Dimensi spiritual memang tidak pernah dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, karena kehidupan itu sendiri adalah spiritual, demikianlah yang ingin Buddha sampaikan kepada kita tentang meditasi, melalui dimensi spiritual untuk memperindah kehidupan.
Ketika awal berlatih meditasi, saya sering memisahkan antara meditasi dan kehidupan. Ketika pertama kali datang ke Plum Village untuk retret, saya merasa retret adalah keluar atau mundur dari kehidupan, retret merupakan suatu aktivitas spesial yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan, seolah-olah kita mencabut diri dari kehidupan. Setelah merenung berulang-ulang saya menemukan sifat diskriminasi yang sangat kental dalam cara pemikiran saya secara umum.
Sekarang, saya tidak melihat ada perbedaan terlalu signifikan antara retret dan non-retret. Ketika awal ikut retret, maka retret adalah retret, kemudian setelah sekian lama di Plum Village saya merasa retret di Plum Village tidaklah sesuai dengan definisi retret yang pernah ada dalam benak saya, oleh karena itu saya mengadopsi definisi baru lagi. Syukurnya, sekarang saya sudah bisa merasakan retret di dalam non-retret dan begitu juga merasakan non-retret di dalam retret, seolah-olah seperti permainan kalimat atau sekedar permainan buah pikiran, namun sungguh menarik untuk diteliti lebih dalam, asal jangan sampai mengusutkan pikiran.
Bersatu dalam Samudra
Bayangkan dua buah sungai yang mengalir ke samudra, air sungai ini berasal dari tempat berbeda, ketika mereka tiba di samudra maka kita sudah tidak bisa membedakan lagi air mana yang berasal dari sungai ini dan air mana yang berasal dari sungai itu. Mempersatukan retret dan non retret juga demikian, jadi secara sederhana kita boleh bilang bahwa di samudra ada air dari sungai ini dan juga dari sungai itu, demikian juga retret mengandung non-retret dan dalam non-retret mengandung retret. Sehingga tidak ada perbedaan terlalu signifikan. Ini bukan berarti membuat kita menjadi bingung, namun kita bisa melihat dua elemen pembentuk kehidupan yaitu retret dan non-retret, sama persis dengan ketika Buddha mengatakan manusia terbentuk dari lima aggregat atau lima kumpulan, di samping masih membutuhkan elemen lain sebagai pembentuk.
Kehidupan merupakan sebuah misteri yang selalu ingin kita mengerti. Menyelami kehidupan seperti pergi ke hutan untuk melakukan sebuah eksplorasi. Saya memilih untuk mengeksplorasi kehidupan lewat memfokuskan diri pada dimensi spiritual. Oleh karena itu kehidupan monastik menjadi pilihan yang cocok dan sekaligus asyik untuk ditempuh bagi saya.
Lupakan Dirimu
Zen Master Dogen (道元禅師) pernah bilang, “Belajar Dharma adalah belajar tentang diri sendiri. Belajar tentang diri sendiri adalah untuk melupakan diri sendiri. Melupakan diri sendiri berarti dicerahkan oleh seluruh alam semesta.”
Dharma merupakan suatu cara untuk memahami lebih dalam tentang apa yang terjadi dalam diri sendiri, manifestasi apa yang sedang muncul dalam hati, emosi apa yang sedang berkecamuk. Semakin kita mengerti tentang diri sendiri yang kerap disebut ego dan unsur pembentuknya, maka kita bisa mulai mengerti bahwa ego juga terbentuk dari lingkungan, sifat dan karakter orang tua, budaya dan pendidikan, dengan demikian membantu kita tidak mengagungkan “ego” yang hanyalah terbentuk dari berbagai elemen, dari sinilah mungkin terjadinya transformasi dan mengurangi ego, yang Master Dogen sebut melupakan diri sendiri, lupakan egomu. Kalau sudah tidak ada ego lagi maka apa pun yang terjadi di alam semesta ini akan menjadi elemen bagi kemunculan pengertian dan pencerahan.
Esensi Meditasi
Meneropong kembali ajaran Buddha dari zaman India kuno yang kemudian menyebar ke berbagai negara dan mengalami berbagai perubahan, ketika melihat kembali ke esensinya, maka kita menemukan kembali pilar-pilar utama ajaran Buddha, seperti Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Mulia Beruas Delapan, Sila, Samadhi, dan Prajna, serta praktik samatha dan vipasyana yang menjadikan sati (hidup sadar) sebagai landasan utamanya. Buddha mengajarkan untuk melakukan semua aktivitas dengan penuh kesadaran. Dari bangun tidur, mengenakan jubah, mengambil mangkuk, meditasi jalan menuju rumah di desa untuk meminta sedekah makanan, dan makan, dengan penuh kesadaran.
Zaman India kuno tentu saja tidak sekompleks zaman sekarang ini. Zaman dahulu para biku dan bikuni barangkali perlu ke sungai untuk mandi dan mencuci jubahnya, zaman sekarang kita punya mesin cuci. Zaman dahulu alat sapu barangkali sangat sederhana, zaman sekarang kita punya sapu yang lebih canggih dan juga vacuum cleaner. Belum lagi alat-alat elektronik yang terlihat sangat kontras jika dibandingkan dengan zaman dahulu. Zaman sekarang biksu yang menenteng telepon genggam atau laptop tampak sebagai suatu hal yang lumrah, 20 tahun lalu barangkali agak janggal.
Di Indonesia barangkali masih ada perasaan aneh jika melihat biku yang memasak di dapur, namun ada beberapa tempat yang para bikuni juga ikut turun tangan di dapur, atau biku dan bikuni yang menyetir dari satu tempat ke tempat lain, atau yang mencangkul di kebun. Barangkali pemandangan ini masih agak asing bagi mata kita, tapi lain cerita ketika berada di Plum Village dan wihara di luar negeri seperti di Vietnam, Taiwan, maupun Tiongkok.
Meditasi di Dapur
Di Plum Village setiap monastik wajib ikut dalam rotasi masak di dapur, pada umumnya kami di bagi dalam kelompok untuk memasak di dapur. Barangkali ada yang merasa janggal karena dari tradisi Theravada bahkan tidak boleh menyimpan makanan, apalagi memasak. Ketika menyimak kisah-kisah India kuno, yang tercatat memang demikian karena para biku dan bikuni pergi pindapatta, kemudian agar bisa mendukung latihan maka para biku dan bikuni tidak diperbolehkan menyimpan makanan maupun memasak. Zaman sekarang tentu saja sudah hampir tidak memungkinkan kecuali di negara yang masih berpraktik pindapatta. Beberapa penyesuaian juga dilakukan, di sini kami mendapat tugas masak di dapur. Kami kerja di dapur dari subuh menyiapkan sarapan pagi, kemudian menyiapkan makan siang dan setelah itu istirahat sebentar, lalu sore hari mengolah kembali sisa makanan tadi siang atau memasak lagi sesuai dengan kebutuhan makan malam.
Bhante Thich Nhat Hanh, yang akrab di sapa Thay, juga menasihatkan kami untuk berlatih hidup sadar ketika bekerja di dalam dapur. Biasanya sebelum mulai masak, tim masak akan berkumpul bersama di dapur untuk mendiskusikan akan memasak sayur apa, kemudian kita memberikan persembahan dupa kepada “Bodhisattva Food Inspector”, baru kemudian memulai masak. Teman-teman lain yang tidak bertugas masak akan latihan sesuai dengan jadwal, apakah berlatih di aula meditasi atau di ruang kelas belajar, sedangkan kami yang memasak di dapur juga menjadikan dapur sebagai aula meditasi sebagai sarana berlatih.
Saya termasuk yang tidak bisa memasak. Saya sempat menolak untuk masuk rotasi masak di dapur, tapi ada satu biku yang bilang, “Tenang saja, kita bermain kok di dapur.” Setelah berpikir-pikir dan juga memang tidak ada pilihan lagi, akhirnya saya ikut bergabung dalam tim rotasi, walaupun cuman kebagian masak satu minggu sekali. Setiap kali masuk dapur ada rasa canggung dan malu, karena memang tidak pernah memasak. Lihat panci saja sudah gugup, belum lagi masak.
Awal bertugas saya hanya bantu memotong dan mencuci sayur, kemudian kupas kentang dan wortel, beserta sayur-sayur lain, juga mencuci kuali-kuali besar. Setelah beberapa kali masak, saya mulai belajar melihat bagaimana mereka masak. Sekali-kali mencoba mengaduk sayur dan bertanya kepada kepala grup tentang bumbu apa saja yang dipakai dan bagaimana cara masak. Semakin hari semakin mengerti, rasanya seperti on job training di restoran, namun training ini terasa sedikit beda dengan restoran, perbedaannya terletak pada nuansa latihan hidup sadar. Ketika mencuci sayur maka saya lakukan dengan pelan-pelan dan penuh kewaspadaan. Ketika memotong sayur maka saya lakukan dengan penuh kesadaran dan suka cita. Tidak merasa ada orang yang memaksa saya bekerja di dapur, juga tidak khawatir ada bos yang marah kalau kita berbuat sesuatu yang kurang tepat. Saya juga ingat Thay pernah bilang, masaklah dengan hati riang dan gembira sehingga makanan yang kita masak juga mengandung energi riang gembira, ketika orang memakan masakan itu maka mereka juga bisa merasakan energi riang gembira.
Selama bekerja di dapur sungguh banyak kebijaksanaan yang lahir. Suatu kali saya diminta menggotong sayur dari cooler (lemari es besar) ke dapur, setelah menggotong sebagian besar sayur ke dapur, saya melihat ada beberapa sayur yang sudah mulai layu. Tiba-tiba lahir sebuah pengertian baru. Saya membayangkan kalau setiap hari kita beli sayur namun tidak memasaknya, maka sayur mayur itu hanya menumpuk di dalam cooler, tentu saja akan pelan-pelan membusuk dan tidak bisa dimakan lagi. Saya langsung mempertalikan hal ini dengan belajar teori dharma dan praktik langsung. Kalau saya hanya belajar dharma terus menerus namun tidak pernah praktik, maka teori-teori dharma itu juga akan membusuk dan bahkan bisa berubah menjadi racun.
Lahir dari Dapur
Saya membayangkan Sesepuh Zen, Hui Neng (六祖惠能), teringat beliau juga memulai karir dari dapur. Beliau tidak berpendidikan karena lahir dalam keluarga miskin. Ayah beliau sudah meninggal sejak Hui Neng masih usia muda. Beliau juga bertugas di dapur, entah tugas seperti apa yang beliau lakukan, barangkali tidak jauh berbeda dengan apa yang kami lakukan di Plum Village. Ketika mengingat kembali kisah Sesepuh Hui Neng, semangat bekerja saya di dapur menjadi lebih besar. Jadi, seharusnya para ibu yang bekerja di dapur juga bisa menghadirkan banyak kebijaksanaan dari bekerja di dapur, sehingga bekerja di dapur bukanlah sebuah pekerjaan lagi namun sudah berubah menjadi sebuah latihan yang menyenangkan. Seharusnya semangat ini juga bisa diterapkan di kantor!
Teringat suatu ketika di musim panas, banyak sekali peserta retret, umumnya bisa mencapai 400-an orang. Untuk memasak buat 400 orang tentu saja tidak mudah. Suatu kali saya harus mencuci kuali dan panci besar, banyak yang sudah berkerak, harus dikerok dan digosok dengan sekuat tenaga. Setelah menggosok dan menggosok, ternyata panci yang hitam tetap saja tidak bisa bersih seperti sedia kala, ada saja bercak hitam di sana-sini. Ketika menerapkan latihan hidup sadar di saat mencuci panci, saya jadi teringat bahwa batin saya juga demikian, seberapa banyak kali dibersihkan tetap saja tidak bisa bersih sepenuhnya, ada saja bercak hitam yang tertinggal. Hal ini membuat saya menjadi lebih semangat lagi karena saya yakin Siddharta bisa memurnikan diriNya, lantas saya juga punya potensi yang sama, walaupun masih ada bercak hitam di sana-sini tapi sudah ada tanda-tanda lebih bersih.
No Work No Eat
Jadi cukup relevan dengan apa yang disebutkan di awal, satu hari tidak bekerja maka satu hari tidak makan. Hanya saja yang dimaksud dengan bekerja itu tentu saja bisa dalam berbagai bentuk, seperti saya bekerja di dapur, memotong sayur, mengupas kentang, dan sebagainya. Ada juga kerja dalam bentuk lain seperti yang dikutip dalam kisah singkat ini:
Ada sebuah kisah yang mencatat percakapan seorang petani bernama Kasibharadvaja dengan Buddha. Kasibharadvaja bilang, “Oh petapa Gotama, saya membajak dan menyemai, kemudian panen dan barulah bisa mendapatkan makanan, Engkau hendaknya juga melakukan demikian.” Buddha menjawab, “Wahai petani, saya juga membajak dan menyemai, kemudian panen dan barulah mendapatkan makanan.” Petani itu lantas membalas, “Saya tidak melihat Engkau punya bajak dan kerbau.”
Buddha menjawab, “Keyakinan adalah benih yang kami semai, rajin berlatih adalah hujan kami, kebijaksanaan adalah kuk dan bajak kami, pikiran adalah tali pengikat kami, energi kesadaran adalah mata bajak kami. Menjaga ucapan dan perbuatan, sederhana dalam makanan, dengan kebenaran kami memotong rumput liar, welas asih adalah pembebasan kami, pengerahan tenaga bagaikan kerbau yang menarik bajak membawa kami menuju Nirvana.” Di akhir percakapan itu Kasibharadvaja berlutut sujud puas. Kisah lengkapnya bisa dilihat dalam Kasibharadvaja Sutta dalam Sutta Nipata 1.4.
Membaca kisah zaman dahulu juga banyak memberikan pengertian dan refleksi atas kehidupan monastik zaman sekarang ini, walaupun bentuknya berbeda tapi ketika kita bersedia menyediakan waktu untuk melihat lebih dalam, tentu saja kita bisa menemukan esensi ajaran yang sama.
Bersatu dalam Dimensi
Dalam tradisi Zen kami berlatih konsentrasi tanpa wujud (S. Animitta; C.無相). Berlatih sedemikian rupa untuk tidak terjebak pada bentuk luar. Tentu saja seorang monastik tetap butuh bentuk luar ketika berbicara dalam dimensi historis (S. samvṛti-satya, C. 俗諦), sebagai contoh, kami perlu menjaga penampilan tampak luar dengan mengenakan jubah secara rapi sebagai suatu bentuk latihan hidup sadar. Lain lagi ketika dalam konteks dimensi tertinggi (S. paramārtha-satya, C. 真諦), sebagai contoh, para monastik hendaknya tidak memperdebatkan lagi tentang model atau warna jubah apa yang paling tepat, karena memang tidak ada jubah yang paling tepat, yang ada hanyalah jubah yang sesuai.
Ketika pertama kali menjadi sramanera, saya berencana untuk menyediakan seluruh waktu untuk belajar Buddhadharma dan meditasi. Sampai sekarang juga punya ide yang sama, namun penerapannya sudah sangat berbeda. Saya banyak belajar Buddhadharma di luar aula meditasi, seperti di dapur, ketika sedang membersihkan toilet, ketika menyapu di perpustakaan, ketika sedang mencuci piring dan gelas, ketika sedang berjalan di atas rumput, dan ketika sedang mengangkat telepon. Semua ini adalah cara saya berlatih untuk mengerti lebih dalam tentang Buddhadharma melalui aktivitas kehidupan sehari-hari. Metode yang dilakukan adalah dengan meditasi, lewat napas dan energi kesadaran penuh yang bersentuhan dengan semua aktivitas yang sedang dikerjakan saat ini. Ketika perhatian tertuju pada aktivitas yang sedang ada di depan mata maka kita tidak lagi diseret oleh masa lalu dan masa depan. Dalam kondisi batin yang tenang, saya juga bisa merencanakan masa depan dengan baik dan memetik buah kebijaksanaan dari apa yang sudah pergi menjadi masa lalu, karena saya tahu dengan jelas bahwa masa lalu akan datang kembali lagi dan menjelma sebagai masa depan saya. Ketika penjelmaan itu hadir, maka ia berubah wujud menjadi masa kini. Menarik bukan tiga masa ini?
Artikel ini ditulis khusus buat majalah Sinar Dharma.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.