Suatu hari, Buddha sedang duduk santai berbincang-bincang dengan beberapa muridnya, bercakap-cakap sambil menikmati rimbunnya teduh di bawah pohon. Terlihat dari jauh ada seorang pria asing berjalan menuju arahnya, setibanya di hadapan Buddha, tanpa menguncarkan sepatah katapun dia langsung meludahi wajah Buddha.
Suasana tiba-tiba sunyi-senyap, Buddha spontan menarik jubah bagian bawahnya untuk membersihkan wajahnya lalu bertanya, “Lalu, apa yang ingin engkau sampaikan?” Pria itu tampak kikuk dan tak keruan bingung, dia tidak menyangka akan mendapat respon demikian.
Dia pernah mempermalukan banyak orang dan rata-rata mengamuk, mereka yang pengecut akan tertunduk atau bahkan ada yang mencoba menyogoknya dengan duit. Namun respon Buddha sama sekali berbeda, Buddha tidak marah, juga tidak merasa dihina atau dipermalukan, juga tidak seperti seorang pengecut, justru Buddha hanya bertanya, “Lalu, apa yang ingin engkau sampaikan?” Buddha tidak membalas dengan kekerasan.
Beberapa bhante yang berada disamping Buddha kontan bereaksi keras. Bhante Ananda langsung angkat bicara, “Ini benar-benar keterlaluan, kita tidak boleh membiarkannya. Dia harus dihukum, jika dibiarkan maka, nanti semua orang akan melakukan hal serupa lagi!”
Buddha menenangkan Ananda, “Kamu hendaknya tetap tenang. Dia tidak menghina saya, justru Anda-lah yang menghina saya. Dia ini orang asing yang tidak dikenal. Tampaknya dia mendengar sesuatu tentang saya dari orang lain, bisa jadi saya dituduh sebagai seorang atheis, manusia berbahaya yang suka menjerumuskan orang lain, seorang pembangkang, atau koruptor. Pikiran pria itu tampaknya telah dipenuhi oleh berbagai gagasan tentang saya. Pria itu tidak meludahi saya, justru dia meludahi gagasannya sendiri. Pria itu telah meludahi gagasan dia tentang saya, ini dikarenakan dia tidak kenal saya, jadi bagaimana mungkin dia meludahi saya?“
“Jika engkau menatap lebih dalam,” Buddha melanjutkan, “Sebetulnya yang dia lakukan adalah meludahi pikirannya sendiri. Saya bukan bagian dari pikirannya, saya yakin bahwa ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh pria malang ini, jadi meludah adalah cara dia menyampaikan sesuatu.“
“Kadang engkau merasa ucapan tidak mampu melaksanakan tugasnya alias mentok; maka engkau menggunakan tindakan sebagai gantinya berbicara, engkau marah, engkau membenci, engkau mencintai, engkau berdoa.“
“Ketika engkau marah besar, engkau naik pitam, bahkan engkau menonjok pihak lain, engkau meludahi pihak lain, engkau ingin menyampaikan sesuatu. Saya bisa memaklumi hal demikian. Saya yakin dia ingin menyampaikan sesuatu, oleh karena itulah saya bertanya, ‘Lalu, apa yang ingin engkau sampaikan?'”
Pria itu tidak meludahi saya, justru dia meludahi gagasannya sendiri. Pria itu telah meludahi gagasan dia tentang saya, ini dikarena dia tidak kenal dengan saya, jadi bagaimana mungkin dia meludahi saya?
Pria itu tertegun binggung bahkan tidak tahu harus berbuat apa! Buddha kemudian melanjutkan, “Saya justru merasa terhina oleh kamu, wahai Ananda, karena engkau sudah hidup berdampingan denganku sekian tahun, namun engkau masih bereaksi keras.”
Begitu pusing dan tidak tahu harus berbuat apa, pria malang itu pulang tanpa melontarkan sepatah katapun. Pria itu pulang ke rumah, sepanjang malam tidak bisa tidur, dia hanya bergolek ke kanan dan ke kiri, matanya melek terus sepanjang malam. Kesan yang begitu mendalam ketika bertemu dengan Buddha, adegan tadi siang masih terus menghantui dirinya.
Dia sama sekali tidak menduga kejadiannya bisa begitu. Dia gemetaran bahkan keringat dingin membasahi selimutnya. Dia belum pernah bertemu dengan manusia seperti itu, Buddha telah mengguncang seluruh badan jasmani, pikiran, dan hatinya, Buddha telah mengguncang hidupnya.
Keesokan paginya, pria itu datang kembali bertemu Buddha. Dia langsung menghamburkan dirinya bersujud di hadapan kaki Buddha. Kemudian Buddha kembali bertanya, “Lalu, apa yang ingin engkau sampaikan?” Pria itu bertindak demikian merupakan cara dia menyampaikan pesan hatinya, inilah bahasa-nya.
“Engkau datang dan bersujud dihadapan saya, berarti ada sesuatu yang sangat sulit Anda sampaikan sehingga Anda menggunakan tindakan, kadang-kadang bahasa terlalu miskin, tidak ada kata-kata yang pas untuk menyampaikannya.” Buddha menatap Ananda dan berujar, “Ananda, lihatlah, pria ini datang kembali, dan dia ingin menyampaikan sesuatu, pria ini memiliki karakter emosional meluap.”
Pria itu mendongak kepalanya dan menjawab, “Maafkan perbuatan saya kemarin.”
Buddha membalas, “Memaafkan? Tapi saya bukanlah saya yang kemarin yang engkau ludahi. Air di sungai Gangga terus mengalir, tidak akan pernah sama lagi setiap momen. Setiap manusia adalah sungai. Manusia yang engkau ludahi kemarin sudah tidak ada lagi di sini. Saya mirip dengan saya yang kemarin, tapi tidak persis sama, sudah banyak peristiwa yang terjadi selama 24 jam! Air di dalam sungai itu telah mengalir dan mengalir. Jadi saya tidak bisa memaafkan Anda karena saya tidak ada rasa dendam sama sekali terhadap perbuatanmu.”
“Anda juga manusia baru hari ini. Saya bisa melihat bahwa kamu bukanlah kamu yang dengan penuh amarah lalu meludahi saya, sekarang Anda sedang bersujud di sini, menyentuh kaki saya. Bagaimana mungkin Anda sama dengan Anda yang kemarin? Anda sudah berbeda hari ini, jadi mari kita lupakan saja kejadian kemarin. Dua orang itu, dia yang meludahi dan dia yang diludahi sudah tidak ada lagi. Lihatlah dengan seksama. Mari kita berbincang-bincang hal lain.”
Ini adalah karya fiksi yang diterjemahkan, ditulis ulang, dan dimodifikasi dari: Wisdom Pills
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
Namo Buddhaya,ini yang kedua kalinya saya mengikuti refleksi melihat kedalam diri.Saya selalu mendapatkan manfaat dari artikel tersebut.Kenapa saya bilang begitu?karena menyadarkan dan mengajarkan saya akan bertingkah laku, berpikir,berbicara dan berbuat.Belakang ini,saya tidak sadar bahwa saya selalu diikuti oleh Mara (nafsu keinginan,kemarahan,ketidakpuasan,memaksa kehendak orang lain,dsbnya),sehingga kurang kesadaran dalam berbicara sehingga membuat orang-orang yang ada disekeliling merasa tidak nyaman.Terutama terhadap guru pembimbing saya,saya berbicara agak kasar dan saya merasa guru pembimbing menjadi sedih karena sikap saya yang kurang ajar.Saat suasana hati saya sudah agak tenang,saya review dan merenungkan kembali,ternyata saya melakukan kesalahan besar terhadap guru pembimbing saya.Saya tahu bahwa guru pembimbing ,orangnya sangat sangat baik hati,welas asih dan cara berbicara,juga sikapnya terhadap kami penuh dengan kasih.Saya sangat menyesal ,saya bertanya kepada diri sendiri.Kenapa saya bisa melakukan hal yang sangat bodoh?Sudah terlambat dan menyesali akan perbuatan saya sehingga membuat diri saya sendiri menderita karena hasil dari kebodohan saya sendiri.Dari cerita tersebut mengajarkan kepada saya,saat kita sadar akan kesalahan sendiri dan berani mengakui akan kesalahan,dan memulai lembaran baru untuk diri sendiri,ini merupakan untuk mengembangkan energi welas asih terhadap diri sendiri dan orang lain.Juga belajar memaafkan, memahami,menerima diri sendiri dan orang lain.Saya harus lebih lebih giat lagi untuk melatih hidup berkesadaran dalam kehidupan sehari hari.
Sadhu..sadhu..sadhu..Artikel ini sangat bermanfaat bagi saya .Terima kasih Bhante?
Sungguh BERBEDA JAUH DENGAN APA YG PENGIKUTNYA LAKUKAN DI MYANMAR…
mereka berarti bukan pengikut Buddha… (Cut by editor)
Mohon petunjuk di sutta manakah ttg “Pria itu meludahi Buddha” ??? terima kasih
Hai Indra,
Saya mendapatkan dari wisdompills, menurut mereka juga tidak menemukan sumbernya. Walaupun tidak ada sumbernya, namun saya sangat sepaham dengan cara Buddha. Ajaran dari kisah itu juga semuanya selaras dengan Ajaran Buddha.
Semoga bisa sedikit membantu.
Salam bahagia,
Saya meneteskan air mata saat membaca hal ini dan saya belajar sesuatu yg baik. Rahayu
Jika kisah ini tidak ada di sutta, seharusnya tidak diklaim sebagai ucapan Buddha (sebagus apapun itu). Bukan berarti fake story dan quote seperti ini tidak bermanfaat. Silakan ambik hikmahnya kalau dirasa ada. Tapi kisah palsu yg mengatasnamakan Buddha inilah yang mempercepat pudarnya ajaran yang sesungguhnya.
Baca sutta berikut ini yang menyatakan bahwa di masa depan, orang akan lebih menyukai khotbah puitis berkalimat indah, dibandingkan Ajaran Buddha yang mendalam. Pada akhirnya khotbah yang dibabarkan Sang Buddha akan lenyap.
https://dhammacitta.org/dcpedia/SN_20.7:_Āṇi_Sutta
“Apapun yang bermanfaat bagi perkembangan bantinmu adalah Dhamma.” Seseorang pernah mengatakan hal tsb kepada saya. Tidak tertulis dalam sutra bukan berarti sesuatu tsb bukan Dharma. Kembali lagi, “Apapun yang bermanfaat bagi perkembangan bantinmu adalah Dhamma.”
Dear Siwi,
Saya cenderung setuju dengan Anda. Namun saya juga menghargai teman-teman yang berpendapat lain.
Saya bukan termasuk orang yang melekat pada otentitas suatu kisah, karena kisah atau cerita sudah banyak mengalami perubahan dan penambahan. Ketika esensinya tetap kita dapatkan sesuai dengan Dharma, bagi saya pribadi tidak terlalu masalah walaupun kisahnya sudah berubah.
Lagipula saya bukan termasuk orang yang percaya begitu saja 100% pada kitab pali maupaun kitab sanskerta, semua itu perlu kita periksa baik-baik dan menemukan intisarinya. Kalau mencari kemurnian kitab, tampaknya bukan menjadi tujuan utama saya.
Terima kasih sudah mampir ke sini.
Salam bahagia
“The Truth will set you free”
Satu kalimat yang saya temukan di dinding cafe, hotel bandung.
Kebenaran, jika bukan kebenaran sejati, maka tidak akan mem”bebas”kan namun justeru akan memerangkap kita, termasuk proses pembuktian apakah itu dhamma atau bukan apakah dhamma ini adhamma atau dhamma, …
Jika keberadaan Buddha 2500an tahun silam, ada atau tidak, masih menjadi pertanyaan, bagaimana seseorang bisa tidak mempertanyakan keaslian text yang dicatat oleh entah siapa di mana, untuk apa, motif dibelakangnya dan seterusnya.
Salah satu dhamma, kebenaran yang ditunjukkan dengan jelas oleh Buddha adalah KAMMA, hukum alam Kamma.
Sudahkah kita percaya kamma sebagaimana kita percaya Gravitasi?
Air Danau yang tenang, diam tak beriak, berada diatas permukanan bumi, yang berputar dengan kecepatan 1.113km/jam…tidak lagi kita pertanyakan, karena kita percaya ada gravitasi yang memegang airnya tiap saat.
Kalau kamma, belum tentu?
Have a nice day💚