Keheningan itu mewah bagi saya. Dunia kini kian dikepung kebisingan. Menikmati keheningan di metropolitan mungkin bisa menjadi kemewahan tersendiri. Saya senang metropolis di tengah malam, karena begitu hening bening.
Manusia kekinian cenderung memilih untuk mendistraksi diri melalui berbagai cara. Dari gawai hingga media sosial. Mereka memilih mengeruhkan pikiran daripada keheningan. Mereka yang sekali-kali ingin berenang melawan arus itu saya sebut sebagai mereka yang suka mengikuti retret, mereka beharap mendapatkan keheningan. Tapi, retret untuk anak-anak tampaknya 180° berbeda.
Tidak Begitu Hening
Anak-anak seusia SD kelas V dan VI tampaknya tidak begitu hening. Sumber energi mereka seolah-olah tanpa batas. Sesaat mereka tiba di Pondok Sadhana Amitayus, mereka langsung berhamburan lari-lari di lapangan hijau. Maklum, lapangan hijau itu sebuah kemewahan bagi mereka.
Semua orang juga tahu, anak-anak itu sulit untuk berdiam diri. Sekitar 70an anak Sekolah Tri Ratna mengikuti program retret tahun ini. Suara mereka membahana sejauh radius ratusan meter, saya yang sedang duduk di kamar saja bisa merasakan histeria mereka.
Saya bertugas memberikan orientasi kepada anak-anak tentang meditasi terapan, ada meditasi duduk, meditasi jalan, meditasi berbaring, meditasi makan, meditasi kerja, dan meditasi mendengar lonceng. Mereka sangat antusias karena mendengar begitu banyak jenis meditasi, mereka sudah tidak sabar mencobanya. Ketika Saya bilang meditasi berbaring, mereka langsung melotot seolah-olah tidak percaya.
Penjelasan dibuat sesederhana mungkin. Esensi meditasi yang perlu mereka ketahui adalah bagaimana membantu mereka mengembalikan pikiran yang sedang berkelana. Pikiran yang berkelana inilah yang bikin lelah. Napas menjadi kuncinya! Jadi sebagian latihan ini membantu mereka sedikit lebih hening, minimal hening ucapan.
Anda sudah bisa tebak, ternyata mereka tidak begitu bisa diam. Walaupun sudah mengerti, mereka tetap tidak bisa hening. Retret anak memang tidak bisa terlalu hening, jadi nikmati saja suasana kurang hening itu, daripada menghabiskan energi untuk men-diam-kan mereka.
Hening yang bisa dinikmati adalah ketika mereka meditasi makan sekitar 15 menit atau ketika dentang jam dinding pada pukul 12:00 siang, karena dentangnya lebih lama. Suasana hening diantara bisingnya anak-anak sangatlah mewah bagi saya, saya sangat bersyukur.
Bermain Cara Untuk Berbahagia
Saya sering meletakkan ide-ide tentang retret hening. Anak-anak justru selalu menemukan waktu senggang lalu berhamburan ke lapangan untuk bermain, bahkan mereka menemukan cara baru untuk berbahagia ketika bermain dilapangan hijau, menurut saya ini lebih baik daripada bermain game online seharian.
Ada anak yang melihat congklak, dia bilang, “Bhante pinjam congklak yah.” Saya jawab, “Silakan, tapi nanti kembalikan ke tempatnya semula yah.” Dia jawab, “Siap”. Mereka berbahagia main congklak, itu saja yang mereka nikmati.
Ada anak yang menikmati menyapu di halaman, bahkan sudah dibilang waktu menyapu sudah habis, mereka tetap mau menyapu. Saya tanya, kenapa suka menyapu? Mereka jawab karena seru menyapu bareng teman-teman. Bagi saya ini respon tulus seorang bocah. Orang dewasa sering kehilangan kemampuan untuk berbahagia melalui hal-hal kecil, mungkin kita perlu belajar dari anak-anak lagi.
Picnic Lunch
Saya mengantungkan hammoc di dua batang pohon, ketika lelah saya bisa berbaring di sana, apalagi ditemani keteduhan dan angin sepoi-sepoi. Tadi siang, anak-anak bertanya, “Bhante, apa itu picnic lunch?” Oh, ternyata saya memasukkan jadwal picnic lunch, saya bilang adik-adik antri ambil makanan, cari tempat yang asyik, contoh di bawah pohon, lalu boleh langsung makan, tidak ada bel mulai makan, tidak ada doa.
Tebak apa yang mereka lakukan? Ada yang menggelar tikar di pojok sebelah sana, ada yang duduk di tangga bagian depan, ada yang menggelar tikar di halaman depan. Semua menikmati kebersamaan. Lalu saya ikut bergabung di kelompok anak-anak yang berada di halaman depan. Ada satu anak tidak terlalu jauh, dia berbaring telungkup di atas rumput hijau dan menikmati makanannya. Saya tanya ke anak-anak lain, “Mengapa dia makan terlungkup begitu?” Anak-anak menjawab, “Karena dia jomblo bhante, jomblo zaman now……” kami semua ketawa. Ada satu lagi anak menimpalin, “Dia itu jomblo zaman now yang makan di pinggir pantai bhante….” ini membuat kita ketawa tambah puas.
Lalu di depan saya ada 2 anak duduk di atas hammoc saya sambil menikmati makan siang. Hammoc ini ternyata lebih sering dinikmati anak-anak, bahkan rebutan! Ternyata anak-anak selalu punya cara untuk menikmati kebahagiaan melalui hal-hal sederhana. Bagi mereka hammoc itu barang baru, dan kadang ada 3 atau 4 anak sekaligus duduk di atas hammoc itu, wuah!
Jika Anda sudah tidak tahu lagi bagaimana berbahagia, maka anak-anak bisa menjadi gurumu. Tidak percaya? Coba saja perhatikan mereka dengan mata polos, mungkin Anda bisa melihat kebahagiaan yang terpancar dari mata mereka.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.