelompok oposisi bisa saja bersekutu, fenomena ini menarik untuk dijadikan bahan renungan.
Ingin Berhenti
Pilihan saya? Sepanjang menekuni karir monastik, saya juga mengevaluasi terus kok. Ada waktu merasa kesepian, lalu ingin berhenti. Ada waktu merasa sedih, kecewa, bahkan dimarginalisasi, saya juga ingin berhenti.
Lihatlah, begitu banyak kondisi untuk berhenti, betapa sedikitnya kondisi untuk berlanjut. Lalu, kenapa saya masih bertahan? Jawabannya, guru saya! Bukan cuman 1 guru, tapi banyak guru. Mereka tidak menyerah walaupun aral melintang begitu banyak, jadi saya juga tak mau menyerah!
Guru adalah sosok yang terus mengingatkan saya akan momen pertama memutuskan untuk masuk monastik. Kisah inspiratif Siddharta juga demikian. Saya sadar hanya segelintir orang yang mau menempuh hidup membiara, jadi saya dengan sukarela melakukannya.
Jawaban kedua adalah karena saya berlatih kewawasan (mindfulness) setiap hari sehingga saya memiliki kekuatan dan kejernihan untuk memilih. Sehingga saya sering memilih tetap berbahagia walaupun dalam kondisi sulit sekalipun.
Momentum Awal
Setiap kali saya berhasil kembali ke momentum awal, saya merasa ada energi besar telah kembali. Saya selalu berhasil kembali ke momentum itu. Kekuatan itulah yang menjadi suplemen, energi, dan nutrisi sehingga karir monastik bisa bertahan hingga detik ini.
Siddharta juga mengalami hal serupa, ia menyiksa diri, kegagalan demi kegagalan, merasa buntu sampai maksimal. Godaan satu dan berikutnya tiada hentinya, ia tidak menyerah. Ia yakin akan jalan yang ditempuhnya adalah jalan mulia, bukan keyakinan membabi buta.
Demikian juga Master Xuan Zang, biksu tersohor yang berjalan dari Tiongkok ke India untuk mempelajari Buddhadharma. Berkali-kali master ingin berhenti, putar arah balik ke Tiongkok. Namun hatinya kembali diteguhkan oleh momentum awal, demi perkembangan Agama Buddha di Tiongkok. Ia memilih mati diperjalanan daripada pulang tangan kosong.
Salah Pilih?
Apakah pilihan Siddharta salah? Apakah pilihan Xuan Zang salah? Apakah pilihan guru saya salah? Tampaknya urusan salah benar sudah tidak relevan lagi, karena mereka telah memilih dengan kejernihan batin, mereka setia pada pilihan itu, ia melihat suka duka adalah satu paket, memilih satu mendapatkan satunya lagi.
Memilih pasangan juga demikian. Ketika pacaran, dunia serasa begitu indah. Jika berhasil, barangkali akan berujung di pelaminan. Perjalanan selanjutnya akan semakin menantang, karena Anda akan melihat lebih banyak sisi lain dari sang kekasih.
Ketika di persimpangan jalan untuk memilih terus berjalan atau berhenti, maka tingkat kesulitan akan semakin tinggi apalagi sang buah hati masih kecil. Anda juga tidak berhasil kembali ke momentum awal. Anda tidak berhasil menerima, dan luka hati juga sudah kadung sangat dalam. Luka ini tentu saja bukan kontribusi sepihak saja, tapi berasal dari dua belah pihak.
Perlu Mengerti
Saya merasa, pasangan suami istri perlu ada sesi memulai lembaran baru secara rutin (Beginning Anew). Sesi menyirami benih-benih kebaikan pasangan dengan tulus, mengaku kesalahan secara jujur, dan mengungkapkan kepedihan hati agar sang kekasih mengerti. Hasil akhir dari memulai lembaran baru adalah pengertian (Understanding).
Praktik ini merupakan upaya merawat taman hati bersama-sama. Jangan tunggu sampai kondisi sudah sangat buruk, barulah ingat untuk praktik. Jika kondisi masih belum begitu parah, maka masih bisa diselamatkan. Jika luka hati sudah sangat dalam lalu diperparah dengan persepsi keliru, maka pilihan mereka hanya ada satu, berpisah.
Jika memang pilihannya berpisah, saya menghargai pilihan Anda. Saya sering menganalogikan suami-istri bagaikan perahu. Cerai itu seperti membelah perahu menjadi dua. Suami dan istri bisa berenang, namun anaknya yang karam!
Master Zen Thich Nhat Hanh bilang, “Understanding is the foundation of love, how can you love without understanding”. Mengerti apa? Mengerti kesulitannya. Mengerti pandangannya. Mengerti cara berpikirnya. Mengerti sukacitanya. Mengerti kebahagiaanya. Mengerti aspek-aspek kehidupnya.
Terus Mencintai
Cinta itu unik, cinta itu seperti tumbuhan. Dia bisa tumbuh dan dia juga bisa mati. Jika Anda tahu bagaimana merawatnya, memberikan pupuk dan siraman air, maka akar cinta itu akan sehat dan kuat. Jika diserang hama, maka perlu ada pemangkasan. Keterampilan itu dibutuhkan sebagaimana tukang kebun mahir.
Pilihlah untuk mengerti agar Anda bisa terus mencintai. Mengerti membantu Anda menerima, perubahan lebih autentik akan perlahan-lahan terjadi dari titik itu.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
“Like” tulisan ini, Bhante. Anumodana _/|_
Hello Ivana,
Thank you so much. _/_
smiles,
B. Nyanabhadra