Manusia dilahirkan langsung bersaudara, tak ada orang yang memilih untuk bersaudara dengan orang tertentu, tapi sejak dilahirkan bahkan ketika masih dalam kandungan, kita sudah memiliki saudara. Saudara kandung juga demikian, seseorang tidak memilih, dan juga tidak bisa memutuskannya.
Sejak umur 4 tahun, mama saya sudah “pergi” (baca: Mencari mama yang hilang). Kadang saya merasa ini tragedi terbesar dalam hidup, kondisi ini sungguh tidak adil. Namun adil tidak adil siapa yang bisa menimbangnya? Walaupun saya anggap ini suatu ketidakadilan, tapi tante mengambil alih tugas mama, apakah masih tidak adil? Setelah kepergian mama, tante seolah-olah mengambil tanggung jawab mama, lalu kesimpulan saya tentang ketidakadilan pun mulai berubah, ternyata dunia ini cukup adil.
Harapan Sukses
Tante saya tidak berpendidikan tinggi. Satu hal yang sangat berkesan adalah dia sangat rajin bekerja. Ia menyanyangi kami sebagaimana menyayangi anak kandungnya sendiri. Ia berharap bisa membiayai kami sekolah dan sukses di masa depan, pernah sekali sebelum ia pergi ke singapura, ia bilang “belajarlah yang rajin, kamu harus jadi manusia sukses”, saya hanya mengangguk-angguk saja tidak mengerti.
Ia akhirnya menikah dengan seorang pria yang baik hati dari singapura, mereka berdua membuka warung makanan di hawker sekitar Bugis Junction. Setiap beberapa bulan sekali, kami selalu mendapat uang saku tambahan yang dia kirimkan diam-diam dari singapura. Ia takut suaminya tidak setuju, makanya diam-diam. Walau jauh, ia rutin ke riau untuk melongok kami, memastikan kami cukup makan, sehat, dan punya biaya untuk sekolah.
Kami tidak pernah putus kontak dengan tante. Setelah sekian lama, tante melahirkan seorang anak perempuan. Tante sibuk mengurus anak dan usaha hawker mereka, beberapa tahun tidak pernah bertemu lagi. Empat tahun lebih tidak ada kabar, sementara anak perempuannya juga sudah berusia 4 tahun, barulah dia kembali mengunjungi kami lagi.
Pergi untuk Kembali
Tante saya kembali tenggelam dalam mengasuh anak dan mengurus bisnisnya. Waktu berlalu cepat, saya sudah selesai SMA. Rencana saya ingin kuliah di ITB, tapi realitas berbicara lain. Saya mengikuti 3 kali UMPTN, saya tidak pernah lulus, justru lolos. Dulu namanya UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri), sekarang sudah berubah istilahnya. Kegagalan masuk ITB dibayar dengan diterima di Universitas Padjadjaran dan IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia).
Sewaktu kuliah di Bandung, saya sempat pacaran, lulus, kemudian kerja, dan menekuni dunia investasi. Hidup memang sebuah misteri yang kadang sulit ditebak. Saya berakhir berhenti kerja dan mencari jalan hidup lain yang anti mainstream. Saya menemukan spiritual sesuai dengan kata hatiku. Saya putuskan untuk masuk dunia monastik.
Seminggu setelah menerima penahbisan, saya pulang kampung untuk bertemu dengan kakak kandung. Tebak apa reaksi mereka? Tentu saja beragam, yang paling ekstrem adalah kakak kandung saya yang bahkan mengusir saya dari rumahnya. Beberapa tahun kemudian ketika saya berkunjung lagi, mereka sudah mulai berubah pandangan dan menerima keputusanku masuk dunia monastik.
Bertandang ke Rumah
Saya juga berkunjung ke singapura untuk melaporkan kepada tante bahwa saya sudah berubah status menjadi monastik. Saya bertandang ke rumahnya yang berada di potong pasir daerah utara Singapura. Saya masih ingat ia menangis dan menangis, dia bilang “Tindakanmu sungguh sebuah pengkhianatan terhadap leluhur”. Ia mengancam saya harus lepas jubah. Adik sepupu saya berseloroh, “Mama kok gitu, kakak sepupu biksu kan jadi orang lebih baik, kok dilarang?” Tante saya sempat terdiam sejenak dan air matanya juga mulai kering. Sepupu biksu dalam mandarin (和尚表哥; Pinyin: Héshàng biǎo gē) demikianlah adik sepupu menyapa saya, sampai detik ini dia masih memanggil begitu.
Saya melanjutkan, “Tante tenang saja, kalau tidak cocok di jalan ini, nanti saya juga keluar kok, tapi kalau jalan ini cocok, maka mohon restu”. Dia tetap tidak setuju dan mengajukan keberatan, dia bilang hanya boleh 1 tahun saja, jadi tahun depan harus lepas jubah. Saya hanya tersenyum dan bilang, “Ya sudah, lihat tahun depan saja, saya tidak bisa janji”. Pembicaraan kita berakhir disitu.
Tante saya paling kecewa ketika tahu saya praktik vegetarian, dia bilang, “Apaan-apaan itu, tidak boleh menikah, tidak boleh makan daging juga, itu seperti manusia tidak normal”, katanya. Dia ngoceh-ngoceh lama sekali, akhirnya saya hanya makan sayur-sayuran saja.
Masih Betah?
Pertemuan selanjutnya satu tahun kemudian. Saya mampir ke hawker tempat tante jualan bersama suaminya. Seperti biasa tante saya masih meminta hal yang sama, dia minta saya segera lepas jubah. Dia bahkan mau mencarikan kerja di singapura dan pindah kewarganegaraan. Saya menolak dengan halus. Dia kembali mengajukan keberatan, dia mengancam tahun depan harus lepas jubah dan cari kerja. Saya seperti biasa hanya senyum saja, tante saya juga bohuat.
Pertemuan selanjutnya, adik sepupu saya sudah menikah, dia pindah ke tempat lain, rumah di potong pasir tinggal mereka berdua saja. Mereka sering merasa kesepian, dan kedatangan saya membuat mereka bahagia. Tante saya bilang, “Diantara semua saudara kandungmu, kamulah orang yang paling sering ke sini. Walaupun saya selalu maksa kamu lepas jubah, tapi kamu tetap datang”. Pertanyaan tante saya mulai berubah, dia bertanya, “Emang kamu masih betah yah begini?” Saya hanya senyum dan membalas, “Iya masih betah”. Dia pun puas dan tidak memaksa saya lepas jubah lagi.
Beberapa bulan lalu, saya pergi berkunjung tante saya lagi di singapura. Kali ini kehadiran saya benar-benar membawa kebahagiaan luar biasa. Mereka berdua sudah pensiun, anak sudah menikah, dan cucu mereka sudah dua. Kali ini tante saya khusus masak makanan vegetarian, walaupun ada sepiring ikan kukus. Dia bilang, “Ini ikan hanya untuk kami berdua saja, kamu tidak boleh makan. Nih kamu makan sayur saja”. Kami bertiga makan dan ngobrol panjang berjam-jam. Pertemuan kami sungguh bahagia, dia tanya bagaimana kehidupan saya, apa saja aktivitas saya. Kami selalu berpisah dengan mata berkaca-kaca, malam itu juga demikian.
Dia tanteku tersayang, dia tinggal di singapura, sekarang sudah pensiun, kadang-kadang jalan-jalan keluar negeri, olah raga ringan setiap pagi dan sore. Kadang mendapat tugas menjaga cucu. Demikianlah tanteku tersayang.
Artikel ini boleh dikutip sebagian atau seluruhnya dengan tetap mencantumkan nama penulis dan url, tidak dimodifikasi dan non komersial. Karya ini dilindungi oleh lisensi Creative Commons License, kecuali yang tidak disebutkan demikian.
阿彌陀佛師叔,您有一個很偉大也很了不起的姑媽。
Bhante, Namo Buddhaya. Bhante berasal dari Riau, kota apa Bhante.
Namo Buddhaya, saya dari Tg. Balai Karimun. Naik kapal feri ke singapore hanya sekitar 45 menit saja. Ke Batam juga sekitar 1 jam kurang.
Bhante, Namo Buddhaya. Berarti dekat dengan Batam dan Singapore. Dekat juga dengan selat panjang. Bhante, bersyukur memiliki tante yang bijaksana.
Touching story of life Bhante
Namo buddhaya bhante,
Saya ingin bertanya apa arti dari “bohuat”?
Helo Agnes,
Bo Huat itu dari bahasa hokkian. Bo = tidak, Huat = Cara
Jadi artinya sudah tidak punya cara lagi, atau tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Mengerti?
Kira-kira itu saja dari saya, selamat membaca 🙂
Tante bhante harus lebih sering dikunjungi…